Di usianya yang baru menginjak 21 tahun, kiprah Rebecca Ayu Putri Klopper di dunia entertainment Indonesia tidak bisa dibilang sedikit.
Ia telah membintangi setidaknya sembilan judul sinetron, delapan judul film, enam 'web series', enam judul FTV, dan satu video klip.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Uganda Setujui Undang-Undang Anti LGBTQ
Ia juga masuk nominasi sejumlah ajang penghargaan film, yang terakhir dalam kategori pemeran perempuan terpuji film televisi pada Festival Film Bandung 2019 untuk aktingnya dalam 'Hari Bubur Nasional'.
Sayangnya, bukan prestasi artis keturunan Australia ini yang belakangan menjadi pemberitaan.
BACA JUGA: Disomasi Mantan Kekasih Rebecca Klopper, Marissya Icha Bilang Begini
Beberapa waktu yang lalu, sebuah potongan rekaman video berdurasi 47 detik yang diduga menampilkan Rebecca Klopper, beredar di dunia maya.
Video tersebut tentu saja bukan potongan rekaman dari salah satu film, FTV, atau sinetron yang pernah ia bintangi.
BACA JUGA: Misteri Gambar Perahu Asal Maluku yang Dilukis di Batu Dipecahkan Oleh Arkeolog Australia
Tak lama kemudian, hanya beberapa hari berselang, dua organisasi mengadukan Rebecca Klopper ke polisi.
Pembela Kesatuan Tanah Air (Pekat) dan Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) mengadukan video syur mirip Rebecca Klopper tersebut ke Bareskrim Polri.
"Mereka yang terlibat dalam tindakan ini adalah publik figur yang seharusnya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, terutama generasi muda," ujar juru bicara ALMI.
ALMI dan Pekat juga melaporkan akun Twitter Dedekgemes yang menyebarkan video tersebut.
"Kami berharap pelaku segera ditangkap, karena ini merusak generasi muda … dan ini PR bagi Bapak kapolri maupun Bapak Kabareskrim," ungkap Lisman Hasibuan dari Pekat
Dua ormas tersebut melaporkan "video yang meresahkan masyarakat" itu menggunakan Undang-Undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi dan UU ITE, dengan hukuman maksimal penjara selama 6 tahun.'Rebecca Klopper adalah korban'
Menanggapi kasus video yang beredar, serta pelaporan atau pengaduan sejumlah organisasi terhadap Rebecca, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai "Rebecca adalah korban yang tidak boleh dijerat pidana dengan ketentuan UU Pornografi."
Menurut ICJR, penjelasan Pasal 4 dari UU Pornografi telah mengatur pengecualian pemidanaan bagi pembuatan konten yang dibuat untuk diri sendiri atau kepentingan sendiri.
"Penjelasan Pasal 4 ini penting untuk menghindari adanya upaya kriminalisasi korban kekerasan seksual yang identitas maupun gambarnya tersebar dalam konten bermuatan seksual yang sebenarnya bersifat privat."
"Oleh karena itu, polisi harus memahami bahwa RK adalah korban yang sangat dirugikan dengan tersebarnya video ini," ungkap Johanna Poerba, peneliti ICJR.
"Pelaku yang sebenarnya harus ditindaklanjuti adalah pihak yang sengaja menyebarkan video tersebut," ungkap Johanna Poerba, peneliti ICJR,Penyebaran konten intim tanpa persetujuan
Belakangan, muncul dugaan jika video yang tersebar tersebut merupakan 'revenge porn' atau pornografi balas dendam.
Istilah 'revenge porn' mengacu pada pengunggahan materi seksual yang eksplisit ke internet untuk mempermalukan dan mengintimidasi subjek yang memutuskan hubungan.
'Revenge porn' adalah satu bentuk dari 'Non-Consensual Pornography', yang melibatkan distribusi foto atau video seksual secara online tanpa persetujuan individu yang ada dalam gambar.
Tapi ICJR lebih memilih menyebutnya sebagai 'Non-Consensual Dissemination of Intimate Images' (NCII), yakni penyebaran konten intim tanpa persetujuan, karena jika balas dendam dijadikan motif, maka malah "merancukan" pola kasus penyebaran konten yang bisa jadi karena ada motif lainnya, misalnya pemerasan ekonomi, pemerasan seksual, atau 'bullying'.
"NCII harus dipahami sebagai bentuk kekerasan seksual yang merugikan korban dari banyak aspek, baik itu sosial, ekonomi, maupun fisik ... dengan demikian penting bagi korban NCII untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan, termasuk penghapusan konten, dengan merujuk pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," kata Johanna.Rebecca pernah jadi korban pemerasan
Senin pekan lalu, melalui kuasa hukumnya, Sandy Arifin, Rebecca membuat laporan ke polisi. Tapi, Sandy tidak menjelaskan lebih lanjut tentang video tersebut.
"Mengenai itu sudah kami serahkan buktinya kepada pihak kepolisian, jadi yang berwenang menjelaskan siapa dan apa isinya adalah pihak kepolisian."
Meski motif 'revenge porn' santer disebutkan, mantan Rebecca Klopper, Rizky Pahlevi, bukan yang pernah dilaporkan oleh Rebecca ke polisi.
Sahabat Rebecca, Marissya Icha, menuturkan kepada wartawan jika sebelum video tersebut beredar di internet, Rebecca telah melaporkan dua orang dengan inisial RFM dan NR.
"Becca telah membuat laporan sebelumnya, di awal tahun, waktu itu kuasa hukumnya Bang [Ahmad] Ramzy," ujarnya.
"Dan tidak sampai satu bulan kemudian pelakunya telah ditahan di mabes Polri, termasuk mantan pacar Rebecca juga dipanggil sebagai saksi," tambahnya.
"Mantannya katanya kehilangan handphone ... tapi saya membenarkan bahwa mantannya itu sering sekali mengancam Rebecca."
Mantan pengacara Rebecca, Ahmad Ramzy, mengatakan saat itu kliennya diperas dan diancam oleh RFN dan NR dengan alat bukti video.
Rebecca bahkan sempat mentransfer uang Rp30 juta kepada tersangka supaya videonya tidak disebarkan.
"Tetapi kedua tersangka meminta restorative justice, disampaikan kepada saya dan RK, dengan [kesepakatan] alat bukti dimusnahkan."
Sementara kasus Rebecca Klopper masih terus bergulir, ICJR menilai kasus ini menunjukkan urgensi dari revisi UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat 1 tentang penyebaran konten bermuatan kesusilaan.
"Tidak jelasnya definisi 'kesusilaan' mengakibatkan pasal ini menjadi pasal karet yang justru dapat dipakai untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual ... padahal seharusnya dilindungi oleh negara, sehingga Pasal 27 ayat 1 UU ITE sebaiknya dihapus," ujar Johanna Poerba dari ICJR.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kesepakatan dengan Keluarga Nelayan Aceh Disepakati, Kasus Bodhi Tidak Akan Dibawa ke Pengadilan