PERTEMUAN saya terakhir dengan tokoh wartawan H Rosihan Anwar yang meninggal dunia kemarin pagi itu terjadi enam bulan laluYakni, ketika saya datang ke rumahnya di Jalan Surabaya, di kawasan Menteng, Jakarta, untuk melayat kematian istrinya
BACA JUGA: Geotermal; Gara-gara Nila Setitik Jangan Rusak Susu Se-Malinda
Itulah untuk kali pertama saya ke rumah almarhumSelama ini saya hanya tahu bahwa Pak Rosihan, begitu biasa kami memanggil beliau, rumahnya di Menteng
BACA JUGA: Balas Dendam untuk Kalselteng
Menteng adalah lambang kementerengan dan simbol elitisme kawasan di JakartaBACA JUGA: Tekan Pencurian Listrik dengan Sistem Tender
Tapi, meski di kawasan Menteng, kawasan rumah Pak Rosihan tidak termasuk yang tergambar ituKawasan rumah ini terpinggirkan oleh keadaanDi pinggir jalan rumah itu berderet bangunan setengah permanen untuk pedagang kecilDi belakang deretan bangunan yang bergandeng-gandeng itu terdapat sebuah sungai yang kotor dan berbauRumah beliau ada di sebelah sungai ituDengan demikian, kalau dilihat dari "Menteng", seperti tersembunyi di baliknya
Bangunan rumahnya sendiri menguatkan kesan terpinggirkan ituRumah tua yang kurang lebih hanya tipe 200 m2 yang terlihat tidak pernah disentuh oleh renovasiKawasan itu, dan bangunan rumah itu, seperti mencerminkan sikap dan penampilan Pak Rosihan sehari-hari yang tua dan sederhana.
Kalau saja Pak Rosihan memiliki kekuasaan, mungkin saja bangunan-bangunan kaki lima yang berderet di depan rumahnya itu akan digusur habisJalan pun menjadi lapangBahkan, di pinggir jalan itu, di lokasi pedagang kaki lima, bisa mendapat dari anggaran pemerintah untuk ditanami pepohonan yang rindang nan indah
Lalu sungai itu sendiri akan selalu dibersihkan, dibuatkan plengsengan dan dirawat menjadi sungai yang indahTidak mustahil, kalau dipercantik justru sungai itu menambah kesan elitenya kawasan rumah Pak Rosihan.
Tapi, beliau tidak punya kekuasaan untuk ituJadilah kawasan rumahnya menjadi kawasan yang "kalah" dengan kawasan Menteng selebihnyaJadilah, Mentengnya Pak Rosihan ini menjadi Menteng yang di pinggiranTapi, Pak Rosihan teguh untuk tetap tinggal di situSampai akhir hayatnyaSebuah keteguhan untuk berada di pinggir, sebagaimana sikap hidupnya sendiri.
Memang, "pinggirnya" kawasan rumah Pak Rosihan dan pinggirnya sikap hidup Pak Rosihan masih dalam kategori "pinggir yang dekat ke tengah"Tepatnya, rumah Pak Rosihan masih sangat dekat dengan pusat kemewahanDemikian juga posisi dirinya, bukan diri yang sepenuhnya berada di seberang elitisme politik di negeri ini.
Pak Rosihan memang sangat kritis kepada penguasa di sepanjang hidupnya, tapi tidak sampai menjadi pemberontakDia mengkritik keras pemerintah, tapi masih mau datang kalau diundang ke istanaKedatangannya ke istana itu pun tidak untuk mengambil hati penguasa, tapi untuk menjalankan profesionalisme tugas jurnalistiknya
Karena itu, belum pernah saya melihat Pak Rosihan berubah sikapDia memang mau datang ke istana (zaman presiden siapa pun), tapi tidak ada nada berusaha menarik simpati pihak istanaSetiap mendapat kesempatan berbicara, selalu dia lebih dulu memuji sang presidenSetelah itu dia mengkritiknya dengan keras melalui bahasa yang penuh dengan sinisme, tapi tidak kasar.
Praktis, saya melihat Pak Rosihan merupakan pribadi gabungan antara wartawan, diplomat, dan politikusSebagai wartawan beliau telah menjadi tokoh utama, tapi gagal menjadi pemilik media terkemuka di sepanjang zamanBeliau sempat memiliki harian yang sangat bergensi pada zaman itu, Harian PedomanTapi, koran ini tidak berumur panjang karena diberangus penguasa
Sebagai diplomat beliau tidak sempat mendapat kepercayaan menjadi duta besar sebagaimana wartawan senior Saban Siagian atau Djoko SusiloAtau beliau mungkin tidak mau "didutabesarkan"Sebagai politikus beliau tidak sampai punya panggung di pemerintahan seperti Harmoko, karena beliau memosisikan diri tidak mau seperti itu.
Beliau orang yang tidak acuh terhadap gemerlap dunia seperti ituSinis, tak acuh, dan lugas memang melekat sebagai ciri khas beliauTermasuk kalau sedang mengajar wartawan muda"Membaca tulisanmu ini," katanya pada suatu forum pendidikan wartawan, "mata saya sampai berbulu"Ini untuk menunjukkan betapa ruwetnya tulisan wartawan yang sedang dibaca itu
Pak Rosihan memang mempunyai kemampuan menulis yang sederhana, lancar, dan warna-warniDia sangat benci dengan tulisan wartawan yang muter-muter, berat, seret, dan semrawut"Tulisan kok seperti ketiak ular begini," katanya.
Saya sendiri tidak termasuk murid beliauSaya lebih tepat sebagai muridnya orang seperti Gunawan MohamadNamun, saya tahu bahwa Pak Rosihan sangat aktif mendidik wartawan mudaItu dia contohkan dengan dirinya sendiri yang masih terus aktif menulis sampai usianya yang 89 tahun
Apa saja beliau tulis: pengalaman perjalanan, pengalaman meliput peristiwa besar di masa mudanya, soal makanan, pariwisata, politik, dan sebagainyaIni karena beliau memang sudah menjadi wartawan sejak sangat beliaBeliau juga mengalami banyak peristiwa sejarah sejak sebelum kemerdekaan, zaman perjuangan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi ini
Beliau adalah pencatat sejarah yang penting dan cermatBeliau tidak melupakan detail-detail sebuah peristiwaDengan begitu, beliau juga banyak kenal dengan tokoh-tokoh politik besar di negeri ini.
Karena itu, di hari tua beliau, di saat tokoh-tokoh tersebut satu per satu meninggal dunia, beliau bisa banyak berceritaTidak ayal bila ada tokoh meninggal dunia, beliau selalu membuat tulisan obituari mengenai tokoh itu
Begitu seringnya beliau menulis obituari, sampai-sampai ada yang nyeletuk: kalau Pak Rosihan sendiri yang meninggal, siapa ya yang akan menuliskan obituari beliau? Karena itu, tidak aneh bila ada yang mengusulkan agar Pak Rosihan menulis obituari untuk dirinya sebelum meninggal dan langsung bisa dipublikasikan begitu beliau meninggal.
Saya tidak tahu apakah beliau mendengarkan saran yang bernada gurau dan pujian ituKalaupun tidak, saya mencoba menulis obituari ini untuk beliauSelamat jalan guru wartawan! (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dengan BBM, Bangun Jalan Tol
Redaktur : Tim Redaksi