Rasionalisasi PNS Bisa Bikin Ribut

Selasa, 08 Maret 2016 – 00:46 WIB
PNS. Foto ilustrasi.dok.JPNN

jpnn.com - PEMERINTAH berencana melakukan rasionalisasi jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara bertahap. Dari jumlah yang ada saat ini 4,517 juta orang, akan dipangkas hingga menjadi 3,5 juta.

Asisten Deputi (Asdep) Koordinasi Kebijakan, Penyusunan, Evaluasi Program, dan Pembinaan SDM Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Bambang Dayanto Sumarsono memastikan yang terkena rasionalisasi akan dipensiundinikan. Mereka akan diberi pesangon untuk modal usaha.

BACA JUGA: Tak Semua PNS Lulusan SMA Kena Rasionalisasi

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng punya pandangan lain soal kebijakan tersebut. Berikut wawancara wartawan JPNN Soetomo Samsu dengan Robert Endi Jaweng di Jakarta, Senin (7/3).

Bagaimana pendapat Anda terhadap kebijakan rasionalisasi PNS?

BACA JUGA: Rio Haryanto Berbakat, Dia Sudah Siap di F1

Yang perlu diingat, rasionalisasi hanyalah salah satu cara melakukan reformasi birokrasi. Artinya, pengurangan jumlah PNS bukanlah satu-satunya cara. Sebenarnya jumlah PNS Indonesia yang mencapai 4,517 juta orang, bukanlah jumlah yang gemuk, setidaknya dibandingnya dengan sejumlah negara tetangga.

Memang bagaimana kondisi PNS negara tetangga?

BACA JUGA: Kelompok Bersenjata Sulit Ditebak

Rasio PNS kita itu masih di bawah dua persen (dari jumlah penduduk, red), yakni sekitar 1,7 persen. Singapura 2,5 persen, sedang Malaysia sekitar 3,7 persen. Jadi, jumlah PNS kita sebenarnya tidak begitu gemuk.

Jadi, rasionalisasi PNS tidak tepat?

Saya setuju asal didahului dengan kajian yang kuat. Yang menjadi problem PNS Indonesia sebenarnya lebih ke masalah kompetensi dan efisiensi kerja. Jadi seolah-olah banyak jumlahnya karena banyak yang terlihat menganggur, tidak ada kerjaan. Sebenarnya yang mendesak adalah pendataan kompetensi, yang dikaitkan dengan ragam kebutuhan layanan publik. Dari hasil analisis itu, lantas dilakukan pembagian kerja sehingga tidak ada lagi PNS yang terlihat menganggur. Karena kalau asal pangkas, mengurangi jumlah PNS, bisa-bisa nanti malah pelayanan publik terbengkalai karena kekurangan PNS.

Menurut Anda, bagaimana publik melihat kinerja PNS?

Masyarakat sebenarnya tidak peduli berapa jumlah PNS. Yang menjadi sorotan publik adalah PNS yang tampak tidak punya pekerjaan. Jumlah PNS banyak asal mereka benar-benar kerja, ada yang dikerjakan, masyarakat senang.

Terus, apa yang mestinya dilakukan pemerintah?

Redistribusi PNS. Jangan sampai PNS menunpuk di satu unit kerja atau di suatu daerah saja, sementara unit kerja atau daerah lain kekurangan PNS, terutama di daerah-daerah otonom baru hasil pemekaran.  Undang-undang ASN sudah memberikan pengaturan, PNS bisa dimutasi antardaerah. Itu dulu yang mesti dilakukan.

Untuk penegasan, menurut Anda jumlah PNS kita tidak terlampau banyak?

Justru, jumlah PNS di instansi-instansi pusat yang kelebihan. Instansi pusat, seperti kementerian-kementerian, terlalu banyak jabatan strukturalnya. Adanya jabatan eselon I, sudah tentu diikuti dengan eselon II, III, dan seterusnya. Jabatan-jabatan struktural itu yang banyak menyedot uang negara, gaji besar. Sementara, instansi pusat itu lebih mengurusi soal kebijakan dan monev (monitoring dan evaluasi, red). Mestinya yang perlu diperbanyak tenaga-tenaga ahli, pakar analisis kebijakan.

Jika rasionalisasi PNS tetap dilakukan, bagaimana kira-kira dampaknya?

Begini, masyarakat kita, terutama di Indonesia bagian timur, seperti Papua, Maluku, PNS itu memang menjadi idola, menjadi sumber penghidupan, mata pencaharian. Dari aspek ekonomi dan lapangan kerja, mereka masih sangat tergantung pada negara, seperti menjadi PNS itu. Nah, kalau terjadi rasionalisasi dengan dalih menciptakan PNS yang profesional, itu kan teori kebijakan publik, yang akan berbenturan dengan realita-realita di lapangan.

Lantas bagaimana jika kebijakan rasionalisasi tetap akan dijalankan? Bagaimana yang terbaik?

Saya setuju reformasi birokrasi, saya setuju PNS yang profesional. Tapi pelaksanaannya harus dilakukan dengan berimbang. Maksudnya, teori-teori itu diterapkan dengan tetap mengakomodir kondisi-kondisi kedaerahan, realita-realita sosial. Kalau tidak, ya akan muncul implikasi-implikasi yang buruk.

Implikasi buruk, contohnya?

Jangan samakan Jawa dengan kawasan-kawasan lain, seperti wilayah timur. Kalau di Jawa, karena tingkat pendidikan sudah merata, tentunya beda dengan beberapa daerah lain. Bisa ribut mereka. Bisa muncul anggapan rasionalisasi hanya akan memberikan kesempatan orang Jawa masuk ke sana.  Hal-hal seperti ini harus dipertimbangkan.

Jadi menurut Anda tidak gampang reasionalisasi PNS diterapkan?

Kuncinya kebijakan yang berimbang, antara teori dengan realitas sosial di lapangan.***

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Hanya LGBT, tapi...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler