jpnn.com - Reuni 212 tetap dilaksanakan meskipun polisi tidak mengizinkan. Jumlah peserta reuni bisa diperdebatkan.
Polisi merilis angka 500 orang, dan panitia reuni mengeklaim jumlah 10 ribu orang. Berapa pun jumlah orang yang datang tidak terlalu penting untuk dipertentangkan, karena reuni 212 sudah terjadi, meskipun polisi berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencegahnya.
BACA JUGA: Fakta 5 Bocah Hendak Ikut Reuni 212, Bisa Jadi Pelajaran Bagi Para Orang Tua
Jumlah peserta yang datang tidak akan pernah bisa dikonfirmasi karena masing-masing pihak pasti punya versi masing-masing. Di satu pihak ada yang melakukan mark-up dan pihak lainnya melakukan mark-down.
Debat mengenai jumlah peserta sudah ada sejak aksi bela Islam pertama muncul pada 2016.
BACA JUGA: Info dari Kombes Zulpan Soal Nasib Puluhan Massa Reuni 212 Asal Cianjur yang Diamankan
Lepas dari perdebatan jumlah, acara reuni (2/12) itu menjadi simbol perlawanan, the act of defiant, terhadap kekuasaan secara terbuka. Kekuatan kelompok 212 ini sudah dipereteli secara sistematis dengan pembubaran FPI—yang menjadi motor gerakan—dan pemenjaraan semua pimpinan FPI, terutama Habib Rizieq Shihab, yang sampai sekarang masih berada di penjara.
Reuni ini mengenangkan kembali keberhasilan Aksi Bela Islam 2016, yang dianggap sebagai salah satu tonggak kemenangan Islam politik paling menonjol dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
BACA JUGA: Dudung
Hasil yang paling nyata adalah kemenangan Anies Baswedan melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kontestasi pemilihan gubernur DKI, 2017.
Aksi Bela Islam ini juga berhasil menggiring Ahok masuk penjara selama dua tahun karena tuduhan penistaan agama.
Persaingan yang sangat tajam dalam kontestasi pilgub itu melahirkan polarisasi yang menganga, dan terus berlanjut sampai ke perhelatan pilptres 2019. Kali ini skala persaingan meluas ke level nasional.
Kontes pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan—Jokowi-Ma’ruf Amin vs Prabowo-Sandi--membuat polarisasi menjadi makin tajam.
Setelah Jokowi-Ma’ruf memenangi kontestasi dan Prabowo-Sandi masuk dalam koalisi pemerintahan, aroma persaingan dua kubu pendukung tidak menghilang, malah sebaliknya terasa makin menyengat.
Persaingan dua kubu ini secara agak serampangan disebut sebagai persaingan kelompok politik Islam melawan kelompok nasionalis. Kelompok pertama disebut membawa aspirasi negara syariah dan kelompok kedua membawa aspirasi negara sekuler.
Kelompok pertama menghendaki bentuk negara yang tidak terpisah dari agama, kelompok kedua menghendaki bentuk negara yang terpisah dari agama.
Perdebatan dan persaingan yang sangat keras antara dua kubu itu berlangsung sejak masa-masa persiapan kemerdekaan. Sebuah perdebatan yang sangat panjang dan sangat keras yang kemudian melahirkan kompromi yang dipaksakan.
Kelompok Islam menghendaki Pancasila versi Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Kelompok nasionalis keukeuh menolak.
Kompromi dicapai setelah kubu agamis mengalah. Namun, luka akibat kekalahan tidak mudah diobati dan tetap terbawa sepanjang sejarah. Selama masa kekuasaan Orde Lama di bawah Soekarno, kekuatan politik Islam mengalami berbagai macam represi, mulai dari pemenjaraan para pemimpinnya sampai pembubaran partai Islam seperti Masyumi.
Pada masa Orde Baru di bawah Soeharto kekuatan politik Islam sejak awal tidak diberi ruang gerak, dan partai-partai Islam tidak diizinkan untuk berdiri kembali. Sepanjang masa kekuasaan Soeharto Islam politik mengalami represi yang lebih keras dibanding pada masa Soekarno.
Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto membuat persaingan kubu agamis dan nasionalis memperoleh ruang yang lebih terbuka. Pada masa-masa awal reformasi persaingan dua kubu relatif berjalan lebih bebas tanpa represi.
Puncak persaingan paling panas terjadi pada pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019 yang kemudian seolah menghidupkan kembali pola persaingan di masa Orde Lama. Aspirasi politik Islam tumbuh makin kuat dan hal ini menimbulkan kekhawatiran pada kubu kelompok nasionalis yang melihat potensi kemunculan radikalisme agama.
Rezim Jokowi menjadikan perang melawan radikalisme Islam sebagai prioritas penting. Pendekatan yang dilakukan lebih cenderung represif dengan pemenjaraan dan pembubaran seperti era Orde Lama.
Logika yang dipakai adalah ‘’the logic of accumulation and exclusion’’. Kekuatan-kekuatan politik yang kompromistis dikooptasi dan diakumulasi dalam koalisi, dan kekuatan oposisi akan dieksklusi dan bila perlu dianihilasi atau dihilangkan.
Pendekatan semacam itu mungkin saja bisa efektif, tetapi tidak bisa langgeng. Rezim yang berkuasa dengan memakai kekerasan akan melahirkan dendam sejarah yang setiap saat bisa meledak menjadi kekacauan.
Berbagai fenomena yang terjadi belakangan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia belum menjadi negara yang paripurna. Seperti yang dikatakan Yudi Latief, Pancasila adalah produk politik yang seharusnya menjadikan Indonesia sebagai negara paripurna.
Pancasila adalah kompromi politik terbaik, yang dihasilkan dari permenungan dan perdebatan yang sangat intens yang kemudian melahirkan rumusan yang dianggap paling tepat untuk menjadi dasar negara Indonesia yang majemuk.
Sebagai produk politik yang kompromistis Pancasila harus menjadi milik semua. Tidak boleh ada monopoli terhadap Pancasila, dan tidak boleh ada monopoli tafsir terhadap Pancasila. Semua kekuatan majemuk yang ada harus diberi kesempatan yang sama untuk mengekspresikan aspirasi politiknya dalam kerangka Pancasila.
Saat ini yang terjadi adalah berlangsungnya ‘’the logic of accumulation and exclusion’’ terhadap Pancasila dan tafsirnya. Ada kelompok yang merasa paling berhak terhadap Pancasila dan mendaku tafsirnya terhadap Pancasila sebagai yang paling sahih.
Siapa yang setuju terhadap tafsir itu akan menjadi bagian dari akumulasi kekuasaan, dan siapa yang tidak setuju dengan tafsir itu akan mengalami eksklusi dan pengucilan.
Tafsir terhadap Pancasila tidak pernah tunggal. Justru keberagaman tafsir terhadap Pancasila itulah yang menjadi kekuatan khas Pancasila, yang menghargai dan menghormati keberagamaan dan kebhinekaan dalam ketunggalan.
Bangsa Indonesia yang sangat majemuk membutuhkan dasar negara yang bisa menampung kemajemukan itu. Membunuh kemajemukan tafsir terhadap Pancasila sama saja dengan membunuh kemajemukan Indonesia, yang berarti mengingkari nilai paling dasar dari Pancasila.
Ada upaya besar yang sekarang berlangsung untuk memonopoli Pancasila dan tafsirnya secara membabi buta. Pancasila ditafsirkan sebagai dasar negara yang sekuler yang memisahkan agama dari negara.
Lima sila Pancasila lalu diperas menjadi trisila atau tiga sila, lalu diperas lagi menjadi satu sila atau eka sila. Sila tunggal sudah pernah dipaksakan oleh Soeharto melalui azas tunggal yang akhirnya gagal. Sekarang upaya tunggalisasi dilakukan lagi dengan cara yang hampir sama dengan cara-cara Soeharto.
Inti Pancasila pada sila pertama mengenai ketuhanan hilang akibat perasan tunggal itu. Azas ketuhanan harusnya menjadi spirit bagi empat sila lainnya. Azas ketuhanan adalah azas yang bersifat transenden, yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang berketuhanan dan bukan negara sekuler.
Empat sila lainnya adalah cerminan cita-cita yang bersifat profan keduniaan dalam bentuk cita-cita kesejahteraan, keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi. Perpaduan sila pertama dengan empat sila lainnya adalah perpaduan antara ‘’hablun minallah’’ yang transenden dan ‘’hablun minannas’’ yang profan.
Itulah yang menjadikan negara Indonesia khas, bukan negara agama, tetapi negara yang menjadikan agama sebagai spirit bernegara.
Hal yang paling dibutuhkan sekarang adalah pengakuan yang jujur terhadap peran dan kontribusi sejarah masing-masing dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Kelompok Islam mempunyai peran sejarah yang tidak terbantahkan.
Kelompok nasionalis juga mempunyai peran sejarah yang besar yang tidak mungkin dihapuskan.
Dua kekuatan itu harus sama-sama diberi tempat yang terhormat dalam tata kelola bangsa. Dua-duanya harus diakumulasi dalam koaliasi, bukan diekslusi apalagi dianihilasi. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror