RI Bayar Lebih Murah

Rabu, 04 Desember 2013 – 09:23 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Setelah melalui negosiasi yang cukup alot, Indonesia berhasil mengambil alih saham milik Nippon Asahan Aluminium di PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dengan harga lebih murah. Deputi Perekonomian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Ardan Adiperdana mengatakan, harga kesepakatan pembelian saham Inalum yang sebesar USD 556,7 juta lebih rendah daripada perhitungan BPKP.

"Perhitungan kami, nilai berdasar kinerja 31 Oktober 2013 adalah USD 578-580 juta. Jadi, harga hasil negosiasi lebih murah," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI (keuangan) DPR kemarin. Dengan begitu, Indonesia berhasil membeli saham Inalum dengan harga lebih murah USD 21-23 juta atau sekitar Rp 253 miliar.

BACA JUGA: Rupiah Melemah, KEN Sodorkan Cara Tekan Impor

Sebagaimana diketahui, kepemilikan Inalum saat ini terbagi antara pemerintah Indonesia (41,12 persen) dan konsorsium swasta-pemerintah Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Aluminium (58,88 persen). Berdasar kontrak yang ditandatangani pada 7 Juli 1975 di Tokyo, pengaturan kerja sama tersebut berakhir pada 31 Oktober 2013. Namun, karena proses negosiasi masih berjalan, pengakhiran hubungan kerja sama atau terminasi pun diundur.

Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, penandatanganan terminasi rencananya dilakukan pada 9 atau 10 Desember pekan depan. Begitu kesepakatan terminasi ditandatangani, Indonesia akan menguasai 100 persen saham Inalum. "Untuk proses pembayaran, tinggal menunggu persetujuan Komisi XI DPR," katanya.

BACA JUGA: Investor Menahan Diri, Pasar Properti 2014 Terkoreksi

Sebenarnya, DPR sudah menyetujui anggaran pembelian Inalum total Rp 7 triliun, yakni Rp 2 triliun pada 2012 dan Rp 5 triliun pada 2013. Dalam kesepakatan dengan pemerintah itu, DPR menyetujui penggunaan anggaran untuk pembelian Inalum sesuai harga hasil audit. Namun, proses audit batal dilakukan karena pihak Jepang sudah mencapai kesepakatan dengan Indonesia.

Ketua Komisi XI DPR Olly Dondokambey mengatakan, DPR bisa memberikan persetujuan karena harga yang sudah disepakati Indonesia dan Jepang lebih murah daripada harga hasil perhitungan final BPKP. "Jadinya, kita malah untung. Karena itu, cepat saja diselesaikan supaya anggaran Rp 7 triliun itu cukup," ucapnya.

BACA JUGA: Berharap Tuah Dewa-Dewa di Pulau Dewata

DPR dan pemerintah memang harus bergerak cepat karena berkejaran dengan depresiasi rupiah. Dengan nilai tukar saat ini yang ada di kisaran Rp 11.800 per USD, harga USD 556,7 juta itu setara dengan Rp 6,56 triliun atau masih di bawah pagu anggaran Rp 7 triliun. Namun, jika rupiah terus melemah, nilai yang harus dibayar Indonesia dalam mata uang rupiah juga ikut bertambah.

Chatib menambahkan, Kementerian Keuangan akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), karena Inalum akan menjadi BUMN. "Kita ingin pengambilalihan Inalum ini bisa memberi manfaat ekonomi yang besar bagi Indonesia," ujarnya.

Secara ekonomi, Inalum memang sangat strategis. Selama ini, dari total produksi 250.000 ton aluminium per tahun, 150.000 ton diekspor ke Jepang untuk memenuhi kebutuhan industri elektronik dan otomotif di Negeri Matahari Terbit tersebut.

Sementara itu, 100.000 ton lainnya dialokasikan untuk kebutuhan industri Indonesia. Padahal, saat ini kebutuhan aluminium untuk industri di Indonesia mencapai 300.000 ton dan terus naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, setiap tahun Indonesia harus mengimpor 200.000 ton aluminium.

Pembeli produk Inalum dalam negeri sebanyak 60-100 perusahaan yang bergerak dalam produksi aluminium alloy, ekstrusi, sheet, foil, kawat listrik, dan alat-alat rumah tangga. Mereka tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. (owi/c2/sof)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengalihan Rute ke Halim tak Selesaikan Masalah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler