RSBI Butuh Peraturan Mendiknas

Kamis, 03 Juni 2010 – 20:10 WIB
JAKARTA - Makin mahalnya biaya pendidikan pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), menurut Direktur Kelembagaan TK dan SD Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Mudjito, dikarenakan oleh tidak adanya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) yang mengikat pemerintah pusat dan daerahDengan kata lain menurutnya, pada tataran kebijakan masalahnya terdapat sejumlah aturan yang tidak konsisten dalam mengatur penyelenggaraan RSBI.

"Tidak konsisten, dalam arti kebijakan tertinggi sudah dirumuskan, namun belum ada juga Permendiknas yang secara khusus mengatur SBI

BACA JUGA: Jumlah Siswa SD Penerima Beasiswa Ditambah

Sehingga banyak hal yang muncul, seperti kendala pemaknaan isi UU Pendidikan, termasuk pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau kabupaten/kota, serta (masalah) pendanaan," ungkapnya di Jakarta, Kamis (3/6).

"Sebetulnya, jika ini terintegrasi, akan berdampak pada terbentuknya peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan pada masing-masing kabupaten/kota," jelas Mudjito lagi.

Seperti dipaparkan sebelumnya, Mudjito sendiri di dalam kesimpulan yang dibuatnya lewat disertasi "Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional untuk Pendidikan Dasar dan Menengah", menulis bahwa pengertian SBI dalam PP 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) sendiri masih bias
Sementara tambahnya lagi, ketiadaan PP Sekolah Berstandar Internasional pun menyebabkan tidak adaanya koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah daerah dan pusat, sekaligus ketiadaan kebijakan publik tentang penyelenggaraan RSBI.

Lebih jauh, Mudjito menambahkan bahwa kondisi rendahnya konsolidasi antara pusat dan daerah, juga ditandai dengan dinas pendidikan atau anggota DPRD setempat yang tak pernah hadir pada saat sosialiasi program RSBI

BACA JUGA: Masalah RSBI, DPR Panggil Mendiknas

Sementara, alokasi anggaran pemerintah daerah kepada manajemen (sekolah) RSBI, juga masih bersifat sumbangan yang tidak mengikat, sebagai satu kesatuan tanggung jawab birokrasi untuk penyelenggaraan RSBI
"Di sini tampak bahwa tiap-tiap tataran birokrasi memandang permasalahan dari stand point masing-masing," tegasnya.

Disebutkan Mudjito, peruntukkan anggaran pendidikan daerah sendiri memang belum secara khusus mengisyaratkan dukungan pada RSBI di daerahnya, karena dipandang sebagai program pemerintah pusat

BACA JUGA: Lima Tahun, RSBI Belum Berikan Pengaruh

Di lain pihak, pemerintah pusat justru menuntut amanat UU kepada pemda, untuk mengalokasikan APBD pada kegiatan RSBI di daerahnya.

Persoalan lain adalah, tidak sepenuhnya tugas dan fungsi pada dinas pendidikan dapat terpenuhiMisalnya pada fungsi sebagai pembina dalam proses pembelajaranHal ini menurut Mudjito lagi, terjadi karena pejabat birokrasi di dinas pendidikan bukan sepenuhnya personal yang selama ini bergelut di bidang pendidikan secara utuhIni pun kemudian berdampak pada ketidakpercayaan manajemen sekolah terhadap fungsi pembinaan proses pembelajaran tersebut.

"Dari hasil wawancara dengan Ketua Program SBI di tingkat SD, SMP dan SMA di DKI Jakarta dan Jogjakarta, terindikasi bahwa mereka mengalami kesulitan dalam koordinasi dan konsolidasi penyelenggaraan RSBI, pada masing-masing dinas pendidikan di daerahnya," urainya.

Ketiadaan peraturan yang kuat dari pemerintah ini, kata Mudjito pula, akhirnya menyebabkan penyelenggaraan manajerial SBI lebih ditekankan pada pembinaan kultur internasional dalam pembelajaran, manajemen, sistem informasi, hingga penjaminan mutunya yang masih menemui berbagai kendala"Namun begitu, arahnya (sesungguhnya) sudah benarWalaupun masalah masih banyak ditemui," pungkasnya(cha/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... PSB Dikomersialisasi, Pemerintah Tutup Mata


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler