Ratusan akun media sosial terdeteksi menyerang wacana Papua Merdeka secara daring dengan modus menggunakan foto profil palsu dan berbahasa Belanda dan Jerman dalam menyebarkan pesan-pesan yang mendukung otonomi khusus.
Temuan terbaru ini dipaparkan oleh Benjamin Strick, peneliti Open Source, melalui situs website Bellingcat, sebuah organisasi kolaborasi peneliti, penyelidik dan jurnalis warga yang tersebar di lebih dari 20 negara.
BACA JUGA: Brisbane dan Melbourne Nyatakan Adelaide Jadi Hotspot COVID-19
"Operasi media sosial ini belum bisa kami kaitkan kepada suatu pihak, karena hal itu merupakan aspek paling sulit dalam investigasi kami," ujar Benjamin ketika dihubungi, Selasa (17/11/2020).
"Namun satu hal yang bisa saya pastikan yaitu adanya jejak dari jaringan ini, misalnya desain grafis video di YouTube, infografis di Facebook, dan gambar di Twitter, kesemuanya memiliki kesamaan desain dengan apa yang kami temukan tahun lalu," jelasnya kepada Farid M. Ibrahim dari ABC Indonesia.
BACA JUGA: Australia Masuki Musim Durian, Baunya Sudah Mulai Tercium
Photo: Konten video yang disebarkan oleh akun palsu di media sosial yang ditemukan peneliti Bellingcat. (Supplied)
Ia menjelaskan temuan Bellingcat tahun lalu berhasil mengumpulkan cukup bukti melalui data publik, untuk menghubungkan jaringan ini dengan InsightID yang mengklaim diri sebagai perusahaan marketing di Indonesia.
BACA JUGA: Edan, Orang Tajir Tiongkok Beli Merpati Balap Seharga Rp 26,7 Miliar
Menurut Benjamin, jaringan yang melakukan operasi medsos tahun lalu menargetkan para aktivis HAM dan menyuarakan propaganda Indonesia tentang Papua Barat.
ABC Indonesia telah mencoba menghubungi pihak InsightID.
Namun tahun lalu, media Jakarta Post menerima surat elektronik dari kelompok yang mengaku sebagai InsightID.
Mereka menyatakan diri sebagai "gerakan nasionalis yang terdiri atas praktisi komunikasi dan profesional".
Kepada Jakarta Post, kelompok ini mengaku "prihatin dengan disinformasi masif dan bias yang dilakukan separatis Papua Merdeka pimpinan Benny Wenda dengan mempolitisasi dan memanipulasi isu kemanusiaan dan konflik di Papua demi kepentingan politiknya".
Penyebutan InsightID juga dilakukan oleh pihak Facebook sendiri ketika mengambil tindakan terhadap puluhan akun palsu yang menyebarkan konten tentang West Papua.
Saat itu, Facebook mengumumkan telah menghapus 69 akun FB palsu, 42 laman FB, serta 34 akun Instagram karena "perilaku palsu yang terkoordinasi" terkait isu West Papua.
Investigasi Facebook saat itu menemukan kaitan dengan pihak yang menamakan diri InsightID, yang menurut Facebook telah membelanjakan iklan di Facebook setara dengan 300 ribu dolar.
Kelompok ini telah membantah keterangan Facebook mengenai iklan Facebook tersebut. Lebih menargetkan audiens berbahasa Belanda dan Jerman? External Link: Twitter Benjamin
Menurut Benjamin, temuan akun-akun palsu kali ini masih baru dan dampaknya pun minimal.
"Jaringan ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan operasi tahun lalu," katanya. "Kontennya pun termasuk baru."
Lewat penelusuran metrik media sosial jaringan, Benjamin menemukan terbatasnya interaksi manusia.
Kebanyakan akun-akun ini, katanya, berinteraksi dengan sesama akun palsu lainnya mengenai Papua Barat dan kurang melakukan dialog dengan akun medsos seseorang yang nyata.
Padahal, menurut Benjamin, sumber daya yang digunakan untuk membuat konten berupa video, infograifs dan postingan unik lainnya sangat besar serta butuh waktu.
"Yang perlu diingat bahwa, isu Papua Merdeka tidak diliput secara luas jika dibandingkan dengan konflik lainnya di dunia, serta tak populer sebagai isu internasional," katanya.
"Sehingga apa yang dilakukan jaringan ini yaitu menarget perhatian tatanan internasional dengan menggunakan nama, wajah dan bahasa orang Barat," jelas Benjamin. Baca juga Facebook dan Twitter tutup akun propaganda Indoensia soal Papua Akun bot pendukung Pemerintah Indonesia 'Putar Balikkan' kenyataan di Papua 'Gerakan Kemerdekaan': Sebuah kisah yang Indonesia tak ingin dunia tahu
Ditanya mengapa modus operandi jaringan tersebut kali ini lebih menarget audiens berbahasa Belanda dan Jerman, Benjamin mengatakan tidak menemukan alasan pasti di balik hal itu.
"Mungkin ada hubungan yang bisa dilihat di situ, misalnya karena kebetulan hubungan sejarah antara West Papua dan Belanda atau keberadaan Mahkamah Internasional di Belanda," jelasnya.
Benjamin mengatakan, dengan mengamati akun-akun dalam jaringan ini, misalnya yang menggunakan profil sebagai "jurnalis Australia", atau yang mengaku tinggal di Den Hag, terlihat adanya upaya terkonsentrasi untuk mempengaruhi narasi masyarakat dunia tentang kemerdekaan Papua Barat.
"Satu kesamaan nyata dari jaringan ini dengan jaringan yang kami ungkap tahun 2019 yaitu sama-sama menarget masyarakat internasional melalui iklan di Facebook," katanya.
"Iklan-iklan (di FB) tersebut menarget Inggris, Belanda dan Jerman, sehingga operasi mengalihkan isu Papua Merdeka ini tampaknya menyasar masyarakat internasional, yaitu Uni Eropa dan Belanda khususnya," ujar Benjamin. Melaporkannya ke perusahaan jejaring sosial
Bellingcat mengidentifikasi jaringan terbaru yang terkait isu Papua Merdeka ini di Twitter dengan memantau tagar #WestPaoua dan #PapuanLivesMatter. Photo: Salah satu teknik mengidentifikasi foto-foto palsu melalui GAN, yaitu dengan mengamati posisi bagian mata. (Supplied)
Dikatakan, Bellingcat tak butuh waktu lama untuk menemukan sejumlah akun yang pengikutnya hanya beberapa orang, yang menyebar tagar ini dengan memberikan tautan ke beberapa situs website yang sama.
"Kebanyakan akun Twitter dibuat pada Juni, Juli dan Agustus 2020. Salah satu tanda adanya operasi semacam ini yaitu ditemukannya akun-akun serupa dengan hanya beberapa pengikut, dibuat pada saat hampir bersamaan, dengan fokus pada isu yang sama," jelasnya.
Artikel-artikel yang mereka sebarkan, jelas Benjamin, umumnya berisi dukungan pada otonomi khusus bukan kemerdekaan Papua.
Bellingcat menyatakan pihaknya telah melaporkan akun-akun ini ke pihak Twitter, Facebook, Instagram dan YouTube.
Sejauh ini pihak Twitter menyatakan telah menghapus akun-akun dimaksud sesuai dengan kebijakan manipulasi dan spam. Sedangkan YouTube dan Facebook, yang juga mengelola Instagram, belum memberikan tanggapan.
Dewasa ini, menurut Bellingcat, pembuatan profil di akun media sosial dengan menggunakan foto dari orang yang tak pernah ada, sangat mudah untuk dilakukan, bahkan caranya tersedia di berbagai website.
Namun pembuatan foto-foto tersebut, meski secara kasat mata tampak sempurna, tetap memiliki kelemahan seperti "adanya kerutan wajah yang tidak nyambung antara sisi kiri dan kanan".
Foto-foto palsu semacam ini bisa dibuat melalui apa yang disebut sebagai Generative Adversarial Network (GAN). Ini merupakan kerja mesin yang menciptakan foto baru dari koleksi foto-foto lama dari orang yang sebenarnya.
Dengan menggunakan GAN, maka akan mencegah upaya untuk menelusuri sumber dan asal-usul suatu foto, seperti yang umum terjadi dengan akun medsos palsu yang hanya mencuri foto orang lain.
Salah satu cara untuk mengidentifkasi foto-foto akun medsos yang diciptakan melalui GAN, yaitu dengan mengamati posisi mata dari foto-foto tersebut.
Posisi mata dari foto-foto buatan yang menggunaan GAN selalu beradsa di tempat yang sama.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... DMP Tantang Polisi Baku Hantam, Lihat Tampangnya