Rukun, Halal Halalbihalal Pun Kebanyakan Pastor dan Suster yang Datang

Selasa, 21 Juli 2015 – 07:14 WIB
TOLERANSI TINGGI: Budiarman Bahar (kiri) menjabat tangan Paus Fransiskus dalam sebuah acara di Vatikan. (Dok KBRI Vatikan)

jpnn.com - Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan Budiarman Bahar menceritakan suka duka selama bertugas di sana. Seperti halnya di tanah air, di Vatikan juga ada acara buka (bukber) bersama dan silaturahmi halalbihalal.

 

BACA JUGA: Kisah Pasutri Berjuang Sembuhnya Putranya yang Terkena Penyakit Langka

Mochamad Salsabyl Adn, Jakarta

-----------------------------------------------------------

BACA JUGA: Hidup di KRI Banjarmasin dalam Pelayaran Menuju Milan

BUDIARMAN Bahar langsung tersenyum saat video call dengan Jawa Pos tersambung pada pukul 19.30 WIB, 15 Juli lalu. Karena perbedaan waktu, saat itu di Roma, Italia (rumah dinas Dubes RI untuk Vatikan), baru pukul 14.30 dan masih lama dari waktu berbuka yang diperkirakan pukul 20.35 waktu setempat. "Di sini puasanya 18 jam, lebih lama dibanding di Indonesia yang 13–14 jam,’’ ujar Budiarman.

Budiarman bertugas di Roma sebagai duta besar RI untuk Takhta Suci Vatikan sejak 21 Desember 2011. Seharusnya, masa tugas Budiarman mewakili Indonesia terhadap kewenangan tertinggi gereja Katolik dunia itu sudah selesai tahun ini. Namun, dia masih harus tetap tinggal di sana karena pejabat penggantinya belum ditetapkan Kementerian Luar Negeri.

BACA JUGA: Jika Keluarga "Terlalu Banyak" yang Muslim, Satu Diminta Jadi Nasrani dan Sebaliknya

’’Putri saya pulang sejak Juni lalu karena saya kira saya bakal pulang dalam waktu dekat. Tapi, ternyata saya masih harus menghabiskan puasa dan Lebaran di sini lagi,’’ tutur Budiarman, lantas tersenyum.

Meski begitu, suami Hetty Bahar tersebut tidak mempermasalahkan harus memperpanjang tugasnya di negara terkecil dunia itu. Dia sudah cukup bersyukur bisa menyelesaikan tugas di Vatikan dengan baik dan mendapat ’’bonus’’ beberapa saat sambil menunggu Dubes pengganti.

Nah, tahun ini Budiarman bersama keluarga harus kembali menjalankan ibadah puasa dan berlebaran di Vatikan. Menurut diplomat murni itu, tidak ada yang berbeda secara signifikan dalam berpuasa dan berlebaran di kota suci bagi umat Katolik itu. Umat Islam di sana bebas menjalankan ibadah yang dituntunkan agama.

”Meski di sini umat Islam termasuk minoritas, kami bebas beribadah. Tidak ada larangan apa-apa. Bahkan, kami dihormati,” ujarnya.

Luas Vatikan hanya 44 hektare dengan penduduk 800 jiwa yang tinggal di kota itu. Memang, tercatat pula sekitar 2.200 warga lainnya. Namun, mereka tinggal di luar Vatikan, misalnya di Roma dan kota-kota lain di Italia. Termasuk para kardinal dan 82 kantor kedutaan besar untuk Vatikan.

KBRI sendiri berada di Via Marocco Nomor 10, Roma, yang berjarak 50 menit dari Vatikan. Sebagai Dubes RI untuk Vatikan, Budiarman dan para Dubes negara lainnya sering mendapat undangan untuk mengikuti upacara-upacara yang terkait dengan agama Katolik. Misalnya perayaan Natal dan Paskah. Dia pun mengaku beruntung selama empat tahun bertugas di sana bisa menyaksikan secara langsung upacara-upacara yang dipimpin pimpinan tertinggi di Takhta Suci Vatikan itu.

”Selain saya, banyak juga Dubes dari negara Islam seperti Iran, Mesir, dan Libya. Kami biasanya berkumpul untuk menyaksikan dan mengikuti prosesi upacara itu,” papar diplomat yang pernah bertugas di Meksiko, Spanyol, Korea Selatan, Yaman, Turki, dan Australia tersebut.

Budiarman juga menceritakan pengalamannya berpuasa dan berlebaran di Vatikan. Menurut dia, memang tidak ada perbedaan dalam tatanan kehidupan masyarakat Vatikan selama Ramadan. Maklum, hampir 100 persen warga Vatikan merupakan pemeluk Katolik. Meski begitu, dia dan keluarga bisa menjalankan ibadah tersebut dengan baik. Apalagi, di Vatikan ada budaya, saat menjamu tamu tidak perlu memberikan suguhan air maupun jajanan.

”Sehingga saya tidak perlu susah-susah menolak untuk tidak meminum atau memakan jajanan karena sedang berpuasa. Toh, di sana budaya menjamu tamu tidak ada,” terangnya.

Bukan hanya pemerintah Vatikan, warga negara Indonesia (WNI) yang berada di bawah naungan KBRI Vatikan juga punya toleransi tinggi. Untuk diketahui, KBRI Vatikan saat ini menaungi 1.530 WNI. Jumlah itu hampir sama dengan WNI yang dinaungi KBRI Roma. Yang berbeda, semua WNI yang dinaungi KBRI Vatikan adalah pastor dan suster yang bertugas di gereja-geraja Katolik sekitar Roma dan di dalam Kota Vatikan.

Untuk staf KBRI, hanya dua orang yang beragama Islam. Sisanya merupakan pemeluk Katolik. Namun, hal itu tidak menghalangi Budiarman dan staf muslim untuk melakukan tradisi saat Ramadan dan Lebaran. Misalnya, mereka mengadakan acara buka bersama atau halalbihalal saat Lebaran tiba. Uniknya, yang datang dalam acara itu kebanyakan para pastor dan suster.

”Itulah toleransi antarumat beragama yang konkret. Mereka (pastor dan suster) akan datang bila diundang dalam acara-acara tradisi umat Islam itu. Seperti halnya bila mereka datang untuk acara sosialisasi pemilu atau perayaan hari kemerdekaan RI,” beber Budiarman. ”Saat buka bersama ditutup dengan doa secara Islam, mereka ikut dengan khusyuk berdoa dengan cara mereka sendiri,” tambahnya.

Menurut rencana, KBRI Vatikan mengadakan acara halalbihalal pada 25 Juli. Seperti biasa, KBRI mengundang seluruh WNI di bawah KBRI Vatikan, termasuk para pastor dan suster. ”Kami baru bisa mengadakan halalbihalal 25 Juli nanti karena suster dan pastor baru bisa keluar gereja saat akhir pekan,” ucapnya.

Meski begitu, Budiarman tak menampik bahwa dirinya memang rindu suasana berpuasa dan berlebaran di tanah air. ”Saya kangen sekali mendengarkan pukulan tiang listrik untuk membangunkan orang sahur pada pukul 03.00. Memang sederhana, tapi suara itu sungguh membuat saya rindu suasana Ramadan seperti itu.”

Saking rindunya pada suasana Ramadan di kampung halaman, pria berdarah Minang tersebut sampai pernah menyetel rekaman suara azan saat berbuka puasa. Namun, dia sedikit kecewa karena lagu azan yang didengarnya di Roma itu berbeda dengan azan di Indonesia. ”Suaranya kurang merdu. Sedangkan di Indonesia azannya bersahut-sahutan dari banyak masjid,” ungkapnya.

Kendati begitu, Budiarman bersyukur masih bisa menjalankan salat berjamaah di musala dekat rumah dinasnya. Dia juga masih bisa mengobati rasa kangen pada tanah air dengan menikmati menu masakan Padang bikinan istrinya. ”Kalau pengin makan rendang, saya minta istri membuatkan. Rasanya seperti di rumah sendiri,” ujarnya. (*/c5/c9/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Reaktor Nuklir itu seperti Pabrik Minyak Goreng


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler