Reformasi Kebijakan Pangan untuk Seimbangkan Inflasi

Senin, 03 April 2017 – 14:10 WIB
Ilustrasi. Foto: Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) yang menurun bukan selalu berarti sektor pertanian tidak berkembang.

Pertumbuhan sektor industri dan jasa di banyak negara berkembang umumnya berkembang lebih pesat dibanding pertumbuhan di sektor pertanian.

BACA JUGA: Mentan Ajak Semua Elemen Bergerak Bersama Petani

Hal ini tentu berakibat menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional. Sebagai contoh, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB di beberapa negara pada 1995 dibanding 2014 yang umumnya mengalami penurunan.

World Bank melaporkan untuk Malaysia turun dari 12,9 persen menjadi 8,9 persen, Tiongkok (19,6 persen menjadi 9,1 persen), Vietnam (27,2 persen menjadi 17,7 persen), dan Kamboja (49,6 persen menjadi 30,5 persen).

BACA JUGA: Kementan Gandeng PBNU Manfaatkan Lahan di Tiga Provinsi

Namun demikian, tidak perlu dikhawatirkan, penurunan kontribusi ini akan mengarah kepada situasi kurang pangan.

Negara-negara tersebut, termasuk Indonesia membuktikan bahwa pada periode tersebut mampu mewujudkan kemandirian dalam produksi pangan bahkan sebagian di antaranya menjadi eksportir pangan.

BACA JUGA: Kementan Siapkan Benih, PBNU Sediakan Lahan

Hal yang sama pasti berdampak juga kepada penurunan serapan tenaga kerja. Walaupun serapan tenaga kerja untuk sektor pertanian di Indonesia tahun 1991 sebesar 55,1 persen dan turun menjadi 31,9 persen di tahun 2016, produksi pangan Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan sebagai imbas dari peningkatan produktivitas dan luas lahan, termasuk di dalamnya pemanfaatan teknologi. 

Hal serupa juga terjadi di negara lain. Pada periode 1994 sampai dengan 2010, World Bank melaporkan tenaga kerja di sektor pertanian di Tiongkok turun dari 50 persen menjadi tiga persen, Thailand (56 persen menjadi 38 persen), dan Filipina (45 persen menjadi 33 persen).

Situasi ini, menurut peneliti Center for South East Asia Study yang mendalami migrasi tenaga kerja di sektor pertanian di negara-negara Asia, tidak perlu dikhawatirkan akan menurunkan pertumbuhan produksi pangan asalkan teknologi yang diperlukan dipersiapkan dengan baik.

Pemerintah telah mengantisipasi dengan pemanfaatan 180 ribu alat mesin pertanian untuk mengurangi beban kerja petani dan meningkatkan  efisiensi produksi.

Fakta menunjukkan selama 32 tahun terhitung mulai 1984 hingga 2014, pembangunan pertanian Indonesia masih tergantung impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Kini, sepanjang 2015 sampai dengan 2016 Indonesia telah mampu meningkatkan produksi pangan strategis sehingga volume impor turun bahkan tidak impor untuk beras, bawang, dan cabai, serta impor jagung dapat ditekan 66 persen.

Secara terperinci produksi komoditas strategis dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Produksi padi naik sebelas persen, jagung (21,8 persen), cabai (2,3 persen), dan bawang merah (11,3 persen).

Peningkatan produksi komoditas unggulan peternakan, daging sapi naik 5,31 persen, telur ayam (13,6 persen), daging ayam (9,4 persen), dan daging kambing (2,47 persen).

Begitu pun produksi komoditas perkebunan, tebu naik 14,42 persen, kopi (2,47 persen), karet (0,14 persen), dan kakao (13,6 persen).

Terkait neraca produksi dan konsumsi beras yang dihitung oleh Direktur Eksekutif Departemen Riset Kebijakan Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluya, perlu dikoreksi.

Menurut Dody, dengan prediksi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 sebesar 270 juta, dibutuhkan 55 juta ton beras. Ini berarti kalau dihitung balik maka konsumsi per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2020 sebesar 203 kg per kapita per tahun.

Angka konsumsi per kapita ini tidak sesuai dengan hasil survei terakhir, bahwa konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia hanya 113 kg per kapita per tahun (2014).

Angka konsumsi per kapita ini sebenarnya cenderung turun dari tahun ke tahun,  sebagai contoh pada tahun 2010 konsumsi per kapita masih 124 kg per kapita per tahun.

Kecenderungan turunnya konsumsi beras per kapita ini, salah satunya dipengaruhi oleh meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat dan secara keseluruhan meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI).

Beberapa program pemerintah yang terkait dengan upaya untuk menekan inflasi pangan (volatile food inflation) dan meningkatkan kesejahteraan petani, diantaranya di tingkat produsen melalui pengendalian harga dengan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga dasar.

HPP dan harga dasar tersebut ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan margin yang wajar diterima oleh petani agar terus berproduksi dan tidak mendongkrak inflasi.

Di tingkat konsumen, Pemerintah menetapkan harga acuan pangan strategis melalui Permendag No.63 Tahun 2016. Penetapan harga acuan ini diharapkan mampu mengendalikan margin yang diterima oleh pedagang agar konsumen menerima harga yang wajar.

Sebagai contoh, HPP untuk gabah kering panen Rp 3.700 per kg dan harga beras di pasar induk ditetapkan Rp 7.300 per kg.  

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga telah melakukan pengendalian distribusi pangan dengan memangkas rantai pasok dari 9 titik menjadi 3 titik, di antaranya dengan membangun Toko Tani Indonesia (TTI).

Pada tahun 2016 telah terbangun TTI sebanyak 1.218 unit, dan tahun 2017 dalam proses pembangunan untuk 1000 unit TTI.

Upaya pengendalian harga melalui penetapan HPP, harga acuan, pemangkasan rantai pasok, dan kerja sama kemitraan penyerapan produksi dengan industri pangan/pakan diharapkan mampu menekan tingginya inflasi pangan dan meningkatkan pertumbuhan produksi pangan dalam dua sampai tiga tahun ke depan. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tingkatkan Pertanian, Kementan Incar Warga NU


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Kementan  

Terpopuler