jpnn.com - Parade Kebangsaaan beriringan menuju Rumah Pengasingan Bung Karno, sebagai tahanan politik selama 4 tahun di Ende. Sebelum dia diasingkan lagi dari komunitas pergerakan nasional ke Bengkulu.
Di rumah sederhana tak bernomor itulah, ikatan batin warga Ende dengan Bung Karno kian abadi.
Jangan membayangkan rumah bercat putih dengan pintu warna hijau tua di Ende semegah Istana Bogor, Istana Cipanas, apalagi Istana Merdeka. Situs yang kelihatan sekarang pun, sebenarnya sudah tergolong oke, karena sudah pernah dipugar, direstorasi dan diresmikan Wakil Presiden Boediono, dua tahun lalu, persis di tanggal 1 Juni 2013. Rumah itu sebenarnya milik Abdullah Ambuwaru, penduduk biasa yang dulunya beratap ilalang.
Enam tahun setelah Kemerdekaan RI, tahun 1951, Bung Karno kali pertama mengunjungi Ende, dan meminta Abdullah Ambuwaru agar rumah itu dijadikan museum.
BACA JUGA: Waduh.. KKP Disemprot Pemerintah Rusia
Tahun 1954, Bung Karno meresmikan heritage tersebut sebagai Situs Bung Karno. Renovasi total dilakukan, dari dinding, lantai sampai atap, tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya. Cukup lama Menpar Arief Yahya bersama rombongan parade kebangsaan mampir di rumah pengasingan yang ada beberapa peninggalan asli itu.
“Kalau objek peninggalan bersejarah ini kemas dalam promosi yang bagus, dikombinasi dengan branding yang tepat, dijaga atmosfernya, didukung oleh masyarakat yang kental dengan sejarah kebangsaan dan Bung Karno, saya yakin ini sudah menemukan penggerak pariwisata Ende. Kalau dulu Bung Karno banyak terinspirasi oleh kehidupan masyarakat di Ende, kini Ende yang terinspirasi oleh kehidupan Bung Karno,” kata Arief Yahya.
BACA JUGA: Bawaslu Akui Masalah Internal Pemicu Anggaran Pengawas Pilkada Ngadat
Jika dikumpulkan lagi, pasti masih ada banyak peninggalan-peninggalan lain, baik benda maupun non benda yang bisa menjadi magnet. Salah satunya kesenian drama, yang sempat dipentaskan oleh anak-anak Ende di salah satu Parade Budaya itu. Bung Karno sudah menyutradarai 13 pementasan seni drama, bersama grup keseniannya yang dia namakan Tonil.
Bukti transkrip yang dikarang dan ditulis dengan mesin ketik manual oleh tangan Bung Karno masih terlihat utuh dan terbaca jelas di museum rumah pengasingan itu.
BACA JUGA: Abraham Samad Sebut SBY yang Minta Kasus Novel Dihentikan
Tongkat Bung Karno dua model pun, masih bagus tersimpan rapi di kotak plastik di salah satu sudut rumah itu. Ketika dipakai ke dalam kota, Bung Karno memakai tongkat yang tipis dengan pegangan berukir monyet. Konon, karena di kota dia diawasi ketat dan sering bertemu dengan tentara Kolonial Belanda, monyet itu semacam bentuk perlawanan simboliknya. Sambil menunjuk dengan tongkat, melempar “message” yang menyamakan penjajah itu seperti monyet.
Satu lagi tongkat yang dipakai ke luar kota, menggunakan tongkat yang lebih besar.
Ada pula lukisan “Pura Bali” karya asli Bung Karno yang juga “berbicara” non verbal. Pura itu tinggi, disusun dengan batu hitam berukir yang kuat, atap alang-alang berbentuk limas dengan satu sudut di puncaknya.
Di sudut paling atas atapnya ada topi baja yang dilukis miring ke kanan. Maknanya: topi itu cepat atau lambat akan jatuh terguling! Topi itu menggambarkan penguasa, kolonialis Belanda yang berdiri megah di atas penderitaan rakyat Indonesia. Empat orang membelakangi muka, tampak punggung bersila di bawahnya, sedang memanjatkan doa.
Rumah Pengasingan di Jalan Veteran, Ende itu juga ada pernak-pernik perlengkapan Bung Karno. Seperti biola tua yang acap dipakai Bung Karno mengasah kemampuan bermusik dan berkesenian, bekas setrika besi hitam, yang dulu harus menggunakan arang sebagai pemanasnya. Ada potongan kaki meja berukir dari mebel yang pernah dipakai Bung Karno di rumah itu.
Ada contoh konkret objek wisata heritage yang sumbu lokomotif penariknya adalah rumah dengan segala pernak-pernik yang pernah dipakai sang idola. Yakni, rumah “Mozarts Geburtshaus” tempat lahir dan masa kecilnya Wolfgang Amadeus Mozart di Salzburg, yang hidup di era 1756-1791, dalam usia 35 tahun.
Mozart adalah salah satu komponis paling ngetop dengan 700 koleksi lagu-lagu klasik dengan ritme berkarakter cepat dan bersemangat.
Kota kecil Salzburg di Austria sana, sekitar 2 jam dari Muenchen, Jerman, bisa hidup dan menjadi tambang pariwisata karena Mozart. Sang Komponis yang kaya dengan segala pernak-perniknya itu dikunjungi jutaan wisman, di sekelilingnya hidup dengan café-café, resto, dan pusat perbelanjaan yang hidup. Gedung bercat krem dengan empat lantai itu ibarat sumber inspirasi bagi pianis dan pemain violin dari seluruh penjuru dunia.
Apa isinya? Piano kuno yang pernah dipakai berlatih Mozart, tempat tidur kayu, lemari kayu, tempat duduk, termasuk piano yang ditampilkan dengan apik. Di buat berdiri dengan senar-senar tipis yang tak terlihat di jarak 2 meter. Lighting yang indah. Foto-foto, partiture, dan aneka koleksi kesenangan komponis musik klasik Eropa yang terpenting dan paling terkenal dalam sejarah itu.
Jangan kaget kalau masuknya harus membayar lebih dari Rp 500 ribu, harus antre panjang, di dalam tidak boleh mengambil foto, tidak boleh berisik, tidak boleh lari-lari atau main-main, banyak aturan yang membuat gedung itu sakral.
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende itu juga ada banyak kisah sakralnya. Seperti ada ruang semedi, ruang meditasi, ruang shalat Sang Presiden. Ruangan itu jarang dibuka, kalau tidak ada tamu penting.
Konon, masih ada bekas telapak tangan dan tempat sujud Bung Karno. Ada juga sumur di belakang, yang dalamnya sekitar 10 meter, yang airnya masih bisa ditimba dengan tangan. Orang yang berkunjung ke rumah museum itu biasanya membasuh muka, tangan dan kaki dengan air itu.
“Selain objek sejarah itu, Ende juga punya danau Kelimutu, danau tiga warna, yang bisa ditempuh 2-3 jam dari kota Ende. Jaraknya hanya 55 kilometer, atau 100 km dari Maumere. Ada pula pantai Penggajawa, yang berkerikil hijau. Bayangkan saja, ada pantai, ada gunung, ada kota bersejarah. Itu modal yang cukup untuk membuat Ende lebih berwawasan pariwisata,” jelas Menpar Arief Yahya. (Don Kardono)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ssttt..., Ini Cara Ibas Bermain di Proyek SKK Migas
Redaktur : Tim Redaksi