jpnn.com - ANAK adalah anugerah. Mutiara yang harus dirawat. Juga tentunya harus diberi bekal positif untuk menyongsong hari depan. Bekal yang diberikan secara kontinu sejak dini dan suri tauladan orang tua menjadi role model-nya. Agar anak-anak itu nanti tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, kuat, toleran, dan tentu saja jujur.
Dan Ramadan menjadi momentum pembelajaran bagi anak untuk menghadapi hari depannya. Melalui Ramadan, anak-anak bisa berlatih mengontrol diri, menumbuhkan rasa empati dan toleran. Selain itu, Ramadan menjadi sarana belajar menghormati serta disiplin.
BACA JUGA: DPR Minta Pemerintah Segera Sahkan RUU PPRT
Kontrol diri misalnya. Selama Ramadan, anak-anak tidak sekadar disuruh berpuasa dengan tidak makan dan minum. Namun, mereka juga diajari untuk mengontrol diri agar tidak makan berlebihan. Begitu pula dengan minum. Yang paling utama tentu menahan diri untuk tidak makan sebelum waktu yang ditentukan.
Hal yang tidak mudah memang. Apalagi, anak-anak selalu saja tertarik untuk jajan. Di situlah orang tua harus tampil sebagai model. Orang tua harus bisa menjadi contoh untuk bisa mengontrol diri dengan menjaga puasanya. Tapi, tentu waktu berpuasa seorang anak tidak harus mengikuti jam normal.
BACA JUGA: Pekan Depan, Tuntutan Sidang Cebongan
Kalau usianya masih dalam tataran sekolah TK, mereka dilatih untuk berpuasa hingga pukul 10.00. Setelah itu, puasa dilanjutkan lagi dengan berbuka pada pukul 14.00 atau 15.00. Kalau sudah duduk di kelas I atau II SD, tentu anak dilatih untuk berpuasa hingga Duhur.
Sepanjang waktu tersebut, pasti bakal ada tantangan, di mana anak terus bertanya tentang kapan waktu untuk makan. Lagi-lagi orang tua harus cerdik bersiasat. Tentu siasat yang menyenangkan dan baik. Misalnya mengalihkan perhatian anak dengan mengajaknya belajar membaca atau bermain di dalam rumah. Atau, mengajak anak tidur. Toh, tidur juga merupakan ibadah saat puasa.
BACA JUGA: PNS Dilarang Tambah Cuti Lebaran
Orang tua juga tidak boleh merasa kasihan untuk membangunkan anak pada waktu sahur. Jika orang tua konsisten dan tidak goyah dengan tangis serta rengekan sang anak, percayalah bahwa ibadah puasa itu akan menjadikan mereka pribadi yang disiplin dan mampu mengontrol diri.
Melalui Ramadan ini pula, anak bakal belajar tentang arti penting menghormati dan berempati kepada orang lain. Dengan merasakan lapar kala siang, mereka akan belajar untuk mengerti penderitaan orang lain yang mungkin dalam sehari hanya bisa makan sekali.
Jika pengertian itu terus tertanam di pikiran dan hati sang anak, niscaya mereka kelak memiliki ketaatan kepada Allah dan rasa hormat kepada orang yang lebih tua serta sikap toleran kepada sesama. Yang tidak kalah penting, selama Ramadan anak juga dibenturkan pada realitas bahwa permintaan mereka tidak harus dituruti. Misalnya saat mereka merengek untuk makan. Jika memang belum waktu berbuka, tentu mereka tidak diperkenankan untuk makan, sekalipun anak bakal menangis dan mengiba kepada orang tuanya.
Situasi seperti itu juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ketika mereka merengek minta mainan. Jika memang dalam sebulan mereka sudah dibelikan mainan, di bulan yang sama orang tua tidak boleh membelikan mainan lagi.
Anak-anak harus pernah mengalami permintaan dituruti sekaligus wajib merasakan pengalaman keinginannya ditolak. Kenapa begitu? Jika terus dituruti, bakal ada kecenderungan kalau kelak menghadapi kegagalan, dia akan menjadi radikal. Sebaliknya, jika pernah mengalami ditolak, kelak sang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat saat menghadapi kegagalan dan bisa segera bangkit.
Tapi, Ramadan bukan sekadar momentum pembelajaran bagi anak. Ramadan juga menjadi pembelajaran bagi para orang tua. Mereka pun harus belajar mengontrol diri dan menjadi contoh terbaik bagi anak masing-masing.
Melalui Ramadan, orang tua bisa belajar bersikap tenang dalam menghadapi polah anaknya. Tidak mudah goyah dengan tangis dan rengekan sang anak. Sehingga selepas Ramadan para orang tua bisa lebih menahan diri. Baik dalam melontarkan amarah atau melepaskan kasih sayang.
Melalui Ramadan, orang tua juga bisa mempelajari kenakalan anaknya. Bahwa di balik kenakalan itu pasti tersimpan kecerdasan. Ada potensi.
Jadi, yang terpenting bukan kenakalan itu, melainkan respons orang tua. Jika melihat anaknya suka mencoret-coret tembok, bisa jadi sang anak memiliki kemampun visual seperti menggambar. Orang tua tentu harus merespons dengan menyediakan buku-buku gambar atau tembok khusus di rumah untuk sarana corat-coret. (fim/c11/ib)
*Penulis buku Alhamdulillah Anakku Nakal
BACA ARTIKEL LAINNYA... Publik Tunggu Janji Presiden, Mengganti Kapolri Bulan Depan
Redaktur : Tim Redaksi