Refleksi Papua 2022: Yorrys Berharap DOB Tidak Jadi Beban

Minggu, 25 Desember 2022 – 10:15 WIB
Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai mengajak publik untuk tidak melupakan konstalasi sosial dan politik yang berlangsung di ujung timur Indonesia, yakni Papua.

Menurut Yorrys, publik jangan pernah melupakan kondisi papua karena selama ini wilayah tersebut cenderung diabaikan.

BACA JUGA: BKD Papua Mendorong ASN Mendaftarkan Diri untuk Bertugas di 3 DOB

"Itulah yang terasa dari waktu ke waktu. Berbagai aturan dan kebijakan dikeluarkan untuk merespons persoalan kedaerahan Papua, tetapi tidak kunjung memenuhi persepsi dan misi yang sama," kata Yorrys di Jakarta, Minggu (25/12).

Dia mengungkapkan persoalan yang bermunculan justru di saat banyaknya kanal representatif, seperti DPD, DPR, DPRP, dan MRP yang sedianya menjembatani kesenjangan pemahaman tentang apa yang dimaksudkan oleh pemerintah pusat dan apa yang dikehendaki oleh rakyat Papua.

BACA JUGA: 3 DOB di Papua Membutuhkan 3.200 ASN

Diketahui, 2022 menjadi tahun pertama yang dilewati setelah kebijakan otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2001 diperbarui dengan UU Nomor 2 Tahun 2021.

Menurut anggota DPD RI Dapil Papua ini, muatan perubahan UU Otonomi Khusus sangat ideal sebagai usaha mempercepat pembangunan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik berkelanjutan. Muatan ideal itu cenderung tidak memiliki pengaruh signifikan untuk melahirkan perubahan.

BACA JUGA: Pembentukan DOB Wujudkan Papua Baru yang Damai dan Sejahtera

Yorris mengibaratkan Undang Undang Otonomi Khusus yang baru seperti cek kosong yang melompong. Menyamakan persepsi melalui sosialisasi menyeluruh dan berkesinambungan tidak kunjung terwujud.

"Padahal, begitu banyak figur representatif yang bisa diajak bekerja sama untuk mewujudkan kesamaan persepsi tersebut," jelas Yorrys yang juga Ketua MPR for Papua.

Menurut Yorrys, kebijakan baru ini bukannya diterima begitu saja, melainkan dipenuhi dengan pergolakan paham dan pemikiran. Belum lagi, aturan turunan berupa peraturan pemerintah yang tidak kunjungan dipahami secara sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Yorrys mencatat, sejak Otonomi Khusus Jilid II diundangkan, pemerintah telah mengeluarkan 2 peraturan turunan terkait UU Otonomi Khusus, yakni PP No. 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua serta PP No. 107 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua.

Terakhir pada 2022, pemerintah mengeluarkan PP No. 121 Tahun 2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua. Namun, hingga saat ini elemen kedaerahan tidak satu pun merespons aturan-aturan itu dalam bentuk peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus (Perdasi dan Perdasus).

"Bisa dipastikan, masa depan Papua cenderung didominasi persepi pemerintah pusat," papar Yorrys.

Wakil Ketua MPO Pemuda Pancasila itu juga menyinggung tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua yang menjadi tantangan baru.

Pemekaran wilayah di Papua, menurutnya, bukan hanya soal politik kontestasi dan pembagian kekuasaan dan jabatan, tetapi sejauh mana substansi persoalan di Papua terjamah dan terakmodasi.

"Jika tidak dikelola dengan baik, apa pun yang dihasilkan pada tahun 2022 ini akan menjadi beban sosial dan politik bagi masyarakat Papua," katanya. (jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler