Refleksi 2017: Populisme Kanan dan Politik Identitas

Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc*

Kamis, 28 Desember 2017 – 16:48 WIB
Fadli Zon dan Joko Widodo. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - Tahun 2017 akan segera terlewati. Ada berbagai peristiwa yang meramaikan jagat politik nasional pada 2017 ini.

Hoax, SARA, toleransi, politik identitas dan Undang-undang (UU) Ormas menjadi isu yang menonjol pada tahun ini. Semuanya bukanlah isu yang menyenangkan.

BACA JUGA: PPP Nilai Jokowi Piawai Mengonsolidasi Kekuatan Politik

Wajah dunia politik kita sepanjang 2017 sepertinya sangat dipengaruhi oleh wajah Pilkada DKI. Hampir seluruh isu yang mewarnai Pilkada DKI, mulai dari isu SARA, politik identitas, atau hoax -yang oleh para pengamat di-framing sebagai kebangkitan populisme kanan- kemudian bergema secara nasional.

Sebagai bangsa majemuk, bangkitnya wacana politik identitas memang pantas membuat kita berkaca diri. Politik identitas erat kaitanya dengan proses aksi reaksi di lingkungan masyarakat.

Mengeksploitasi kekhawatiran sangatlah tak berguna. Kita mesti bertanya, apa yang telah membuat politik identitas seolah kembali bangkit belakangan ini?!

BACA JUGA: Fadli Anggap Deportasi Ustaz Somad Pelecehan terhadap Ulama

Sejak awal saya berpandangan, terlalu gegabah jika benturan keras yang terjadi selama periode kampanye Pilkada DKI lalu hanya didudukkan sebagai persoalan sektarian versus kebinekaan. Meminjam analisisnya Inglehart dan Norris, populisme biasanya berkembang karena dua faktor, yaitu kesenjangan ekonomi dan terjadinya benturan kebudayaan.

Itu sebabnya saya berpandangan bahwa bangkitnya politik identitas yang terjadi belakangan ini tak berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap kebhinekaan, tetapi karena dipancing oleh meningkatnya ketidakadilan sosial. Jangan lupa, indeks ketimpangan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia terjadinya di masa pemerintahan Pak Jokowi ini.

BACA JUGA: Fadli Tak Rela UAS Ditolak Hong Kong, Ini Sarannya ke Kemlu

Menurut studi Amy Chua, pasar bebas dan demokrasi yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat sangat rentan untuk melahirkan konflik dan instabilitas. Jadi, soal ketimpangan ekonomi ini memang tidak bisa diabaikan.

Di luar soal ekonomi, benturan kultural juga bisa jadi pemicu munculnya populisme. Kenapa populisme sangat mewarnai Pilkada DKI kemarin, misalnya, juga karena gesekan kebudayaan ini.

Di balik hutan beton Jakarta, sebagaimana halnya kota-kota tua lainnya, banyak orang lupa bahwa Jakarta juga adalah sebuah tempat yang memiliki identitas dan jejak historis yang panjang.

Ketika identitas dan jejak historis itu dipinggirkan, dikaburkan dan bahkan -entah secara sengaja maupun tak sengaja- sedang dicoba dikuburkan melalui sejumlah agenda ekonomi dan politik ruang oleh gubernur DKI yang lama, tentu akan ada resistensi dari mereka yang merasa terikat pada identitas-identitas tradisional tersebut.

Resistensi itulah yang kemudian telah melahirkan apa yang oleh para pengamat disebut sebagai kebangkitan populisme tadi. Itu sebabnya, resep untuk mengatasi gejala menguatnya politik identitas bukanlah dengan melakukan kegiatan indoktrinasi, melainkan dengan menata kebijakan ekonomi dan politik, termasuk politik tata ruang, yang lebih adil dan mengakomodasi kepentingan mereka yang selama ini termarjinalkan.

Kita akan segera menginjak tahun politik. Penting buat pemerintah untuk menjaga situasi agar tetap kondusif. Untuk itu, ruang publik kita mestinya makin bersih dari hoax dan ujaran kebencian.

Sayangnya, pemerintah kadang justru menjadi pihak yang turut mengeruhkan suasana. Kita lihat, misalnya kasus Saracen.

Polisi awalnya mengekspose Saracen seolah adalah kasus besar terkait industri hoax dan penyebar kebencian di media sosial. Masyarakat kita dulu menanggapinya dengan heboh.

Sayangnya, sebagaimana yang bisa kita baca dari proses peradilan yang tengah berjalan, tuduhan-tuduhan polisi yang bombastis tadi tak ada yang masuk dalam dakwaan jaksa. Artinya, tuduhan-tuduhan tadi sama sekali tidak bisa dibuktikan.

Kita tentu berharap agar ke depannya Polri bisa lebih profesional dan fair dalam menjalankan tugasnya, agar tidak memancing spekulasi dan berkembangnya fitnah di masyarakat. Menguatnya politik identitas mestinya dijawab oleh pemerintah dengan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, bukan dijawab dengan represi dan produksi stigma.

Upaya represif terhadap para ulama dengan pelarangan-pelarangan justru memperkuat perlawanan politik identitas.(***)

*Fadli Zon adalah pelaksana tugas (Plt) Ketua DPR RI/wakil ketua umum DPP Partai Gerindra

BACA ARTIKEL LAINNYA... TGUPP Anies Ditolak, Fadli Zon Sindir Mendagri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler