Ratusan Aktivis Peringati Peristiwa Malari 1974

Senin, 16 Januari 2023 – 22:32 WIB
Ratusan aktivis dari berbagai angkatan memperingati 49 tahun meletusnya peristiwa Malari 1974 yang digelar di TIM, Jakarta, Senin (16/1). Foto: Ist.

jpnn.com - JAKARTA - Ratusan aktivis dari berbagai angkatan memperingati 49 tahun meletusnya peristiwa Malari 1974.

Malari adalah malapetaka 15 Januari, dimana terjadi kerusuhan saat mahasiswa yang dipelopori Hariman Siregar dan ribuan mahasiswa berunjuk rasa mengkritik kebijakan ekonomi Pemerintahan Soeharto.

BACA JUGA: Dari Malari hingga Malapetaka Morowali

Aksi unjuk rasa digelar saat kunjungan kerja Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.

Aksi awalnya berlangsung damai, tetapi kemudian berujung ricuh.

BACA JUGA: Jumhur Menduga Kerusuhan di PT GNI Morowali Akibat Ketidakadilan

Akibatnya belasan orang tewas, 685 mobil hangus, 128 korban luka-luka dan 750 orang ditangkap.

Peringatan 49 tahun peristiwa Malari digelar bersamaan dengan perayaan HUT ke-23 Indonesia Demokrasi Monitor, yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Senin (16/1).

BACA JUGA: Sudirman Said Sebut Pesan Pak SBY Membawa Angin Segar bagi Demokrasi

Peringatan kali ini mengangkat tema 'Menolak Lupa: Pertahankan Demokrasi'.

Menurut pendiri Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) Bursah Zarnubi, tema tersebut sangat penting digaungkan untuk menghalau upaya-upaya penyelewengan terhadap demokrasi.

"Misalnya, wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, itu saya kira merusak demokrasi," ujar Bursah yang memimpin peringatan Malari kali ini.

Pandangan senada dikemukakan Hariman Siregar.

Dia juga merasa aneh dengan mengemukanya wacana masa jabatan presiden diperpanjang tiga periode dan wacana tunda pemilu.

Menurutnya, wacana tunda pemilu makin aneh, ketika kemudian alasan yang dikemukakan tidak ada uang.

"Ya, kalau enggak ada uang kenapa malah bangun ibu kota negara (IKN) baru," katanya.

Sementara itu akademisi Sidratahta Mukhtar menilai wacana perpanjangan masa jabatan presiden merupakan ancaman dalam konsolidasi demokrasi.

Dia menilai setiap presiden seharusnya mendorong demokrasi menjadi lebih baik, seperti yang pernah dilakukan Habibie dan Gus Dur.

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul dalam kesempatan yang sama mengingatkan bahwa pemimpin Jerman Adolf Hitler juga dipilih secara demokratis.

Namun kemudian Hitler berubah menjadi seorang pemimpin yang sangat otoriter.

"Karena itu demokrasi penting tidak diselewengkan."

"Esensi demokrasi yang berupa pembatasan kekuasaan dan kontrol masyarakat dan penghormatan kepada hak asasi harus terus dipertahankan dan dikembangkan."

"Bila ada penyelewengan maka masyarakat sipil yang harus berdiri di barisan terdepan," katanya.

Sementara itu pakar hukum tata negara Refly Harun menyoroti ambang batas pencalonan presiden 20 persen.

Dia menilai aturan tersebut harus dihapuskan.

Menurutnya, presiden dapat menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menghapus aturan tersebut.

Aktivis mahasiswa 78 Rizal Ramli sependapat dengan Refly Harun.

Dia secara khusus juga menyebut anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya diganti oleh perwakilan partai politik, agar dapat mengawal suara yang diperoleh parpol di pemilu nantinya.

Aktivis mahasiswa 1980-an Jumhur Hidayat juga angkat suara dalam peringatan Malari kali ini.

Dia secara khusus mengajak seluruh elemen masyarakat berunjuk rasa ke gedung DPR Jakarta pada 14 Februari mendatang.

Aksi dilakukan untuk menolak langkah pemerintah yang menerbitkan Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. (gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sudirman Said: Lembaga Negara Jangan Jadi Alat Politik


Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler