jpnn.com - Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Suharmono mencurahkan isi hatinya tentang kasus dugaan perundungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di balik kematian mahasiswinya, dokter Aulia Risma Lestari.
Curhatan Suharmono itu diungkapkan kepada peserta diskusi "Mewujudkan Tata Kelola yang Baik di Universitas Semarang" pada Jumat (30/8) kemarin yang disiarkan langsung pada YouTube USM TV.
BACA JUGA: Manajemen RSUP Dr Kariadi Tangguhkan Praktik Dekan FK Undip Buntut Perundungan PPDS
Mulanya Suharmono bercerita tentang kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) yang mendapat tanggapan positif di media sosial (medsos).
"Saat PPKMB ratusan ribu pengin masuk Undip tahun depan. Sekarang jangan masuk Undip banyak bullying, saya jempalitan, langsung remuk," katanya.
BACA JUGA: Polda Jateng Usut Dugaan Perundungan Dokter PPDS Anestesi Undip
Menurutnya, serangan tuduhan perundungan atau bullying datang bertubi-tubi hingga sekarang. Pihaknya mengakui tak bisa membendung tudingan itu.
"Kami mengatasi tuduhan bullying saja tidak cukup mampu," ujar Guru Besar Manajemen Sumber Daya Manusia itu.
BACA JUGA: Soal Kasus Perundungan Dokter Spesialis Undip, Polisi Minta Mahasiswi PPDS Bersuara
Dia bilang tuduhan adanya bullying itu berawal dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Dirjen Yankes) dengan mengeluarkan surat keputusan menghentikan praktik anestesia PPDS di RSUP Dr Kariadi.
"Hari pertama beliau meninggal, tetapi hari pertama dari Yankes bilang tuduhan bullying yang menyebabkan kematian, Yankes yang menuduh, seharusnya kepolisian, itu dia nuduh saja," katanya.
Dampak itu makin melebar hingga sekarang. Nama Undip dicap sebagai kampus problematik yang penuh perundungan. Ini pun juga berimbas pada terganggunya praktik koasisten.
"Padahal, ini kaya suami istri, 100 persen mahasiswa kami koasnya di Kariadi, yang di RSND Diponegoro tidak ada masalah, di semua RS satelit tidak ada masalah," katanya.
Dia mengatakan bahwa di RSUP Dr Kariadi melakukan praktik operasi 24 jam. Para dokter muda itu berjibaku praktik di luar batas waktu normal.
"Mereka ikut operasi dan sebagainya, sangat exhausted, sangat kelelahan, operasi yang harusnya 1 jam kadang kala bleeding jadi 6 jam. Lanjut operasi lagi dan itu ada SK Dirut Kariadi, 24 jam operasi," katanya.
Dia mengakui bahwa menjadi dokter residen capainya luar biasa. Namun, dia menyebut Kemenkes justru memberi cap bullying yang menggiring opini liar masyarakat kepada Undip.
"Kami yang kena, PPDS Undip, jangan sembunyiin dong, lha, kami bingung yang disembunyiin apanya? siapanya?" kata dia.
Dia menyatakan Undip telah memecat satu mahasiswa PPDS pada 2022, dan dua mahasiswa tahun berikutnya. Menurutnya, itu bentuk komitmen melawan perundungan atau zero bullying.
"Kami tidak ingin orang meninggal bukan karena bullying, tetapi harus bullying, itu yang merepotkan," katanya.
Pada hari kedua setelah kematian Aulia Risma Lestari, pihaknya mengeklaim terbuka menyambut Kemenkes dan Kemendikbudristek beserta kepolisian melakukan investigasi.
"Tetapi problemnya netizen harus di-framing bullying, kami ngomong apa saja tetap bullying. Seharusnya kepolisian yang memutuskan kematian karena bullying atau tidak," ujarnya.(mcr5/jpnn)
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Wisnu Indra Kusuma