jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah dan DPR sedang menggodok revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, revisi UU Ketenagakerjaan ini banyak mendapat penolakan dari pekerja karena dinilai akan merugikan mereka. Praktisi hukum sekaligus praktisi hubungan industrial Dr Anwar Budiman pun menanggapi polemik itu.
“Kita sadari bahwa UU Nomor 13/2003 pada kenyataannya belum sepenuh hati memberikan perlindungan kepada pekerja, sehingga sudah saatnya UU tersebut direvisi. Namun perubahan tersebut sejatinya harus memberikan keadilan dan perlindungan bagi pekerja, pengusaha, dan seluruh rakyat sesuai dengan keadilan Pancasila,” ujar Anwar Budiman di Jakarta, Minggu (1/9/2019).
BACA JUGA: Menaker: Pemerintah Masih Kaji Usulan Revisi UU Ketenagakerjaan
Menurut Anwar, perlu keseriusan negara dalam memberikan keadilan dan perlindungan kepada pekerja dan juga pengusaha, termasuk seluruh rakyat Indonesia.
“Kita ketahui bahwa kemampuan hidup layak, khususnya pekerja swasta setelah masa kerja/pensiun, yang dihadapi sungguh masih jauh dari harapan. Oleh karena itu perlu adanya campur tangan pemerintah agar mereka dapat melanjutkan sisa hidupnya setelah masa kerja, dengan kehidupan yang normal dan layak,” jelasnya.
BACA JUGA: Pemerintah Menampung Masukan Terhadap Revisi UU Ketenagakerjaan
BACA JUGA: Menaker Heran Ada yang Menolak Revisi UU Ketenagakerjaan
Anwar pun menyoroti pasal-pasal dalam rencana revisi UU Ketenagakerjaan yang dapat merugikan pekerja, di antaranya pengurangan pesangon untuk masa kerja 9 tahun; kenaikan upah minimum pekerja yang akan dilakukan setiap 2 tahun sekali; Perjanijan Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tadinya untuk status kontrak pekerja ditetapkan 3 tahun akan diubah menjadi sampai 5 tahun; dan outsourcing yang ketentuannya akan diubah dari yang tadinya untuk pekerja dasar akan berlaku pula untuk posisi leader dan supervisor.
BACA JUGA: Pelaku Usaha Kecil Harus Bisa Masuk Revolusi Industri 4.0
“Sejak Indonesia merdeka hingga kini kedudukan pekerja dalam keadaan yang tidak seimbang, atau secara sosio-ekonomi berada jauh di bawah pengusaha. Apalagi kenyataannya tnaga kerja sangat berlimpah, namun kesediaan pekerjaan sangat terbatas. Sebab itu, perlu campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam berkontrak, sehingga ‘kebebasan berkontrak’ saja tidak cukup,” papar dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, ini.
Kalau kita kembali ke Pembukaan UUD 1945, kata Anwar, di sana dinyatakan tujuan dibentuknya negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Artinya, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan kepada seluruh rakyatnya, sehingga keadilan sosial dapat tercapai,” cetusnya.
Jika kita merenungi lebih dalam lagi untuk mencapai suatu keadilan, lanjut Anwar, maka sudah semestinya kita semua, termasuk pemerintah dan negara, kembali ke keadilan Pancasila, yaitu, pertama, “Keadilan berdasarkan Ketuhanan”, bahwa manusia harus bersikap adil terhadap sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
“Dalam filsafat hukum alam yang dipelopori Thomas Aquinas bahwa keadilan itu adalah berasal dari perintah Tuhan, di mana setiap tindakan manusia harus berlaku adil atas manusia lain, karena itu sudah menjadi perintah Sang Pencipta. Sedangkan Imanual Kant mengatakan bahwa keadilan itu berasal dari akal budi, di mana akal budi manusia tempat lahirnya keadilan. Dengan demikian penulis mempunyai kepentingan bahwa keadilan itu harus sudah dimulai dari dalam pikiran, sehingga dengan pikiran yang adil maka akan melahirkan suatu perbuatan yang adil pula,” paparnya.
Kedua, tutur Anwar, “Keadialan berdasarkan Kemanusiaan”, bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbeda warna kulit, suku dan budaya, tetapi semua mempunyai hak asasi yang sama sejak lahir. “Oleh karena itu kewajiban negara adalah memberikan perlindungan terhadap HAM, karena HAM lahir dari kehendak Tuhan, bukan dari kehendak negara,” terangnya.
Ketiga, masih kata Anwar, “Keadilan berdasarkan Persatuan”, bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, sehingga keadilan yang diberikan oleh negara adalah keadilan yang dapat dinikmati seluruh bangsa dalam wilayah kesatuan RI tanpa membedakan status sosialnya, sehingga melalui keadilan dapat terus dijaga persatuan dan kesatuan bangsa.
“Keempat, ‘Keadilan berdasarkan Kerakyatan’, bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan terhadap negara ini, maka sudah semestinya keadilan yang dibuat oleh negara harus berlandaskan kehendak rakyat dan benar-benar hidup dan dirasakan oleh seluruh rakyat,” terangnya.
Kelima, kata Anwar lagi, “Keadilan Sosial”, bahwa bumi pertiwi ini disediakan oleh Tuhan untuk manusia Indonesia. Kemudian untuk tertib hukum dalam pengelolaan isi bumi ini maka terjadilah kontrak sosial. Rakyat membentuk suatu negara dan mempercayakan pengelolaannya kepada negara yang kemudian hasil pengelolaan tersebut harus dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan yang adil dan merata. Dengan demikian keadilan sosial merupakan keadilan yang harus dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dan dapat mengurangi kesenjangan dalam kehidupan.
“Jika merenungi secara mendalam keadilan Pancasila tersebut, maka sudah semestinya negara melakukan perlindungan hukum kepada warga negaranya agar tercipta keadilan, sehingga kesenjangan tidak terlalu besar antar-warga negara. Untuk mengurangi kesenjangan tersebut maka sudah semestinya negara dan rakyat bersatu padu saling gotong-royong dalam mewujudkannya,” tandasnya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Diyakini Mampu Bikin Indonesia Berswasembada Pangan
Redaktur & Reporter : Friederich