jpnn.com - Sebagai pelaku bisnis, entrepreneur, filantropis, pendidik, bapak, kakek, yang sudah mengalami 6 masa presiden-wakil presiden di republik ini, Dr (HC) Ir Ciputra ingin berbagi ide. Dari kediamannya, di Bukit Utama Golf, Pondok Indah, kemarin, sosok 83 tahun yang kini dikenal sebagai “Bapak Entrepreneur Indonesia” itu bersemangat menyampaikan percikan pemikiran originalnya.
Perbincangan kadang harus terhenti sejenak, gara-gara pria berbatik cokelat muda itu didera ngilu di gigi bagian kanannya. Tetapi semangatnya, untuk menciptakan quantum leap atau lompatan jauh ke depan bagi bangsa ini, mampu mengalahkan rasa sakit itu. Kadang harus memegang dua pipinya dengan dua telapak tangannya, seraya menghela nafas panjang dari mulutnya, seperti sedang berperang melawan sengatan nyeri yang datang silih berganti. Pantas, orang sering menyebut sakit gigi itu satu level, sama sakitnya dengan sakit hati.
BACA JUGA: Dari 12 M Pertahun Bakal Dinaikkan 100 Persen
Ciputra menyebut, saat inilah waktu yang tepat untuk mengimplementasikan konsep “revolusi mental” yang pernah dijadikan tagline Presiden Terpilih Joko Widodo dan Wapres Terpilih Jusuf Kalla dalam kampanye pilpres 2014. Revolusi itu maksudnya perubahan mendasar, perubahan fundamental, dramatis, pada manusia Indonesia yang bermakna, berkesinambungan dan menuju pada kemajuan dan kesejahteraan.
Sebagai tokoh yang kenyang makan asam-garamnya republik ini, Ciputra pun langsung menukik pada problem yang paling inti: soal ekonomi! Ekonomi itu ibarat pagar dari semua persoalan sosial. Ekonomi yang kokoh, itu seperti perisai alamiah, serum penangkal semua bibit gulma sosial. Menebalkan benteng ekonomi, secara otomatis akan menuntaskan problem klasik yang dihadapi semua negara berkembang di muka bumi ini.
BACA JUGA: Komitmen Itu Energi Inti yang Kekuatannya Melebihi Kasih
Lalu, bagaimana merevolusi mental ekonomi kita? “Harus memberdayakan rakyat agar bebas dari ketergantungan yang mendalam pada investasi, atau modal, atau bantuan dan teknologi asing. Rakyat harus memiliki daya ekonomi. Rakyat yang sanggup hidup ‘tidak miskin’, rakyat yang mampu menciptakan usaha, membesarkan size ekonomi, secara berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri,” jawab Insinyur Arsitek lulusan ITB Bandung itu.
Kuncinya? “Api kecakapan kewirausahaan atau entrepreneurship yang kreatif dan kepintaran berinovasi harus dinyalakan dari Sabang sampai Merauke. Saya menggunakan istilah entrepreneur untuk menggambarkan sosok pengambil risiko yang berani dan etis. Spirit ini sudah kita miliki sejak nenek moyang dulu, buktinya perahu Pinisi sudah eksis sejak 500 tahun silam, candi Borobudur sudah berdiri sejak 1.000 tahun lalu. Inilah semangat yang harus dibangun menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015!” jelas Ciputra.
BACA JUGA: Perkawinan Art dan Entrepreneur Melahirkan Artpreneur
Nuansa berdikari itu betul-betul mirip dengan suasana setelah pidato Bung Karno 17 Agustus 1965. Kala itu Presiden RI ke-1 itu menyampaikan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso). Yakni mendeskripsikan tiga prinsip: berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiganya tidak bisa dipereteli satu sama lain, menjadi satu kesatuan yang utuh. Tak ada kedaulatan politik dan kepribadian kebudayaan tanpa berdikari ekonomi. Begitu pun sebaliknya.
Ciputra mencontohkan: “Bila setiap tahun kita bisa melatih 10 persen dari usaha mikro Indonesia, atau 565.000 orang dari 56,5 juta usaha mikro yang ada, lalu bertumbuh dan menambah satu karyawan baru, otomatis akan membuka lapangan kerja baru sebesar 565.000 orang per tahun. Itu setara dengan 1,5 persen dari pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 6 persen per tahun. Itu sudah merupakan solusi dan kontribusi besar dalam mengentaskan problem pengangguran yang setiap tahun terus meningkat,” jelas pria yang pernah dinobatkan sebagai Entrepreneur of The Year 2007 versi Ernst & Young itu.
Ketika pengangguran berkurang, tenaga kerja terserap efektif, itu sama dengan negeri ini sanggup mengubah nasibnya sendiri. Mereka bukan sekedar menerima hasil pembangunan, tetapi rakyat menjadi aktor penting dalam pembangunan itu sendiri. “Selama 8 tahun terakhir, kami ikut mempromosikan dan menyebar luaskan semangat dan kecakapan entrepreneurship secara konsisten pada lebih dari 50.000 rakyat dari Sumatera hingga Papua, sampai ke luar negeri. Mulai dosen, guru, sarjana baru lulus, pemenang technopreneurship nasional, mahasiswa, santri, pekerja sosial, siswa sekolah, UMKM, TKI/TKW, bahkan anak-anak jalanan dan mantan pekerja seks. Kami ingin darma baktikan sepenuhnya untuk kepentingan bangsa Indonesia,” tutur Ciputra.
Bagaimana tindak lanjutnya? Ciputra menyebut: “Inilah yang terpenting, implementasi ide-ide dan wacana. Pemerintah harus punya political will, harus punya visi memasalisasi virus entrepreneur. Diawali dari dunia pendidikan. Virus ini hanya bisa ditularkan melalui tiga hal, pertama keluarga, kedua lingkungan, ketiga pendidikan. Berapa banyak anak yang punya orang tua wirausaha sukses? Belum banyak, tidak bisa berharap dari ajaran orang tua pebisnis yang mencetak anaknya menjadi pebisnis handal. Berapa banyak anak yang hidup dalam suasana lingkungan bisnis? Juga tidak banyak, sementara kita membutuhkan suasana bisnis itu untuk mengajarkan anak-anak menjadi pebisnis,” ungkapnya.
Nah, yang bisa dikejar, saat ini adalah melalui dunia pendidikan. Masukkan dalam kurikulum, kalau perlu dibuat fakultas kewirausahaan, atau di-insert-kan dalam mata kuliah di semua faktultas di seluruh universitas. Jika perlu sejak SMA, SMP, SD, sudah diajarkan. Budget, guru, pelatih ToT (training of trainers), di dalam dan luar negeri, harus digalakkan.
“Target kita, populasi entrepreneur kita sampai 2 persen dari 250 juta penduduk Indonesia. Kita menuju 5 juta wirausahawan, dalam 10 tahun ke depan. Artinya, setiap tahun harus mencetak 500 ribu wirausaha? Dibutuhkan berapa banyak guru, berapa dosen, berapa universitas, berapa budget? Itu semua bisa dihitung secara konkret, kalau kita punya niat kuat membangun fundamen ekonomi bangsa. Asal kita tahu, jumlah entrepreneurs kita saat ini tidak lebih dari 1 persen,” jelas Ciputra yang melalui Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC) telah memberikan pelatihan entrepreneurship kepada 1.600 dosen itu.
Dia menyebut GABS, kombinasi antara government, academician, business, dan social entrepreneurs. Harus ada support dan keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk mendorong secara konkret. Harus ada tempat mengasah pengetahunan dan wawasan di dunia pendidikan. Harus ada dukungan dari pelaku bisnis dan orang-orang yang berani berinovasi, berani mengambil risiko yang terukur, dan berani mencoba dengan serius. Inilah yang disebut revitalisasi makna berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, melalui spirit kewirausahaan. (bersambung)
Don Kardono
Pemimpin Redaksi Indopos
BACA ARTIKEL LAINNYA... Reformasi Birokrasi, Taruhannya Nasib Bangsa
Redaktur : Tim Redaksi