Tiga Siswa Surabaya Borong Medali pada Event Wizmic di India

Kent Suka Utak-atik Matematika, Belajar Tak Sampai 20 Menit

Sabtu, 01 November 2014 – 07:14 WIB
OTAK-OTAK ENCER: Dari kiri, Vania, Kent, dan Dinda di Taman Bungkul. (Angger Bondan/Jawa Pos)

jpnn.com - WAJAH Ignatius Kent Hastu Parahita tersenyum cerah begitu melihat kedua temannya, Vania Rizky J.W. dan Adinda Putri Salsabila, datang ke Taman Bungkul Rabu sore lalu (29/10). Sejenak, terdengar riuh tawa dan guyonan mereka.

Ketiganya memang sarat prestasi. Namun, jangan dibayangkan tampang mereka serius seperti kutu buku. Bahkan, kata serius jauh dari aktivitas tiga pelajar itu dalam sehari-hari. Saat ditanya pun, mereka sering cengengesan. Kesan childish masih melekat pada diri mereka bertiga.

BACA JUGA: Anies Ganti HP, Yohana Kepikiran Nasib Mahasiswa

Mereka serius jika sudah berhadapan dengan soal-soal olimpiade. Meski begitu, ketiganya mengaku bukan tipe pelajar yang terlalu ngoyo meraih prestasi. Jarang belajar, kata mereka. Bahkan, menjelang pelaksanaan olimpiade sekalipun. Tapi, dasar logika mereka memang sudah jalan. Matematika, bagi tiga siswa itu, ibarat sebuah permainan yang menantang. ”Aku suka matematika dan mulai ikut olimpiade sejak kelas V,” aku Kent.

Ya, Kent, Vania, dan Dinda baru saja meraih medali emas, perak, dan perunggu dalam event Wizards at Mathematics International Competition (Wizmic) di India pada 18–21 Oktober lalu. Ada 172 peserta yang berpartisipasi dalam event tahunan itu. Di antaranya, dari India, Thailand, Filipina, Afrika Selatan, dan Singapura. Indonesia berhasil menjadi juara umum tahun ini.

BACA JUGA: Keturunan Raja yang Gundah Tinggal di Ibu Kota

Total Indonesia meraih 8 medali emas, 5 perak, dan 3 perunggu untuk kategori perorangan. Kategori tim meraih 1 emas, 2 perak, dan 1 perunggu. Kategori grup meraih 2 medali emas dan 2 perak. Kent, Vania, dan Dinda mempunyai andil cukup besar dalam mengantar Indonesia meraih juara umum.

Surabaya berhasil menyumbang masing-masing satu medali emas, perak, dan perunggu untuk kategori perorangan. ”Saya dapat emas, Vania perak, dan Dinda perunggu. Untuk kategori tim, saya juga mendapat emas. Total saya dapat dua medali emas,” ucap Kent sambil memamerkan dua medali yang dia kantongi dengan tersenyum lebar.

BACA JUGA: Biarlah Saya Tetap Menjadi Diri Saya Sendiri

Ya, mereka pantas berbangga. Sebab, setelah melalui rangkaian seleksi, Kent dan kawan-kawan lolos mewakili Jatim dan semuanya berhasil meraih medali. Mereka berangkat ke India juga tidak didanai sama sekali oleh dinas pendidikan maupun sekolah. Semua inisiatif orang tua mereka. Pembinaan pun menggunakan biaya mandiri. ”Tapi, tidak masalah. Kami senang sekali. Ini bukan pertama kali saya juara,” akunya bangga.

Kent giat ikut olimpiade sejak duduk di kelas IV SDN Manukan Kawasan. Adalah orang tuanya, Yohana Fransisca Nurwinda dan Martinus Trilaksoni, yang menemukan dan mengasah kemampuan akademisnya. Waktu itu Winda-Soni, panggilan orang tuanya, sangat ingin anaknya bisa ikut olimpiade. ”Kami berpikir, kenapa ya yang ikut olimpiade kok selalu sekolah swasta. Kapan sekolah negeri, apalagi siswa SD,” cetus Soni, yang mendampingi Kent, Vania, dan Dinda pada sore itu.

Kent digembleng sendiri. Soni adalah lulusan Unibraw dan menguasai matematika. Winda fokus pada sains. Dalam setahun, kemampuan Kent meningkat. Saat kelas V SD, dia meraih medali perunggu dalam International Mathematic Competition (IMC) di Singapura. Itu merupakan kebanggaan luar biasa bagi dirinya. ”Pertama ikut lomba, lolos dan lolos terus sampai tingkat internasional dan meraih perunggu,” ucap bocah kelahiran 31 Desember 2001 tersebut.

Kent pernah mendapat medali perunggu dalam Olimpiade Kompetisi Matematika Nalaria Realistik pada 2013. Pada 2014, pada event yang sama, dia berhasil meraih medali perak.

Kesuksesan mengantarkan anaknya berprestasi pada event nasional hingga internasional semakin mendorong Soni dan Winda untuk mencari bibit unggul lainnya. ”Ketemulah Dinda, teman satu sekolahnya. Juga Vania, pada akhirnya, setelah kami keliling dari satu sekolah ke sekolah lain untuk mencari bibit unggul,” tutur Soni.

Kent mengungkapkan, selain bergengsi, soal-soal dalam event Wizmic sulit. Untungnya, model-model soal itu sering ditemui saat mendapatkan pembinaan dari orang tuanya sendiri. Juga saat menjalani karantina selama seminggu di Bogor menjelang keberangkatan mereka ke India. Di Bogor mereka mendapatkan pembinaan dari Klinik Pendidikan MIPA (KPM) di bawah pengelolaan Ridwan Hasan Saputra, pemegang lisensi untuk mengirimkan siswa-siswi Indonesia mengikutievent Wizmic.

Sebenarnya, kata Kent, boleh dibilang persiapan mereka untuk ikut lomba sangat mepet. Sebulan menjelang lomba, mereka baru tahu ada informasi Wizmic. Tidak sampai dua minggu, mereka dibina sendiri oleh Soni dan Winda. Seminggunya lagi berangkat ke Bogor untuk mendapat pembinaan intensif.

Itu pun, kata Vania, mereka tidak betul-betul serius setiap kali mengikuti pertemuan. ”Guyonan tok. Tapi, kalau sudah serius, ya serius. Kalau nggak guyonan, malah nggak bisa nanti,” ucapnya polos. Kent, Vania, dan Dinda bak tiga serangkai. Ketiganya sering ikut lomba bareng dan kebanyakan juga menang bareng.

Yang paling mengesankan bagi Vania saat mengikuti lomba bukan semata-mata raihan medali. Tapi, dia juga mendapatkan teman dari berbagai kota dan negara. ”Lama kelamaan kami juga hafal yang menang olimpiade anak-anak itu juga,” ujarnya, lantas tertawa cekikan.

Bukan hanya itu, olimpiade juga membawanya keliling kota, negara, bahkan antarbenua. ”Sukanya, bisa jalan-jalan ke mana-mana,” ucapnya ceplas-ceplos. Vania pernah meraih medali perak pada eventKorean International Mathematic Competition pada Agustus 2014. Pada kategori grup, dia juga mendapat perunggu. Saat duduk di kelas V SD, dia pernah meraih medali perunggu dalam event IMC di Singapura. Setahun kemudian, pada event yang sama, dia meraih medali perak. ”Jadi, kesimpulannya, ikut olimpiade itu enak kok. Ya dapat medali, hadiah, juga jalan-jalan. Hehe,” ucapnya.

Mereka bertiga memang bukan kategori siswa yang serius dan selalu berkutat dengan mata pelajaran. Vania mengaku jarang sekali belajar. Bahkan, Kent mengaku sehari-hari tidak sampai 20 menit saat belajar di rumah. ”Di antara mereka bertiga, hanya Dinda yang sedikit serius dan banyak belajarnya. Tapi, ketiganya serius kalau sudah mengerjakan soal-soal,” tutur Soni.

Menurut Kent, menjadi siswa pintar tidak melulu harus terus belajar. Informasi bisa didapat dari beragam sumber. Sering mengerjakan soal juga memberi jam terbang sendiri yang bisa menambah pengalaman dan kemampuan seseorang. Buktinya, nilai matematikanya jarang sekali di bawah angka 100. Sebab, sehari-hari Kent memang senang melahap soal-soal matematika. Baginya, bisa menemukan jawaban dari berbagai soal matematika itu sangat menantang.

Suatu hari, Kent pernah mendapat nilai matematika 70. Kent pun mengaku kaget. Dia lalu menganalisis jawabannya. ”Ternyata, saya mendapat nilai 70 karena langsung menuliskan jawabannya. Tidak menulis caranya. Padahal, jawabannya, ya, benar. Hehe. Sebab, saya sudah tahu cara menjawab soal itu dengan cepat tanpa menulis caranya,” kenangnya. (*/c6/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... ABCD Coffee Bar Bikin Pasar Tradisional Nyaris Mati Jadi Pasar Gaul (2-Habis)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler