Rita, Perawat yang Diapresiasi Pemerintah Jepang karena Tangani Korban Gempa-Tsunami

Memilih Terisolasi di RS, Hanya Makan Nasi dan Kecap Asin

Sabtu, 26 Maret 2011 – 08:08 WIB
PANUTAN: Rita Retnaningtyas saat menerima penghargaan dari Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jawa Tengah Edy Nuryanto, Jumat (25/3). Foto : Radar Semarang/JPNN

Ketika gempa dan tsunami terjadi di Miyagi, Jepang, 11 Maret lalu, banyak WNI di sana yang berbondong-bondong pulang ke tanah airTapi, hal itu tak dilakukan Rita Retnaningtyas

BACA JUGA: Komunitas Tari Hula yang Anggotanya Para Perempuan Ekspatriat Jepang

Perawat asal Semarang tersebut lebih memilih merawat pasien yang menjadi tanggung jawabnya meski Miyagi porak-poranda
Pemerintah Jepang pun memuji dia

BACA JUGA: Kadek Jango Pramartha, 10 Tahun Mempromosikan Budaya Bali lewat Majalah Kartun



=====================
   PRATONO, Semarang
=====================
 
PETANG itu, Jumat (11/3) sekitar pukul 14.46 waktu Miyagi, Jepang, Rita sedang bersantai di apartemennya
Sudah sejak 13 November 2009 perempuan 35 tahun tersebut berada di Miyagi untuk menjadi perawat di Miyagi National Hospital

BACA JUGA: Rahmat Shah, Dengan Kocek Sendiri Bikin Museum Satwa Liar Terbesar di Asia


 
Rita merupakan salah seorang perawat dari Indonesia yang dikirim Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melalui program kerja sama antar pemerintah RI dan Jepang.

Peristiwa yang terjadi saat itu pasti tidak akan hilang dalam ingatan perempuan kelahiran Semarang, 15 September 1975, tersebutKetika sedang bersantai itu, tiba-tiba dia merasakan guncangan yang hebatTernyata, gempa melanda wilayah Miyagi.

Pemerintah Jepang mencatat, gempa tersebut berkekuatan 8,9 skala Richter, hampir sama dengan kekuatan gempa yang meluluhlantakkan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember 2004Apalagi gempa di Prefektur Miyagi tersebut disusul tsunami yang langsung menggenangi daerah itu

Apartemen yang ditinggali Rita selamat dari kerusakan karena gempa maupun terjangan air bah tsunamiSaat tsunami menerjang, dari apartemennya, Rita bisa menyaksikan air bah menghantam dan menyeret berbagai benda maupun manusia

Seketika Rita dan temannya yang bernama Yantri, asal Cirebon, Jawa Barat, teringat kepada para pasien yang menjadi tanggung jawabanya di rumah sakit"Saya langsung teringat bahwa saya punya pasien yang dirawat di lantai tigaKarena itu, saya putuskan untuk segera ke rumah sakit," ungkap Rita menceritakan kembali pengalamannya seusai mendapat penghargaan dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jawa Tengah dan dari direktur utama Rumah Sakit Telogorejo Semarang, tempat dirinya bekerja, kemarin (25/3).

Rita dan Yantri langsung bergegas ke rumah sakit tempat mereka bertugasUntuk menuju rumah sakit, mereka berjalan kaki sekitar 5 menitSempat ada perasaan takut setelah melihat kerusakan karena tsunami ituNamun, tanggung jawab terhadap profesi membuat mereka mengabaikan ketakutan tersebutRita teringat kepada pasien-pasiennya yang rata-rata berpenyakit parah seperti kanker dan parkinson.

Setiba di rumah sakit tempatnya bertugas, Rita masih merasakan gempa susulan dengan kekuatan 5?6 skala RichterMeski demikian, Rita dan perawat-perawat lain tetap bersemangat bertugas"Saya salut kepada perawat-perawat di JepangMereka sangat bertanggung jawab pada profesinyaMeski banyak keluarganya yang ikut kena musibah, mereka tetap menjalankan profesi sebagai tenaga kesehatan," ujar istri Bambang Wagiman tersebut.

Hal itulah yang memantapkan hati Rita untuk tidak tergoda pulang ke tanah air, melainkan ikut bertahan di Miyagi merawat para korban bencanaApalagi keluarganya yang tinggal di Jalan Potrosari Nomor 10, RT 05, RW 02, Kelurahan Srondol Kulon, Kecamatan Banyumanik, juga membesarkan hatinya untuk bertahan di MiyagiBeberapa jam setelah tsunami, dia masih bisa menghubungi keluarganya.

"Suami juga mendukung secara moral, sehingga saya mampu bertahanDia meminta agar saya selalu berdoaCoba kalau suami saya waktu itu menyuruh saya segera pulang, tentu saya ingin pulang saja," ungkap RitaMalamnya, komunikasi terputus totalDia baru berhasil menghubungi kembali keluarganya seminggu kemudian.

Selain tanggung jawab profesi, kondisi di Miyagi memang tidak memungkinkan untuk evakuasiAkses menuju prefektur itu benar-benar terputusDalam kondisi normal, akses transportasi darat yang tersedia adalah keretaTapi, pascatsunami, jalur kereta telah terendam airSatu-satunya jalan yang bisa ditembus hanya melalui udara dengan helikopter

Karena masih dalam kondisi tanggap darurat, Rita dan perawat-perawat lainnya tidak pulang ke rumah, melainkan memilih menginap di rumah sakitMeski juga menjadi korban gempa dan tsunami, dirinya tetap bersemangat merawat para korban yang rata-rata menderita luka patah tulang dan dehidrasi.

"Agar mudah menjaga pasien, kami tetap menginap di rumah sakitSebab, masih sering ada gempa susulan yang cukup besar sehingga pasien perlu ditenangkan," tuturnya.

Selain harus merawat para korban, masalah yang juga dihadapi adalah menipisnya bahan makanan karena Miyagi telah terisolasiYang bisa dinikmati hanyalah onigiri atau nasi yang dipadatkan dan dilumuri kecap asinItu pun tidak bisa dinikmati tiga kali sehari"Kadang kalau siang makan, malamnya tidak makanJadi, kadang kelaparan karena stok makanan memang habis," jelas ibu Septiawan Putra Kesuma Aji, 12, dan Abian Haikal Caesario, 7, tersebut.

Bahan makanan di toko-toko Miyagi benar-benar habis diborong pendudukYang patut dikagumi pada penduduk Jepang, kata Rita, meski mereka menjadi korban bencana, tak ada penjarahanSemua warga yang ingin membeli kebutuhan tetap membayar di toko-toko yang masih bukaSelain itu, mereka tetap antre secara rapi

Setelah tsunami berlalu, bahaya lain yang mengancam adalah radiasi nuklir karena bocornya pembangkit tenaga nuklir di wilayah tersebutBeruntung, lokasi rumah sakit tempat Rita bertugas berjarak sekitar 60 kilometer dari reaktorPemerintah Jepang mengumumkan, radius 30 kilometer dari reaktor yang bocor harus dikosongkan dan penduduk di radius 50 kilometer diimbau untuk membatasi keluar rumah

Selasa, 22 Maret 2011, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri secara terbuka memberikan apresiasi atas kerja keras Rita selama bencanaMenurut dia, Rita memilih bertahan di lokasi bencana untuk merawat para korbanHal itu diucapkan Kojiro dalam sebuah acara di Jakarta.

Meski demikian, Rita meminta hal tersebut tidak dibesar-besarkanDia menilai, itu merupakan hal yang biasa dilakukan masyarakat Jepang ketika mendapat bantuan, meski sekecil apa pun"Kebaikan sekecil apa pun, pasti masyarakat Jepang akan mengucapkan arigatoJadi, hal tersebut tidak perlu dibesar-besarkanApalagi saya di sana juga bersama perawat-perawat lainMereka juga berjasa," tuturnya merendah

Dia menyatakan bingung ketika diberi tahu bahwa pemerintah Jepang memberikan penghargaan untuk dirinyaSebab, memang tak ada penghargaan khusus yang diserahkan kepada dirinyaKarena itulah, dia menilai, apresiasi yang diucapkan Kojiro merupakan tradisi masyarakat Jepang yang ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang pernah menolong.

Kemarin pagi (25/3) Rita kembali ke SemarangMiyagi National Hospital memberikan waktu libur selama sebulan kepada Rita agar bisa menenangkan diriAcara yang pertama dia hadiri begitu sampai di Semarang adalah mengikuti seminar keperawatan yang diadakan RS Telogorejo
 
Dalam acara tersebut, Rita mendapat penghargaan dari Ketua PPNI Jateng Edy Nuryanto dan Direktur Utama RS Telogorejo Imelda TandiyoSuasana haru terlihat ketika rekan-rekannya di RS Telogorejo memeluk dan memberikan ucapan selamat.

Rencananya, Rita kembali ke Jepang pada April mendatangNamun, tanggalnya belum dipastikan"Saat ini saya hendak memenangkan diri dulu dari traumaWaktu sebulan, tampaknya, masih kurang untuk bersama keluargaTapi, saya nanti harus kembali untuk menyelesaikan kontrak di Jepang," ujarnya(jpnn/c5/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Angelique Marcia, Ibu Tiga Anak yang Rela jadi Juru Kunci Terumbu Karang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler