jpnn.com - JAKARTA - Rupiah terus melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan rupiah dan sentimen negatif di pasar saham diperkirakan berlanjut hari ini.
Sentimen negatif dari Wall Street (bursa saham AS) akibat rontoknya saham-saham utama dunia dikhawatirkan langsung menyergap pasar rupiah dan saham saat dibuka hari ini.
Berdasar pantauan pukul 22.00 WIB kemarin (24/8), bursa Amerika langsung dilanda aksi jual pada pembukaan transaksi di New York. Mengutip data Bloomberg, pada pukul 09.49 waktu New York, (21.49 WIB), indeks S&P 500 ambles 3,8 persen menjadi 1.896,99. Dengan demikian, indeks acuan AS itu sudah terjungkal 11 persen dari posisi tertingginya pada Mei lalu.
Sementara itu, indeks Dow Jones Industrial Average tertekan 4,1 persen menjadi 15.790,02. Itu merupakan penurunan terdalam sejak November 2011. Sedangkan Nasdaq Composite Index tertekan 4,5 persen ke level terendahnya sejak Oktober 2014.
Ada tiga kekhawatiran yang menggerakkan pasar saham AS. Yang pertama adalah spekulasi mengenai rencana kenaikan suku bunga The Federal Reserve pada September untuk kali pertama sejak 2006.
BACA JUGA: Rp 14 Ribu per USD, Jangan Selalu Bilang Aman
Berikutnya adalah data perekonomian Tiongkok yang di bawah perkiraan dan harga minyak mentah yang terkoreksi 4 persen sehingga menjadi yang terendah dalam enam tahun terakhir.
Berdasar pengalaman selama ini, kabar dari Wall Street selalu berimbas pada pergerakan rupiah dan saham di tanah air. Dikhawatirkan, aksi jual di Wall Street malam ini membuat kurs rupiah semakin terperosok dan indeks saham kian tertekan.
Padahal, sepanjang perdagangan kemarin, rupiah sudah membikin dag-dig-dug ketika tercatat sempat menembus level Rp 14.000. Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin menunjukkan, rupiah ditutup di level Rp 13.998.
Angka tersebut merosot 103 poin dibanding penutupan perdagangan pekan lalu (21/8) yang ada di level Rp 13.895. Nilai tukar rupiah itu sudah menembus titik terendah 17 tahun, yaitu sejak krisis moneter 1998.
BACA JUGA: Pengusaha Ritel Batasi Promosi, Pendapatan Media Cetak Drop 40 Persen
Situasi di pasar modal tak kalah mengkhawatirkan. Sejumlah perusahaan menarik saham beredar di pasar (buyback) sebagai upaya agar harganya tidak semakin tergerus. Namun, upaya itu tak banyak menolong.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok 172,224 poin (3,972 persen) ke level 4.163,729 dan kumpulan 45 saham paling likuid dalam indeks LQ45 terjungkal 35,02 poin (4,82 persen) ke level 692,21 pada penutupan perdagangan kemarin. Secara year to date sejak awal tahun sampai kemarin bursa saham Indonesia sudah minus 20,34 persen dan merupakan penurunan paling dalam di antara bursa lain di dunia.
Menanggapi situasi itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku regulator tadi malam merilis pernyataan bahwa mulai hari ini (25/8) seluruh perusahaan sekuritas yang termasuk anggota bursa (AB) tidak diperkenankan melakukan transaksi short selling (jual kosong dengan cara pinjam saham).
"Bursa akan melakukan tindakan tegas kepada anggota bursa yang diketahui melanggar ketentuan tersebut," ungkap Sekretaris Perusahaan BEI Irmawati Amran tadi malam.
Terpuruknya pasar saham telah membuat sejumlah perusahaan panik. Selain beberapa bank badan usaha milik negara (BUMN) yang menyatakan sudah menyiapkan dana untuk buyback, perusahaan otomotif milik grup Saratoga, PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPMX), secara resmi mengumumkan sudah mulai merealisasikannya kemarin.
Akhir pekan kemarin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang sudah memberikan izin kepada seluruh emiten untuk bisa melakukan buyback tanpa melalui mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS). Hal tersebut hanya diberlakukan pada situasi pasar sedang ambruk seperti saat ini.
Chief Economist Office Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, keputusan dari pemerintah terkait buyback dan intervensi pasar memang tepat untuk solusi jangka pendek. Misalnya intervensi kurs dengan menggelontorkan cadangan devisa. Solusi tersebut dirasa sebagai langkah memberikan hasil paling maksimal dengan risiko kecil.
Namun, Andry menegaskan bahwa keputusan itu harus diikuti rencana jangka panjang."Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur, daya saing usaha, dan reformasi struktural perizinan," tuturnya. Hal tersebut dirasa perlu karena risiko pelemahan kurs Indonesia masih bisa ditemui hingga tahun depan. (dee/gen/bil/wir/c9/kim)
BACA JUGA: Ekonomi Terpuruk, Jokowi Diminta tak Terlalu Pede
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapolri: Menimbun Bahan Pokok, Penjara 7 Tahun
Redaktur : Tim Redaksi