RI 'Tuan Rumah' Pembuangan Limbah

Kamis, 25 Februari 2010 – 17:40 WIB
Foto : E-wasteguide.Info

JAKARTA—Data aliasi pemerhati sosial masalah lingkungan hidup menyebutkan, Indonesia hanya mampu mengolah sebesar 20 persen limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)-nya per tahunTapi, ironisnya penguasa seolah-olah justru 'merestui' negaranya menjadi tuan rumah bagi kegiatan pembuangan limbah B3.

Aliansi ini menyebutkan, laut Indonesia menjadi tempat buangan tetap limbah tailing tambang perusahaan Amerika Serikat sejak tahun 1990-an

BACA JUGA: Proyek di Kementerian PU Dilaporkan ke KPK

Kini, tiap harinya sekitar 320 ribu ton tailing PT Freeport dan Newmont dibuang ke laut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, seperti Kepulauan Riau sejak lama menjadi tempat pembuangan limbah B3

BACA JUGA: Stok Benih Nasional Aman

Pada 2004, Pulau Galang Baru menjadi lokasi buangan 1.762 kantong berisi limbah B3 seberat 1.149 ton.

Januari 2010 lalu, sekitar 2000 karung sludge oil hasil pembuangan kapal-kapal tangker di sekitar Pulau Batam mencemari puluhan hektare Pantai Nongsa
“Akibat pencemaran limbah tersebut hampir seluruh warga di kawasan itu terkena limbah dan terkena penyakit gatal-gatal akut,” beber Riza Damanik dari KIARA, Kamis (25/2) di markas WALHI, kawasan mampang, Jakarta.

Mereka berharap, dalam Special Session of The UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC-UNEP) ke 11 ini, tujuh milyar penduduk bumi menanti langkah nyata dan operasional para menteri lingkungan hidup untuk membalikkan krisis sosio-ekologis termasuk krisis kekacauan iklim, setelah COP 15 dinilai gagal

BACA JUGA: Tunggak Pajak, Operasi Perusahaan Dihentikan

“Peserta Pertemuan harusnya belajar dari kegagalan itu, sebab kesalahan ini berpangkal pada tidak dibahasnya persoalan utama krisis warga, termasuk kelautan perikanan dan pesisir nasional dan lingkungan hidup yang kian akut,” papar mereka.

Oleh karena itu, organisasi gerakan lingkungan hidup yang terdiri dari WALHI, KIARA, JATAM, SDE dan Institut  Hijau Indonesia ini mendesak kepada para menteri lingkungan hidup sedunia untuk  bisa merumuskan syarat-syarat sosial dan ekologis yang ketat, sehingga jargon "ekonomi hijau" tidak diletakkan pada kerangka ekonomi neoliberal, yang terbukti gagal menjamin keselamatan hidup kolektif penduduk dunia, dan justru menjadi pemicu krisis sosio-ekologis yang semakin kritis.

Selanjutnya, mereka bisa menghentikan upaya legalisasi penghancuran keaneka ragaman hayati dengan skema dan pertimbangan apapun termasuk tukar guling kawasan yang atau biodiversity offset (kompensasi atas hilangnya keanekaragaman hayati akibat investasi)Upaya yang didorong LSM internasional bersama para pebisnis ini mengemuka dan akan menjadi salah satu agenda dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati di Nagoya tahun ini.

Aliasi juga mendesak pemerintah Indonesia menghentikan adanya praktek peracunan warga, ekosistem maupun larangan impor limbah yang berbahaya“Hentikan praktik peracunan warga negara dan ekosistem Indonesia dengan melarang tegas penggunaan Merkuri, Sianida dan pembuangan tailing ke sungai dan laut,” tegas Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), M Teguh Surya.

Pemerintah juga didesak untuk memetakan dan membatalkan butir-butir kesepakatan dalam berbagai perjanjian multi-lateral dan bilateral yang dapat menjadi peluang pembesaran aliran limbah berbahaya dan investasi industri kotor di wilayah Indonesia, termasuk IJEPA, ACFTA, dan perjanjian serta rancangan perjanjian kesepakatan dagang lainnyaPemerintah juga harus melarang masuknya barang-barang yang menggunakan limbah berbahaya beracun termasuk barang-barang dari Jepang dan China yang saat ini telah terikat perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia(fm/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gerindra Dituding Terlibat Dagang Sapi


Redaktur : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler