jpnn.com - KOMISI Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengeluarkan edaran larangan televise menyiarkan pria yang berperilaku seperti wanita. Cara tersebut dilakukan untuk menjaga anak-anak agar tidak terpengaruh. Lalu seperti apa pendapat psikolog mengenai keberadaan aktor maupun presenter yang kerap berperilaku seperti wanita?
Apakah keberadaan mereka sengaja dibuat-buat atau hanya untuk menaikkan rating di televisi? Berikut petikan wawancara reporter JPNN.com, Yessy Artada bersama Psikolog A. Kasandra Putranto, Kamis (25/2).
BACA JUGA: Mereka Capek karena Intervensi
Saat ini di stasiun televisi banyak yang menampilkan pria atau presenter kemayu, apa ini hanya trend atau seperti apa?
Kalau fenomena pria kewanitaan sejak saya zaman nari-nari di atas panggung tahun 1980-an. Itu 25 tahun lalu memang sudah ada. Di beberapa profesi itu memang sudah ada, bukan hanya artis. Bahkan profesi tertentu ada seperti itu, seperti penari, presenter, desainer dan lain sebagainya. Kita nggak menampik itu.
BACA JUGA: Membalap dengan Mobil Tercanggih
Di satu sisi, kita katanya nggak boleh mendiskriminasikan WNI. Saya sulit untuk berkomentar ini sebenarnya, karena kita harus lihat dari beberapa sisi, tidak bisa hanya satu sisi saja. Dari sisi agama tentu melarang, mereka pasti punya pandangan lain. DPR, pemerintah, MUI juga pasti punya pandangan sendiri.
Mengenai fenomena hadirnya Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT)?
BACA JUGA: Lebih Kuat Lorenzo Ketimbang Rossi
Saya sih kurang setuju kalau hanya disebutkan empat yang menjadi sorotan, menurut saya itu ada enam. Pertama LGBT, pedofil seksual, dan pornografi seksual. Karena menikahi anak di bawah umur itu juga masuk dalam pedofil seksual, itu dilarang sebenarnya, tapi kenyataannya masih ada yang melakukan. LGBT justru secara hukum itu mereka tidak bersalah. Misalnya kalau dia jadi gay, nggak ada dasar hukumnya kalau dia tidak melakukan tindakan penyimpangan.
Maka berhentilah membuat pernyataan yang tidak berdasar, maka berhentilah membuat pernyataan untuk dikompetisikan satu sama lain. Biarlah pandangan dari MUI, agama atau pihak lain pada porsinya, karena sulit jika dibenturkan. Apalagi kita tahu sendiri bahwa hukum sosial kita itu nggak konsisten. Katanya nggak boleh, nanti juga dilanggar atau dilakuin sendiri.
Dengan adanya surat edaran dari KPI menampilkan pria kemayu, apa dampaknya bagi stasiun tv?
Kita harus ingat bahwa Srimulat, ludruk juga ada tampilan itu (pria kemayu), lantas apa dengan adanya larangan itu kita lantas mematikan hajat hidup orang banyak? Makanya ini saya bilang, kita ini phobia terlalu berlebihan, ya jadi kacau balau akhirnya. Yang tadi saya bilang itu, LGBT itu nggak ada penyimpangan. Itu memang ada dari dulu di sekitar kita. Keberadaan mereka tidak bisa disalahkan.
Setuju KPI membuat larangan pria kewanitaan tayang di tv?
Saya setuju kalau KPI membatasi tayangan pria kewanitaan. Tapi menurut saya, alangkah baiknya bila diberikan keseimbangan asalkan benar pada porsinya. Artinya bukan dilarang, tapi biarkan mereka bersaing secara sehat. Kita harus akui bahwa tayangan seperti itu lucu dan banyak yang suka. Tapi kan tidak semua seperti itu, bahwa pria kewanitaan itu benar-benar menyimpang seksualnya. Seperti Farhan, Tessy misalnya, kadang dia bergaya wanita, tapi kita bisa lihat aslinya memang laki-laki macho. Masyarakat sekarang sudah pandai menilai.
Kekhawatiran gaya pria kewanitaan akan diikuti oleh anak-anak di tv?
Nah, di sini fungsinya peran orangtua dalam mengawasi tontonan anak dan juga peran guru di sekolah. Mereka juga harus memberikan pemahaman yang baik kepada anak-anaknya. Jangan salahkan tontonan kalau orangtuanya saja tidak menyaring atau memberikan pemahaman tentang apa yang dia tonton. (chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Andai Presiden Tahu Persoalan Honorer
Redaktur : Tim Redaksi