Revolusi Mental Cara Terbaik Antisipasi Kelompok Radikal

Rabu, 26 April 2017 – 20:35 WIB
Presiden Jokowi. Foto: Radar Solo/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia baru saja mengalami fase cukup sulit dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkait proses Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017.

Dalam pilkada Jakarta ini, tidak hanya terjadi 'perang' antarpartai politik pengusung pasangan calon (Paslon) tetapi juga intrik dan benturan antarkelompok dan agama.

BACA JUGA: Maju Pilkada, Petahana Diminta Mundur Permanen

Hal itu dipicu pernyataan salah satu calon yang dinilai telah melecehkan ayat suci Alquran.

Kasus di pilkada Jakarta ini tidak hanya membuat ibu kota bergejolak, tetapi juga menjadikan Indonesia 'panas'.

BACA JUGA: Kalahkan Surabaya, Makassar Kota Berkinerja Terbaik Nasional

Kini, pilkada Jakarta telah usai. Kondisi di ibu kota dan Indonesia pun bergerak ke arah kondusif.

Namun, pemerintah dan semua pihak tetap harus waspada dengan adanya upaya-upaya yang ingin memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satunya adalan ancaman radikalisme dan terorisme.

BACA JUGA: Dulu Coblos Jokowi, Sekarang Minta Perhatian

"Apa yang terjadi pada pilkada Jakarta kemarin, menurut saya bisa dijadikan indikator paling mudah apakah revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo berjalan atau tidak. Memang ada kelompok radikal yang terindikasi menunggangi pilkada kemarin meski sulit diukur seberapa besar pengaruh kelompok radikal tersebut. Pastinya, kekuatan masyarakat yang akhirnya terbawa dan menentukan proses pilkada itu," papar pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio di Jakarta, Rabu (26/4).

Dia mengungkapkan, kondisi masyarakat ibu kota terkotak-kotak parah selama proses pilkada tersebut, terutama setelah munculnya kasus penistaan agama.

Dalam teori politik di buku yang ditulis Samuel P. Huntington berjudul The Clash of Civilitation, sambung Satrio, disebutkan pertumbukan antara budaya dan agama itu akan sangat berbahaya bagi suatu negara.

"Apa yang terjadi kemarin itu sudah sangat berbahaya. Masyarakat terpecah dan terkotak-kotak yang bisa menimbulkan ekses yang sangat besar yaitu terancamnya NKRI. Kita bersyukur hal-hal negatif itu tidak sampai terjadi. Ini pelajaran bagi kita, bangsa Indonesia, dalam bernegara dan berpolitik," terang Hendri.

Dengan telah berakhirnya pilkada Jakarta, Hendri mengajak seluruh pihak untuk bisa kembali bersatu lagi dan tidak terkotak-kotak lagi.

Itu menjadi cara terbaik untuk menjaga Indonesia sebagai negara yang demokratis, damai, dan adil.

Apalagi, faktanya masih banyak kelompok radikal yang terus berupaya melakukan propaganda dengan tujuan meruntuhkan NKRI.

Hendri mengungkapkan, salah satu hal yang menyebabkan pilkada Jakarta menjadi besar karena ada beberapa kelompok masyarakat yang merasa ada ketidakadilan di Jakarta karena kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok.

"Menurut saya ini tidak hanya faktor agama, tetapi ada faktor ketidakadilan di situ yang belum terselesaikan," tukas Hendri.

Hendri menilai, peristiwa selama proses Pilkada Jakarta itu tidak akan terjadi bila program Revolusi Mental berjalan dengan baik.

Karena itu, dia mengajak semua pihak agar hal-hal yang terjadi selama proses pilkada Jakarta tidak terjadi lagi.

Salah satu caranya adalah memberikan kepercayaan penuh pada program Revolusi Mental Presiden Jokowi dan memperingatkan kementerian yang bertanggung jawab untuk bekerja lebih keras lagi.

"Tujuannya agar masyarakat Indonesia tidak berdiri di atas kebinnekaannya, tapi berdiri di atas tunggal ika-nya," tegas Hendri. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua MPR: Pilkada Hadirkan Persoalan yang Sensitif


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler