Rumusan Pidana UU No 10 Dinilai Tak Relevan

Selasa, 17 Maret 2009 – 15:34 WIB
JAKARTA – Sidang pengujian UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Legislatif yang diajukan oleh Ketua Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI), Denny Yanuar Ali, kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/3)Dalam sidang kali ini, pemohon menghadirkan sejumlah ahli dari berbagai bidang untuk mendukung permohonannya.

Dalam sidang tersebut, ahli yang diajukan oleh pemohon menilai ketentuan pidana dalam Pasal 282 dan Pasal 307 UU Pemilu Legislatif, tidak memenuhi kriteria umum untuk sebuah perbuatan yang dapat dipidana

BACA JUGA: Wakapolri: Tak ada Intervensi, Kabareskrim Hanya Supervisi

Salah satunya adalah ahli hukum pidana dari Universitas Muhamadiyah Jakarta, Chairul Huda.

Chairul misalnya, mengatakan bahwa rumusan pidana dalam Pasal 282 dan Pasal 307 itu tidak relevan
"Ini over criminalism," kata Chairul di ruang sidang MK, Selasa (17/3).

Menurut Chairul, pengumuman hasil survei saat masa tenang dan pengumuman quick count pada hari pemungutan suara, bukanlah perbuatan yang pantas dipidana

BACA JUGA: KPK Tak Pernah Periksa Nasrudin

Dipaparkannya, hal itu lantaran tidak sesuai dengan teori hukum pidana yang mengatur sebuah perbuatan bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana.

"Ukuran umumnya untuk mengatakan sebuah perbuatan itu sebagai perbuatan pidana, di antaranya, pertama, perbuatan itu harus bersifat berbahaya, keterlaluan, dapat merusak, sehingga tak ada lagi sanksi lain yang bisa menghambatnya selain sanksi pidana," katanya.

Dijelaskan lagi, dalam hal ini ada istilah pidana yaitu "ultimum remedium", yang artinya adalah sanksi pidana merupakan sarana paling akhir untuk diterapkan
"Tapi, dalam kedua pasal ini, sama sekali tak terlihat mengarah ke pidana," ungkapnya lagi.

Ukuran kedua, menurutnya lagi, adalah telah terjadi perubahan organisasi sosial dalam masyarakat, atau adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga perbuatan yang tadinya normal berkembang menjadi perbuatan pidana

BACA JUGA: Kampanye, Suryadharma Serahkan Mobil Dinas

Sebagai contoh untuk ini, adalah tindak pidana teknologi dengan berlakunya UU ITE.

Selain itu, jelas Chairul pula, perbuatan (pidana) tersebut dapat merugikan kepentingan global dan melanggar norma-norma etik"Contohnya adalah sanksi pidana bagi perusak lingkungan yang terkait dengan kepentingan global," katanya.

Jadi, berdasarkan kriteria-kriteria itu, Chairul lantas menilai bahwa tindakan mengumumkan hasil survei maupun quick count, sebenarnya sangat jauh dari perbuatan yang dapat dipidana"Lagipula, tak ada bukti empiris yang menunjukkan bila pengumuman hasil survei dalam masa tenang dan pengumuman quick count pada hari pemungutan suara itu sebagai tindakan yang berbahaya," imbuhnya.

Bahkan, masih menurut Chairul, pada Pemilu 2004 lalu, lembaga survei bebas saja mengumumkan hasil survei dan quick count-nya kapan saja"Dan saat itu tidak ada masalah sama sekali," pungkasnya.

Dalam kasus ini, seperti telah diberitakan, pemohon hendak menguji tiga pasal dalam UU Pemilu Legislatif, yakni Pasal 245 ayat (2), ayat (3), ayat (4), berikut Pasal 282, serta Pasal 307Pasal 245 adalah yang memuat larangan pengumuman hasil survei pada masa tenang dan pengumuman hasil quick count (penghitungan cepat) pada hari pemungutan suara, sedangkan Pasal 282 dan Pasal 307 memuat sanksi pidana bagi setiap orang atau lembaga yang melanggar larangan tersebut(sid/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rusdihardjo Segera Bebas Bersyarat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler