Revisi UU SKN, Wacana Penyatuan KONI-KOI Dinilai Tidak Perlu

Sabtu, 02 Oktober 2021 – 23:41 WIB
28 KONI provinsi menggelar Sarasehan Forum Komunikasi KONI Provinsi Seluruh Indonesia di Hotel Sultan Jakarta, Jumat (23/11). Foto: Ist for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Dosen Ilmu Keolahragaan Institut Teknologi Bandung (ITB) Tommy Apriantono meminta Panitia Kerja (Panja) DPR RI lebih cermat membahas Revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) No.3 Tahun 2005.

Beberapa hal yang perlu dicermati oleh Panja menurut Tommy di antaranya desain Besar Olahraga Nasional (DBON), memaksimalkan peran antar lembaga, menetapkan aturan bonus multi even serta dana pensiun atlet.

BACA JUGA: Draft Revisi UU SKN Sudah Masuk Baleg, Tinggal Disinkronisasi

“Tren di Indonesia ganti pimpinan, ganti kebijakan. Bappenas era Bambang Brodjonegoro pernah menyusun peta jalan prestasi olahraga Indonesia." 

"Kemenpora saat ini punya DBON yang sudah menjadi Perpres, tetapi tak cukup. Perlu undang-undang agar tak berubah ketika pimpinannya berganti,” kata Tommy dalam rilis yang diterima jpnn.com.

BACA JUGA: Sesmenpora: UU SKN Perlu Direvisi untuk Memacu Prestasi Olahraga dan Kesejahteraan Atlet

DBON disahkan Presiden RI Joko Widodo dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 86 Tahun 2021 memuat visi besar sektor olahraga menuju 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Tidak sekadar memasang target prestasi lima besar Olimpiade 2044, tetapi juga ingin menciptakan 70 persen masyarakat Indonesia mulai anak-anak hingga dewasa untuk berolahraga.

BACA JUGA: Baleg DPR Harapkan Revisi UU SKN Jadi Dasar Pelaksanaan Desain Besar Keolahragaan

“Artinya harus mengenalkan olahraga kepada anak sejak dini, tempatnya di sekolah. Selama ini tumpang tindih karena pendidikan ranah Kemendikbud."

"Ada pula Kementerian Agama yang menaungi madrasah. Keterkaitan antar lembaga ini perlu diatur, termasuk memaksimalkan stakeholder seperti KOI dan KONI,” ujar Tommy.

Terkait penyatuan KOI dan KONI, Tommy menilai Panja DPR RI tak perlu beradu pendapat mengenai hal itu.

Sebab fungsi KOI dan KONI sangatlah berbeda. KOI mengurus keikutsertaan Indonesia di multi event Internasional dan KONI mengurus olahraga di sektor nasional.

Fungsi itu tercantum dalam UU SKN. Pasal 36 menuliskan KONI yang dibentuk federasi olahraga nasional bersifat mandiri dan melaksanaan pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi berdasarkan kewenangannya serta melaksanakan dan mengoordinasikan kegiatan multi event tingkat nasional.

Sementara Pasal 44 menulis keikutsertaan Indonesia di multi event Internasional dilakukan KOI atau National Olympic Committee (NOC) yang diakui Komite Olimpiade Internasional (IOC). 

Pada Ayat 4 pun disebut, KOI bekerja sesuai dengan aturan IOC, Dewan Olimpiade Asia (OCA), serta South East Asia Games Federation (SEAGF) serta organisasi olahraga Internasional lain yang terafiliasi dengan IOC dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-Undang.

Sistem tersebut, menurut Tommy diterapkan di banyak negara salah satunya Jepang. Negara Jepan memiliki Japan Olympic Committee (JOC) dan Japan Sports Association (JSPO). 

Sebagai contoh Tommy menggambarkan bahwa KOI yang berafiliasi dengan IOC dan OCA untuk mengurus dan mengatur multi event internasional. Sementara JSPO serupa KONI yang mengurus multi even nasional.

“KOI dan KONI tinggal memaksimalkan fungsi karena berbeda tugas. Apabila disatukan cakupan kerjanya sangat luas dan tidak bisa satu organisasi mengatur semua."

"Menurut saya sistem saat ini sudah tepat, pembinaan di induk federasi olahraga nasional, tetapi perlu diatur atlet mana yang turun di multi event tersebut,” kata Tommy.

Selain hal itu, Tommy berharap pemerintah perlu mengambil langkah tegas terkait regulasi atlet. Sebab, regulasi saat ini masih abu-abu karena ada peraih medali Olimpiade yang turun di PON. 

Hal ini, dikhawatirkan Tommy, dapat mematikan regenerasi atlet sehingga ia berharap Panja RUU SKN dapat memberi solusi.

“Jepang punya Japan Institute of Sports Science (JISS) yang terafiliasi dengan Kementerian, seperti Deputi IV Kemenpora kalau di Indonesia."

"JISS adalah pengawas berisi expertise dan independen, mereka mengatur siapa yang boleh turun di National Sports Festival atau semacam PON versi Indonesia."

"Mereka tegas, tidak boleh atlet Olimpiade, apalagi yang peraih medali turun di sana."

"Belum lagi soal pembajakan atlet dan bonus yang tidak diatur, sehingga akhirnya terkesan daerah ingin buahnya saja dan tidak ada yang membina sejak awal. Termasuk mengatur bonus, mulai dari PON, SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade."

"Regulasi. Ini perlu diatur tegas pemerintah karena negara-negara maju juga mengatur hal tersebut, multi even sekelas PON tidak perlu ada bonus sehingga juga terpacu," ungkapnya.

Hal penting lain, Tommy juga memberikan sorotan kepada pemerintah perihal menyediakan dana pensiun untuk atlet. Khususnya peraih medali di Olimpiade, multi event olahraga tertinggi di dunia. 

Langkah ini sekaligus menjadi bentuk apresiasi pemerintah terhadap pahlawan olahraga Indonesia di kancah dunia.

“Dulu sudah pernah ada, tetapi menurut Kementerian Keuangan tidak ada dasar hukumnya sehingga diberhentikan. Ini yang perlu dimasukkan oleh Panja RUU SKN agar atlet-atlet memiliki orientasi meraih medali Olimpiade,” ujar Tommy. (mcr16/jpnn)


Redaktur : Adil
Reporter : Muhammad Naufal

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
revisi UU SKN   Koni   KOI   Olahraga  

Terpopuler