jpnn.com - SINEAS Rudi Soedjarwo rela menjual rumahnya yang megah di kawasan Paso, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Rumah dengan luas bangunan 1.100 meter persegi, tanah seluas 4.300 meter persegi, itu dilepas demi mewujudkan mimpi besarnya.
BACA JUGA: Archandra Tahar, Rapor Dihiasi Angka 10, dapat Istri Dijodohkan Teman
NORA SAMPURNA, Jakarta
Pikiran-pikiran yang sama itu senantiasa mengusik dan membangunkannya tiga tahun belakangan. Bayangan tentang bioskop-bioskop kecil di pinggiran kota dan daerah-daerah yang selama ini belum dijangkau.
BACA JUGA: 20 Tahun Menetap di AS, Balik ke Indonesia Demi Panggilan Jokowi
Semakin hari bayangan itu semakin kuat. Bahkan, desain dan arsitektur bangunan juga tergambar jelas. Memenuhi kepala Rudi.
Hingga dia menyadari bahwa itu bukan sekadar keinginan, melainkan sebuah ”panggilan”. ”Tiap bangun, pikiran itu terus yang terlintas. Manusia hidup di dunia masing-masing punya tujuan. Ini tujuan saya,” kata Rudi.
BACA JUGA: Cubit Paha Kiri, Paha Kanan Terasa Juga
Niat untuk membangun bioskop sendiri sebenarnya muncul sejak lama. Riset dan segala macam yang berhubungan dengan bioskop juga dia lakukan. Sutradara film Ada Apa dengan Cinta? (2002) tersebut mengungkapkan kegelisahan yang dirasakan.
Sejak awal terjun ke dunia film pada 1998, pria bernama lengkap Rudianto Soedjarwo itu melihat, di antara 300 juta penduduk Indonesia, belum banyak bakat baru yang muncul. Itulah yang membuat Rudi selalu memunculkan pemain baru dan filmmaker baru di tiap filmnya.
Yang juga menjadi kegelisahannya, berita perpecahan yang kerap terjadi di negeri ini sejatinya tidak perlu terjadi jika orang menghargai perbedaan. Kegelisahan ketiga, melihat anak-anaknya yang masih kecil.
”Umur saya sudah 44 tahun. Nanti kalau saya enggak ada, anak-anak berada di situasi hidup yang seperti apa, apa yang bisa saya tinggalkan untuk mereka,” tutur ayah tiga putra itu. Yang dipikirkan Rudi bukan semata soal uang, melainkan sesuatu yang lebih besar dari itu: manfaat.
Dari situ, Rudi mulai melakukan pemetaan. Apa yang dia miliki, apa yang bisa dia perbuat, serta hal yang selama ini tanpa disadari dia lakukan secara konsisten. Melihat sosok sukses seperti Steve Jobs, Rudi menyadari satu hal yang menjadi pembeda.
Ketika orang kebanyakan berpikir tentang what (apa), para inovator tersebut berpikir tentang why terlebih dulu. Alasan kuat ketika menghasilkan sesuatu, baru bagaimana, kemudian apa (produknya).
Bicara mengenai mimpinya, mengapa bioskop? Bioskop sebagai salah satu cara untuk menarik orang di antara 300 juta penduduk untuk datang ke sebuah tempat yang berfungsi tidak hanya untuk menonton film, tetapi menjadi tempat pertemuan dan interaksi.
Secara tidak langsung, itu akan mengeratkan persatuan. Bioskop tersebut juga akan menjadi wadah untuk pendidikan film gratis bagi yang tidak mampu.
Mengapa pendidikan film gratis? ”Karena itu mempercepat semuanya. Orang paling lama belajar tiga bulan. Setelah punya ilmunya, bisa bikin film sendiri,” urai Rudi.
Bioskop-bioskop kecil itu akan membuka lapangan pekerjaan serta menggerakkan ekonomi penduduk di sekitarnya. Bukan hanya itu. Nanti di depan gedung bioskop ditempatkan bendera Merah Putih.
Setiap acara maupun pemutaran film diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tiket nonton dipatok Rp 20 ribu agar lebih terjangkau untuk masyarakat luas. Bioskop tersebut akan memprioritaskan film-film nasional. Kalaupun ada film luar, itu hanya menjadi dukungan dan harus dipastikan tidak bertentangan dengan apa yang disuarakan Rudi.
Selanjutnya, untuk mengisi bioskop tersebut, Rudi dan teman-teman sineas membuat film-film yang variatif, target market, maupun genrenya. ”Dan, prioritas pada talenta baru,” kata Rudi.
Dengan sorot mata penuh semangat, Rudi menjelaskan detail mimpinya. Bioskop mini itu cukup untuk 80–100 orang. Arsitektur gedung dibuat bergaya retro untuk memberikan pengalaman yang berbeda kepada masyarakat. Ketika masuk, orang seperti dibawa oleh time capsule menuju masa lalu.
Lokasinya yang di pinggir jalan (bukan di dalam mal), dengan bangunan ikonik dan bendera Merah Putih di depan, akan menjadi kekuatan untuk menarik orang berkunjung. Harapan Rudi, bioskop menyebar hingga seratus tempat.
Sebab, secara ekonomi dan bisnis, film Indonesia sekarang sudah begitu banyak di bioskop kita. Dibutuhkan jaringan baru untuk mendistribusikannya.
Dari semua gambaran manfaat dari bioskop kecil impian Rudi, yang ingin dia perjuangkan dalam waktu dekat adalah pendidikan film gratis. Sejatinya, pria kelahiran 9 November 1971 itu sudah melakukan pendidikan film melalui Underdog Fightback, sebuah workshop film yang dia rintis.
Namun, dia bercita-cita memberikan pendidikan gratis untuk kalangan yang kurang mampu. Sebab, Rudi meyakini, film merupakan bidang yang bisa dipelajari lebih cepat tanpa memiliki skill apa pun.
Di tiap filmnya, Rudi melibatkan orang-orang dalam rentang yang lebar, mulai pembantu umum sampai produser, runner sampai asisten produksi. ”Dari yang awalnya enggak tahu film, bahkan ada yang lulusan SD, tapi ketika berproses, mereka bisa menghidupi keluarganya,” papar Rudi.
Hasil pendidikan film itu akan memberikan ilmu kepada mereka untuk menjadi wirausaha film. Contohnya, memproduksi wedding video dan birthday video.
”Event-event seperti itu demand-nya tiap hari. Nanti kita ajarkan juga marketing-nya,” ujar pria yang kali pertama terjun sebagai sutradara lewat karya Bintang Jatuh (2000) tersebut.
Putra mantan Kapolri (alm) Anton Soedjarwo itu sudah mencoba melakukan penawaran kepada banyak pihak untuk mewujudkan mimpi tersebut. Namun, selalu dipatahkan. Tak sedikit yang menganggapnya ”bodoh” dan kurang kerjaan.
”Karena mimpi mereka belum tentu sama dengan mimpi saya,” tutur alumnus manajemen dari San Diego State University, AS, itu.
”Saya pikir, ini harus dilakukan dalam waktu cepat,” lanjut Rudi. Dia tidak mau menunggu. Rudi bertekad memulainya dari aset pribadi. Itulah yang membuat keputusannya bulat untuk menjual rumah yang dia bangun pada 2010. Bukan keputusan yang mudah. Tapi, diambil demi sebuah tujuan yang besar.
”Toh, rumah ini kegedean buat saya dan tiga anak saya. Kami bisa sederhanakan hidup,” ujar Rudi yang sudah berpisah dengan sang istri.
Rumah dengan luas bangunan 1.100 meter persegi itu memiliki 9 kamar tidur, 7 toilet dan shower room, 5 garasi, 2 basement, serta 3 kamar asisten rumah tangga. Namun, yang sering digunakan Rudi dan anak-anak hanya dua ruangan di lantai atas.
Sebaliknya, lantai bawah sering disewakan untuk syuting iklan. Rumah yang dibangun di atas lahan seluas 4.300 meter persegi itu dia tawarkan Rp 45 miliar. ”Jauh di bawah market price-nya yang Rp 60 miliar,” ujar Rudi.
Sang pembeli juga akan mendapat bagian profit share jika bioskop tersebut mulai mendapat keuntungan. Kalaupun tidak menghasilkan keuntungan, setidaknya sudah memiliki aset dengan harga di bawah market price dan menjadi bagian dari suatu langkah besar.
Hasil penjualan akan disimpan untuk biaya anak-anak hingga mereka kuliah. Sekitar Rp 15 miliar dialokasikan untuk mewujudkan impiannya membangun bioskop.
”Kalau untuk anak-anak sudah aman, saya enggak kejar setoran. Saya bisa fokus mengerjakan ini (bioskop) dengan sisa uang yang ada,” ucap ayah Vito, 9; Viggo, 7; dan Garuda, 5. Setidaknya, untuk awal, dia membuat lima bioskop terlebih dahulu.
Lewat bioskop-bioskop itu, Rudi ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat dan berdampak untuk banyak orang. Seperti tujuan hidupnya ketika membuat film di awal. Karena passion dan cinta yang begitu besar.
Rudi sempat merasa kehilangan kenikmatan dalam membuat film. ”Ketika terseret dalam arus industri, cara berpikir dan rutinitasnya, orientasi hanya pada project dan uang, saya ngerasa kok nggak ada gunanya. Tumpul,” kata Rudi.
Bukannya uang tidak penting, tapi dia merasa tidak menghasilkan manfaat, hanya sesuatu yang nantinya dilupakan orang. Sampai akhirnya, dia memutuskan break dari film selama tiga tahun.
Bersyukur, Rudi kembali menemukan purpose, kembali membuat film dengan mindset yang berbeda. ”All about passion, fun, and enjoy,” ujar Rudi. Saat ini dia tengah menyiapkan film terbarunya, Algojo Perang Santet, yang akan tayang 8 September.
Kini Rudi berharap ada orang yang menaruh kepercayaan terhadap mimpinya. Tidak sekadar membeli, tapi dia juga telah berkontribusi untuk memberikan manfaat terhadap banyak orang. Dia sudah memetakan tempat-tempat yang dibidik menjadi lokasi bioskop. Budgeting pun mulai disusun.
”Untuk peralatan, biayanya tidak terlalu mahal, yang mahal lokasi,” ujarnya. Rudi menerapkan standar yang sama dengan bioskop-bioskop besar. Resolusi minimum 2K, interior bersih dan nyaman. Sampai food and beverage juga sudah dia pikirkan.
”Revenue nantinya selain dari tiket film, F&B, sewa ruangan untuk minimart, dan pemasang iklan,” ungkapnya.
Dampak bioskop ini akan luas. Tak hanya sebagai sarana pemutaran film, tetapi juga menjadi pusat pendidikan film, tempat berinteraksi, pusat komunitas, lapangan pekerjaan, serta menguatkan persatuan. Mimpi seorang Rudi itu baru benar-benar bisa diwujudkan jika rumahnya berhasil terjual. (*/c10/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerita Pelarian Kitina, Ibu Dua Anak Korban Perang di Mimika
Redaktur : Tim Redaksi