jpnn.com - SURABAYA – Kinerja ekspor komoditas perikanan dari Jawa Timur terus meningkat.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor ikan dan udang pada Januari–Oktober tahun ini mencapai USD 844,7 juta.
BACA JUGA: KKP dan Pemerintah Belanda Perluas Kerjasama
Bila dibandingkan dengan nilai ekspor pada periode Januari–Oktober 2015 sebesar USD 816,8 juta, terdapat kenaikan 3,42 persen.
Sebagian besar produk ikan dan udang dikirim ke negara tujuan ekspor tradisional, terutama Jepang dan Amerika Serikat.
BACA JUGA: Fokus Biayai Infrastruktur, Mandiri Kucurkan Rp 100 Triliun
’’Konsumsi produk perikanan di dua negara tersebut tinggi,’’ kata Kepala Badan Pusat Statistik Jatim Teguh Pramono kemarin (22/11).
Salah satu komoditas ekspor adalah udang vanamei. Nilai ekspor udang pada Januari–Oktober mencapai USD 288,6 juta.
BACA JUGA: BI Terapkan GWM Averaging, Bank Lebih Fleksibel Kelola Likuiditas
Sedangkan pada Januari–Oktober 2015 hanya USD 227,4 juta.
Artinya, terjadi kenaikan 5,64 persen. Peran ekspor udang vanamei terhadap total ekspor Jatim sebesar 1,83 persen.
Namun, besarnya peluang ekspor produk perikanan tidak diikuti dengan pemahaman terhadap ketentuan impor yang ditetapkan negara-negara tujuan ekspor.
Akibatnya, banyak produk yang telanjur diekspor terpaksa dikembalikan ke Indonesia.
Vice President I Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Johan Suryadarma mengatakan, alasan negara importer melakukan reekspor adalah ketaatan pada standar yang telah ditetapkan.
Misalnya standar pengemasan, label asal produk, hingga nomor registrasi eksporter.
’’Kalau salah satu dari ketentuan itu tidak dipenuhi, maka dianggap menyalahi aturan. Dan produk tersebut wajib direekspor ke negara asal. Padahal, ketentuan mengenai itu sudah disosialisasikan pada para pengusaha, tapi tidak semuanya memperhatikan,’’ jelasnya.
Johan menuturkan, banyak komoditas ekspor perikanan yang dikembalikan sebelum dilakukan pembongkaran muatan.
Artinya, penolakan terjadi saat pengecekan dokumen ekspor.
Bila produk dikirim kembali ke Indonesia, eksportir merugi karena tidak mudah menjual produk tersebut di pasar domestik.
’’Banyak eksporter gagal karena tidak memiliki approval number negara tujuan. Ada 500 eksportir yang memiliki approval number di Tiongkok, yang hanya bisa digunakan di Tiongkok. Kalau ke negara lain, harus mendaftar lagi,’’ terangnya.
Penyebab penolakan lainnya adalah health certificate.
Penerbit health certificate ekspor hasil laut Jatim sering kali tidak mengecek barang lagi.
Padahal, ada perubahan-perubahan yang mengharuskan pengisian dokumen yang berbeda.
Masalah lainnya adalah persoalan teknis yang mengakibatkan mutu menurun. Misalnya pengolahan ikan tuna.
Penanganan yang tidak tepat mengakibatkan kadar histamine pada ikan meningkat sehingga ditolak di Eropa dan AS yang menetapkan kadar histamine rendah.
’’Informasi itu harus dipahami pelaku usaha,’’ terang Johan. (res/c19/noe/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Badan Layanan Umum Ditarget Sumbang Rp 73 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi