Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Oleh Antonius Benny Susetyo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP

Minggu, 02 Mei 2021 – 20:35 WIB
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Romo Benny Susetyo. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Oleh Antonius Benny Susetyo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP

Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas. Tanggal ini diambil dari hari kelahiran tokoh pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara.

BACA JUGA: Hardiknas, Krisis Kebangsaan, dan Pendidikan Nasional Indonesia

Hari pendidikan nasional ini harus menjadi refleksi bagi kita semua dalam memandang pendidikan di bangsa ini.

Ki Hajar Dewantara dalam semboyannya 'Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani', yang artinya "Di depan (guru) harus memberi contoh yang baik, di tengah-tengah (muridnya) harus menciptakan ide dan prakarsa, di belakang harus bisa memberi dorongan dan arahan).

BACA JUGA: Simak, Catatan Kritis dan Rekomendasi FSGI pada Momen Hardiknas 2021

Demikianlah seharusnya dingat dan dilakukan baik oleh orang tua, guru, dan teladan lainnya yang ada di masyarakat.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih terus merumuskan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang bakal didorong untuk menjadi peraturan presiden (Perpres).

BACA JUGA: Peringati Hardiknas 2021, Mas Nadiem Berbusana Khas NTT, Nih Penampakannya

Seperti yang sudah diejlaskan oleh Direktur Dikmen Diksus Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus (GTK Dikmensus) Kemendikbud Yaswardi, bahwa peta jalan bakal menitikberatkan pada tiga aspek utama pendidikan yaitu kurikulum sebagai planning, pembelajaran sebagai do, dan yang ketiga asesmen.

Kemendikbud menarget untuk menjadikan peta jalan itu sebagai peraturan presiden (Perpres). Hal ini supaya mempermudah cakupan koordinasi. Mengingat peta jalan tersebut bakal melibatkan sejumlah kementerian/lembaga.

Yaswardi tak luput menjelaskan bahwa ke depannya bakal mengedepankan basis teknologi informasi serta tak monoton.

Dalam peta jalan pendidikan juga bakal mendukung pembelajaran yang penuh dengan kreativitas. Dalam aspek kurikulum akan mengacu pada peta jalan pendidikan akan menyesuaikan diri dengan tahapan kebutuhan para murid.

Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud, Iwan Syahril mengaku pihaknya menargetkan untuk merampungkan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 pada Mei-Oktober 2021 mendatang dan kini tengah melakukan perbaikan pada naskah peta jalan tersebut.

Nantinya peta jalan ini akan menjadi acuan bagi pendidikan di Tanah Air, termasuk guna menjadi patron dari revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Dari semua rencana dan eksekusi yang telah dilakukan oleh Kemendikbud tersebut perlu diperhatikan sosialiasi kedepannya kepada para pemangku kepentingan dan juga masyarakat luas.  Selain itu, dalam pembuatan peta jalan pendidikan ini tidak tergesa-gesa.

Jadi, banyak rencana konseptual dan praktik yang belum jelas. Bahkan dapat dinilai kurikulum akan merugikan pengajar dan siswa.

Tak heran bila legislatif pun mengingatkan agar anak didik tidak dijadikan kelinci percobaan. Misalnya, rencana peleburan sejumlah mata pelajaran di jenjang sekolah dasar, banyak pihak menilai sebagai rencana yang sulit diterima.

Hal itu justru akan melahirkan masalah di kemudian hari pada tahap implementasi. Pemerintah dinilai terlalu simplifikatif melebur isi pelajaran. Barangkali secara konsep hal itu mudah dilakukan, tapi sulit dalam praktik.

Integrasi mata pelajaran diprediksi tidak berlangsung mulus karena menyangkut berbagai komponen, mulai dari guru sampai kompetensi.

Hal tersebut justru akan melahirkan berbagai persoalan di kemudian hari alih-alih cita-cita mengembangkan pendidikan karakter. Bila dilakukan tanpa perencanaan yang matang, hal tersebut akan mengulang kisah-kisah pilu masa lalu pendidikan nasional.

Kisah yang menceritakan bahwa berbagai kebijakan pendidikan sebagai roh sering kali tidak berfungsi optimal karena minat kekuasaan yang cenderung mengarah pada politisasi daripada bersungguh-sungguh kemajuan bangsa.

Anak didik bukanlah kelinci percobaan dari kebijakan yang problematis. Mereka sudah lelah selalu menjadi kambing hitam berbagai proyek pendidikan yang tidak jelas ujung pangkalnya, dari zaman kemerdekaan hingga kini.

Pendidikan belum maju. Bangsa selalu disuguhi, perubahan terkait aturan pendidikan yang terkadang erat dengan politik pendidikan kekuasaan.

Ganti penguasa berubah juga aturan yang ada. Hal ini seolah-olah merupakan kebijakan like and dislike yang bisa diterapkan asal-asalan dan mengabaikan hakikat serta visi pendidikan itu sendiri.

Di sini muncul pertanyaan, sebentar lagi kekuasaan berubah, bagaimana nasib penerapan kebijakan aturan pendidikan ke depan? Dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan krusial seperti ini, tak boleh terburu-buru.

Tujuan memperdalam pendidikan karakter sebagaimana kerap diungkap pemerintah terkait dalam membuat kebijakan aturan pendidikan ini perlu diapresiasi. Namun, harus memperhatikan berbagai aspek pendidikan.

Bila tidak, justru akan melahirkan masalah baru. Problem selama ini bukan semata-mata soal kurikulum, tetapi paradigma pendidikan yang kerap mengabaikan upaya memanusiakan manusia.

Pendidikan hanya berkutat pada kapitalisasi, ketimpangan, dan eksploitasi anak didik sehingga mereka sekadar menjadi tukang.

Pendidikan harus mampu memanusiakan manusia, membebaskan dan meniadakan dehumanisasi. Pendidikan menjadi usaha pemanusiaan secara terus-menerus.

Namun, bila pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik, bagaimana niat mulia pengembangan karakter bisa dicapai? Pendidikan yang terlalu banyak didikte kekuasaan politik hanya akan menghasilkan manusia yang pandai ikut-ikutan seperti robot.

Dunia pendidikan menjadi karut-marut, tidak tentu arahnya. Bila elite berpikir sempit dan jangka pendek, pendidikan akan musnah. Memajukan pendidikan adalah sebuah pekerjaan panjang. Kebiasaan berpikir jangka pendek telah membutakan mata hati dan membelokkan arah pendidikan.

Pertama-tama, perlu mengubah paradigma guru sebagai teman dan rekan siswa. Mereka harus mampu member alternatif saat menemukan masalah.

Guru bukan hanya mentransfer ilmu. Dia harus bisa memberi teladan. Masalahnya, guru tidak lagi memiliki ilmu mendidik karena hanya menjadi mentor. Ini harus dibenahi dulu agar guru berkualitas dalam pendidik. Dengan begitu, perubahan kurikulum tidak masalah.

Pendidikan tecermin dari kebijakan dalam memberi fasilitas terbaik bagi warga. Keberhasilan utama pendidikan mampu sosialisasi arti penting sekolah bagi masyarakat.

Setiap orang tua berjuang keras agar generasinya mengenyam pendidikan. Mereka tidak mau melihat anak menjadi kuli seperti dirinya, termasuk mereka yang tinggal di pedalaman.

Setiap hari anak-anak berjalan kaki berkilo-kilometer ke sekolah agar maju dan memiliki kehidupan lebih baik dibanding orang tua.

Meski demikian, keberhasilan membangkitkan motivasi pendidikan justru tak sebanding dengan perhatian pemerintah yang gagal memberi fasilitas dan kemudahan bagi para murid untuk menempuh pendidikan.

Hiruk-pikuk yang menyedihkan pada saat awal-awal ajaran baru sekolah dimulai merupakan bukti bahwa negara kehilangan kekuatan memberi yang terbaik buat warga. Itu tecermin dari perilaku elite.

Mereka merasa sadar pendidikan, tetapi tidak sikapnya melemahkan arti pendidikan. Indonesia membutuhkan visi pendidikan yang terarah. Ini hanya bisa terjadi bila ada kemauan politik.

Oleh karena itu, di Hari Pendidikan Nasional ini harus meniadi refleksi bagi setiap indivieu dan marilah kita bersama membangun visi pendidikan yang terarah demi kemajuan bangsa.(****)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler