Rawan Masalah, DPK dan DPKTb Sebaiknya Dianulir

Rabu, 13 Agustus 2014 – 12:04 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Lembaga penyelenggara pemilu disarankan tidak lagi menggunakan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 102/PUU-VII/2009. Direktur Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (Sigma) Said Salahuddin, menjelaskan DPK dan DPKTb menjadi salah satu penyebab utama kisruh Pemilu Presiden (Pilpres) 2014.

"Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 tidak harus dimaknai untuk dilanggengkan. Jadi itu bukan dimaksudkan untuk terus dipelihara. Putusan itu bersifat darurat saat itu demi menyelamatkan puluhan juta rakyat yang tidak terdaftar saat pemilu legislatif," kata Said kepada wartawan di Jakarta, Selasa (12/8).

BACA JUGA: Istri Bupati Bogor Diperiksa KPK

Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 memperbolehkan orang yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP atau paspor. Dalam putusan MK lainnya juga disebutkan bahwa KPU harus memperbaiki DPT agar tidak ada lagi masyarakat yang tidak terdaftar.

Menurut Said, jika diperbaiki maka ketentuan DPK dan DPKTb tidak seharusnya dilanggengkan. Ia juga menilai penggunaan KTP juga tidak memberi kepastian hukum pada pemilih.

BACA JUGA: Pusat Lepas Tangan, Verval Honorer K2 Tanggung Jawab Daerah

"DPK dan DPKTb tak ada jaminan surat suara. Surat suara dicetak sejumlah DPT ditambah dua persen. Dua persen itu untuk DPT juga, bukan untuk DPK dan DPKTb. DPK dan DPKTb hanya pemilih untung-untungan. Dapat surat suara sykur, enggak dapat ya wasalam. Itu tidak menciptakan kepastian hukum," terangnya.

Masih kata Said, DPK dan DPKTb yang menggunakan surat keterangan resmi dari kepala desa atau lurah telah menimbulkan masalah. Masalah pertama, KPU tidak berwenang mengatur tentang syarat pemilih karena itu diatur dalam UU bukan peraturan KPU.

BACA JUGA: Jimly Asshiddiqie: Mari Kita Berdoa Untuk Harun Al Rasyid

Masalah kedua, kepala desa atau lurah selama ini seringkali dikooptasi oleh kekuasaan tertentu. Misalkan oleh kepala daerah atau elit politik lokal sehingga rawan penyimpangan.

"DPK dan DPKTb kalau dipelihara tidak memberi harapan terhadap perbaikan kualitas demokrasi kita dan menimbulkan kesemrawutan adminisitrasi pemilu. Itu alasan DPK dan DPKTb tidak harus ada lagi," tandasnya. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Prabowo Tak Miliki Legal Standing, Pilpres Terancam Diulang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler