Rakyat Hanya Bisa Melihat Pemimpinnya setelah Dilantik

Sabtu, 27 September 2014 – 06:48 WIB

jpnn.com - PADANG - Pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD menjadi UU pilkada, juga menuai rekasi pro kontra di daerah, seperti di Solok, Sumbar, misalnya.

Salah seorang masyarakat Nagari Koto Baru, Malin Marajo, 37 menilai, pilkada via DPRD merupakan satu bentuk kemunduran demokrasi.

BACA JUGA: PLTU Kanci Meledak, Empat Warga Pingsan

"Jadi, dengan pilkada via DPRD, kita kembali ke orde baru. Rakyat hanya bisa melihat pemimpinnya setelah dilantik," cetus Malin Marajo pada Padang Ekspres, kemarin, (26/9).

Senada dengan itu, salah seorang tokoh masyarakat Nagari Talang, Kecamatan Gunung Talang, Yemrizon Dt Pangulu Sati, 61, juga "keberatan" dengan diberlakukannya UU pilkada melalui DPRD. Dia menilai, ini adalah suatu bentuk keputusan yang "mengangkangi" kedaulatan rakyat.

BACA JUGA: Pejabat Kejati Terbelit Gratifikasi

Lain halnya dengan pandangan aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Aidil Auliya, 26.

Dia menilai, sebagai warga Negara, masyarakat tidak bisa memvonis RUU Pilkada via DPRD mematikan langkah demokrasi.

BACA JUGA: Butur Diserbu Banyak Pendaftar CPNS

Pengurus Besar (PB) PMII ini menerangkan, pilkada langsung maupun tidak langsung, keduanya sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan.

Di satu sisi, pilkada langsung bisa menjaring calon kepala daerah yang memiliki potensi besar dan dilegitimasi oleh keinginan masyarakat. Sedangkan sisi lemahnya, pilkada langsung membutuhkan cost politik yang cukup besar.

"Saya menilai, pilkada langsung hanya berlangsung efektif 4tTahun masa kepemimpinan. Sebab, tahun akhir jabatan, acap kali antara kepala daerah dan wakilnya melakukan manuver politik masing-masing untuk ambisi menjadi pemenang di pilkada selanjutnya," tutur Aidil.

Pilkada langsung juga berpengaruh terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada di bawah "kekuasaan" kepala daerah.

"Siapa yang jadi tim sukses saat kampanye otomatis dapat jabatan strategis. Ini yang sebenarnya merusak demokrasi substantif," terang Aidil.

Belum lagi, lanjut Aidil, kecenderungan pilkada langsung dapat memicu terjadinya konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi, karena berbedanya pilihan antara masyarakat.

Magister Hukum Islam UIN Syarifhidayatullah ini menilai, "kembali lahirnya" pilkada tidak langsung atau pilkada via DPRD ini sebetulnya dapat menjadi solusi suramnya demokrasi di Indonesia. Namun, tentu dengan aturan main jelas dan dilakukan dengan asas keterbukaan, profesional, dan akuntabel.

Bahkan, terang Aidil, dalam Konbes Nahdlatul Ulama (NU) Tahun 2012 lalu, telah memberikan rekomendasi untuk memilih kepala daerah melalui DPRD.

Di sisi lain, berlansungnya nanti pemilihan kepala daerah via DPRD juga menjadi "beban" pemikiran tersendiri bagi KPU Kabupaten Solok, meski keberadaan KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu dipastikan tetap ada.

"Sebagai penyelenggara Pemilu dan Pemilu Kada, pihak KPU di Kabupaten ataupun Kota akan menunggu instruksi dan kebijakan dari pusat. Kita akan tetap berperan, sesuai tupoksi yang dibebankan nanti," kata Divisi Sosialisasi KPU Kabupaten Solok, Jons Manedi. (rc/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nahkoda Kapal Pembawa Bahan Peledak Jadi Tersangka


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler