jpnn.com - Ada pepatah ‘’lepas dari mulut singa masuk ke mulut buaya’’, untuk menggambarkan kesulitan demi kesulitan yang mendera susul-menyusul. Itulah yang dialami oleh dunia global sekarang ini. Pagebluk Covid-19 belum ketahuan kapan berakhir, sekarang dunia mulai masuk ke krisis baru akibat perang Rusia-Ukraina.
Dunia sudah pegal menghadapi krisis pandemi yang sudah memasuki tahun ketiga dan tidak ada tanda-tanda akan menghilang. Beberapa eksperimen sudah dilakukan untuk melupakan krisis penyakit ini. Namun, ternyata penyakit ini sangat ulet dan tidak gampang menyerah.
BACA JUGA: Situasi Geopolitik Dunia Berubah Akibat Konflik Rusia - Ukraina, Ganjar Mengingatkan Kepala Daerah
Beberapa negara sudah mencoba melupakan pagebluk ini dan menganggapnya seperti penyakit flu biasa. Namun, sekali lagi, penyakit ini benar-benar bengal dan tidak mau menyerah begitu saja.
Kita sudah mengikhlaskan badan dicoblos tiga kali vaksin plus booster, maunya supaya menjadi kebal.
BACA JUGA: Matinya Demokrasi
Namun, si Covid terus-menerus bermutasi menghasilkan varian-varian baru yang sulit dideteksi.
Pelonggaran sudah dilakukan di beberapa negara Eropa. Prokes dicabut, jaga jarak dihilangkan, pemakaian masker tidak diwajibkan.
BACA JUGA: Kemah Nusantara
Namun, yang terjadi adalah virus kecil itu muncul menyerang dengan tiba-tiba, seperti sniper dan pengintai yang cepat menyergap ketika lawannya lengah atau mengendorkan konsentrasi.
Akibatnya, tingkat penularan melonjak lagi. Beberapa negara bahkan mengalami lonjakan sampai 50 persen. China yang selama ini dianggap paling berhasil mengatasi pagebluk ini sekarang dipaksa bersiaga lagi.
Program recovery ekonomi yang sudah dirancang menjadi pola aksi pasca-pandemi harus ditahan dulu. Sejak awal orang-orang sudah mencanangkan penerapan ‘’new normal’’, normal baru. Namun, sekarang sudah tidak terdengar lagi konsep normal baru itu. Orang-orang hanya ingin melupakan krisis pandemi ini dan melupakannya sepenuhnya.
Belum pernah dalam sejarah umat manusia ada perang besar melawan musuh yang tidak terlihat dan tidak diketahui kapan akan berakhir. Manusia yang sudah menguasai teknologi paling canggih dan sudah merencanakan untuk kemping di Planet Mars, ternyata tunggang-langgang menghadapi virus yang ukurannya 1/10.000 titik yang menjadi akhir kalimat ini.
Manusia sudah terbiasa menghadapi bahaya-bahaya besar dan mengantisipasinya dengan sangat teliti dan rumit, sampai ke hal terkecil yang paling detail. Manusia mengantisipasi perang besar, invasi militer musuh, serangan mendadak dengan nuklir, dan menyiapkan pengamanan dengan teliti, menyiapkan senjata penangkal yang paling canggih, dan menyediakan anggaran triliunan dolar.
Namun, ternyata manusia kebobolan oleh virus kecil ini. Sudah banyak ahli yang mengingatkan akan serangan musuh yang tidak kelihatan ini. Bill Gates sudah mengingatkan akan adanya virus yang mungkin bisa membunuh sepuluh juta orang di seluruh dunia dalam waktu yang tidak terlalu jauh.
Bill Gates dianggap mengacau. Tidak sampai sepuluh tahun sejak peringatan itu ternyata ramalan Gates benar.
Corona muncul dan membuat dunia porak poranda. Alih-alih berterima kasih kepada Gates orang-orang malah menuduh Gates menciptakan virus itu dan sudah menyiapkan virus untuk penangkalnya.
Teori konspirasi menyebut bahwa vaksin anti-Covid 19 mengandung chip kecil bikinan Gates yang dimasukkkan ke tubuh manusia seluruh dunia untuk mengontrol pergerakan mereka. Sebuah teori yang tidak masuk akal, tetapi dipercaya banyak orang.
Dunia masih belum terlalu lama mengalami kematian massal yang mengerikan. Mungkin kita tidak percaya bahwa pada Perang Dunia I yang terjadi pada 1914-1918 dunia terserang virus flu Spanyol yang membunuh 50 juta nyawa. Manusia di seluruh Eropa nyaris punah oleh penyakit itu.
Ketika itu Eropa menjadi black spot, daerah hitam yang mengerikan. ‘’Jalmo moro jalmo mati’’ makhluk yang datang akan mati. Pagebluk misterius membawa kematian yang mengerikan. Pagi sakit sore mati, dan malam sakit pagi mati.
Pegebluk berhenti karena ditemukan vaksin. Sekarang itu tidak benar-benar hilang. Setiap kali setahun kita akan mengalaminya beberapa hari. Hidung mampet, kepala pening, dan badan menggigil. Kita menyebutnya influenza, dan cukup dengan membeli obat di pinggir jalan kita sembuh dalam beberapa hari.
Pandemi yang mengerikan berubah menjadi endemi yang jinak. Itulah yang terjadi dengan flu Spanyol yang sekarang menjadi flu biasa yang sama sekali tidak kita takuti. Sejak ditemukannya vaksin flu tidak pernah terdengar lagi orang mati karena flu.
Itulah yang kita inginkan sekarang. Manusia ingin berdamai dengan Covid, meskipun Covid kelihatannya tidak atau belum mau berdamai dengan manusia. Dia bermutasi dan berubah bentuk dan menyergap setiap saat.
Di Indonesia kita sudah sangat tidak sabar menghadapi virus itu. Pemerintah sudah mengumumkan akan segera mengakhiri keadaan darurat Covid dan menyatakannya sebagai penyakit endemi yang bisa ditangani secara lokal. Di Jakarta eksperimen dilakukan dengan mencabut pembatasan jarak duduk untuk transportasi komuter.
Kesempatan itu dipergunakan oleh sang virus untuk menyerang dengan cepat. Dalam waktu singkat tingkat penularan naik dengan cepat. Dan peraturan pelonggaran pun dicabut dan orang kembali harus duduk secara longgar.
Seluruh dunia mengalami hal yang sama. Belum ada strategi yang paling jitu yang bisa dijadikan sebagai model. Masing-masing negara punya problemnya sendiri. Masing-masing negara membuat eksperimennya masing-masing, dan risiko ditanggung sendiri. Anggaran besar untuk menghadapi Covid lebih baik dialihkan untuk recovery.
Ekonomi sudah terengah-engah menghadapi krisis pandemi. Sekarang muncul ancaman krisis baru dari perang Rusia-Ukraina. Ini adalah perang antar-tetangga yang seharusnya bisa diselesaikan secara bilateral antara kedua tetangga.
Namun, ternyata tidak sesederhana itu. Perang lokal ini punya potensi pecah menjadi perang yang lebih besar, yang melibatkan dua kekuatan besar yang pernah menjadi penguasa di era Perang Dingin pasca Perang Dunia II sampai 1990.
Kekaisaran Uni Soviet runtuh pada 1990, dan efek dominonya terasa di seluruh dunia. Negara-negara komunis yang menjadi satelit Uni Soviet satu per satu lepas. Amerika menjadi negara adidaya tunggal di dunia. Amerika menjadi polisi dunia.
Selepas perang dingin dunia memasuki situasi yang tidak lebih baik. Timur Tengah tetap tidak stabil dan tetap menjadi pusat konflik. Afghanistan menjadi hot spot setelah Amerika tinggal glanggang colong playu, setelah 10 tahun menjadi polisi internasional mengawasi wilayah itu.
Amerika belajar banyak dari kegagalannya di Afghanistan. Amerika menutup mata dan telinga dari kecaman internasional karena dianggap menelantarkan Afghanistan. Terlalu mahal ongkos yang harus dibayar oleh Amerika untuk terus menjadi polisi di Afghanistan.
Negeri Paman Sam itu tak mau menjadi keledai yang masuk ke lubang yang sama dua kali. Ukraina bisa menjadi lubang yang mirip dengan Afghanistan meskipun tidak sepenuhnya sama.
Sekali masuk langsung ke palagan Ukraina, Amerika harus siap perang jangka panjang dengan skala lebih besar.
Amerika dan sekutu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tidak mau ambil risiko. Perang frontal melawan Rusia bisa membawa efek perang global mengerikan. Amerika lebih memilih perang proksi melawan Vladimir Putin dengan menerapkan sanksi ekonomi dan pembekuan aset pengusaha Rusia kroni Putin.
Ukraina harus menerima nasib sebagai anak yatim yang ditelantarkan. Ia ingin menjadi anggota NATO untuk mendapat perlindungan dari Amerika dan Eropa. Rusia tidak akan membiarkan pintu belakang rumahnya dikuasai oleh Amerika dan NATO.
Putin bersikeras mempertahankan kedaulatannya, dan Amerika akan berhitung cermat untuk tidak menantang Putin secara langsung.
Dunia akan berada dalam ‘’stalemate’’, kondisi ketika dua pihak seimbang dan tidak ada yang berani menyerang langsung.
Dalam permainan catur stalemate disebut sebagai remis karena skak abadi dan saling mengunci. Tidak ada yang bisa maju, dan tak ada yang mundur. Krisis Ukraina akan menjadi ajang remis antara Rusia dan Amerika.
Seluruh dunia akan merasakan efek remis itu, dan program recovery ekonomi pasca-pandemi harus ditata ulang lagi. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror