Dalam sidang tersebut, ahli yang diajukan oleh pemohon menilai ketentuan pidana dalam Pasal 282 dan Pasal 307 UU Pemilu Legislatif, tidak memenuhi kriteria umum untuk sebuah perbuatan yang dapat dipidana
BACA JUGA: Wakapolri: Tak ada Intervensi, Kabareskrim Hanya Supervisi
Salah satunya adalah ahli hukum pidana dari Universitas Muhamadiyah Jakarta, Chairul Huda.Chairul misalnya, mengatakan bahwa rumusan pidana dalam Pasal 282 dan Pasal 307 itu tidak relevan
Menurut Chairul, pengumuman hasil survei saat masa tenang dan pengumuman quick count pada hari pemungutan suara, bukanlah perbuatan yang pantas dipidana
BACA JUGA: KPK Tak Pernah Periksa Nasrudin
Dipaparkannya, hal itu lantaran tidak sesuai dengan teori hukum pidana yang mengatur sebuah perbuatan bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana."Ukuran umumnya untuk mengatakan sebuah perbuatan itu sebagai perbuatan pidana, di antaranya, pertama, perbuatan itu harus bersifat berbahaya, keterlaluan, dapat merusak, sehingga tak ada lagi sanksi lain yang bisa menghambatnya selain sanksi pidana," katanya.
Dijelaskan lagi, dalam hal ini ada istilah pidana yaitu "ultimum remedium", yang artinya adalah sanksi pidana merupakan sarana paling akhir untuk diterapkan
Ukuran kedua, menurutnya lagi, adalah telah terjadi perubahan organisasi sosial dalam masyarakat, atau adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga perbuatan yang tadinya normal berkembang menjadi perbuatan pidana
BACA JUGA: Kampanye, Suryadharma Serahkan Mobil Dinas
Sebagai contoh untuk ini, adalah tindak pidana teknologi dengan berlakunya UU ITE.Selain itu, jelas Chairul pula, perbuatan (pidana) tersebut dapat merugikan kepentingan global dan melanggar norma-norma etik"Contohnya adalah sanksi pidana bagi perusak lingkungan yang terkait dengan kepentingan global," katanya.
Jadi, berdasarkan kriteria-kriteria itu, Chairul lantas menilai bahwa tindakan mengumumkan hasil survei maupun quick count, sebenarnya sangat jauh dari perbuatan yang dapat dipidana"Lagipula, tak ada bukti empiris yang menunjukkan bila pengumuman hasil survei dalam masa tenang dan pengumuman quick count pada hari pemungutan suara itu sebagai tindakan yang berbahaya," imbuhnya.
Bahkan, masih menurut Chairul, pada Pemilu 2004 lalu, lembaga survei bebas saja mengumumkan hasil survei dan quick count-nya kapan saja"Dan saat itu tidak ada masalah sama sekali," pungkasnya.
Dalam kasus ini, seperti telah diberitakan, pemohon hendak menguji tiga pasal dalam UU Pemilu Legislatif, yakni Pasal 245 ayat (2), ayat (3), ayat (4), berikut Pasal 282, serta Pasal 307Pasal 245 adalah yang memuat larangan pengumuman hasil survei pada masa tenang dan pengumuman hasil quick count (penghitungan cepat) pada hari pemungutan suara, sedangkan Pasal 282 dan Pasal 307 memuat sanksi pidana bagi setiap orang atau lembaga yang melanggar larangan tersebut(sid/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rusdihardjo Segera Bebas Bersyarat
Redaktur : Tim Redaksi