jpnn.com - JAKARTA - RUU ASN: Ini Daftar Ketidakadilan terhadap PPPK, Ada Frasa Nasib Buruk, Ya Ampun
Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (13/7) menyetujui perpanjangan waktu pembahasan terhadap 6 Rancangan Undang-Undang, salah satunya RUU revisi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN).
BACA JUGA: Kabar Gembira, Semua Guru Honorer Diusulkan jadi PPPK, Gaji Sudah Jelas
Pembahasan RUU ASN akan dilanjutkan seusai masa reses DPR, yakni pertengahan Agustus 2023.
Diketahui, pembahasan RUU revisi UU ASN sudah dimulai sejak 2017, lanjut 2018, 2019, 2020, 2021, 2022, dan 2023.
BACA JUGA: Honorer Satpol PP Tak Tinggal Diam, PNS Harga Mati, Bukan PPPK Part Time
Dengan kata lain, sudah 7 kali RUU tersebut masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sebagai usul inisiatif dewan.
Dari dokumen Naskah Akademik RUU Revisi UU ASN Tahun 2020, yang diunduh JPNN.com dari situs resmi DPR RI, terungkap DPR membeberkan sejumlah ketidakadilan yang dialami Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PPPK.
BACA JUGA: Agustus Bulan Mendebarkan bagi Jutaan Honorer, PPPK Part Time atau Asli? Jangan PHP Lagi
Berikut ini petikan kalimat Naskah Akademik RUU revisi UU ASN Tahun 2020.
UU ASN membagi manajeman ASN ke dalam Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Di dalam ketentuan umum UU ASN dijelaskan bahwa PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
Dengan pembagian tersebut maka UU ASN tidak hanya mengenal pegawai pemerintah sebagai pegawai tetap, yaitu PNS, akan tetapi juga mulai memperkenalkan sebuah sistem kepegawaian baru berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak, yaitu PPPK.
“Namun demikian, UUASN sama sekali tidak menjelaskan alasan dan kriteria pembagian manajeman kepagawaian menjadi manajeman PNS dan PPPK. Dengan demikian, pembagian ini tidak didasarkan pada sifat dan jenis pekerjaan,” demikian petikan kalimat di Naskah Akademik RUU Revisi UU ASN.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pembagian pegawai tetap dan kontrak menurut UU ASN lebih buruk dan menyimpang dari pembagian pegawai tetap dan kontrak yang selama ini dikenal di dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia, dalam hal ini sistem ketenagakerjaan menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menurut UU Ketenagakerjaan 2003, perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Lebih jauh lagi, UU Ketenagakerjaan 2003 secara tegas menyatakan bahwa “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Hal ini menegaskan bahwa satu-satunya dasar bagi pembuatan pegawai kontrak menurut UU Ketenagakerjaan 2003 adalah adanya sifat dan jenis pekerjaan yang sementara.
Sifat kesementaraan tersebut selanjutnya diperjelas lagi dengan adanya batas waktu bagi pegawai kontrak.
UU Ketenagakerjaan 2003 dalam hal ini mengatur bahwa “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Dengan demikian, seseorang hanya dapat menjadi pegawai kontrak untuk masa keseluruhan paling lama 3 (tiga) tahun.
Batas waktu 3 (tiga) tahun inilah yang menjadi ukuran dari sifat kesementaraan sebuah pekerjaan, sehingga apabila sebuah pekerjaan dianggap tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu 3 tahun, maka pekerjaan itu menjadi bersifat tetap.
Nasib Baik jadi PNS, Nasib Buruk jadi PPPK
“Dari penjelasan di atas terlihat bahwa UU Ketenagakerjaan 2003 membuat syarat yang lebih ketat untuk sistem pegawai kontrak dibandingkan dengan UUASN,” demikian kalimat di Naskah Akademik.
Apabila UU Ketenagakerjaan 2003 membatasi pegawai kontrak hanya untuk pekerjaan yang menurut sifat dan jenisnya sementara, maka UUASN justru tidak memiliki batasan tersebut.
Dengan demikian, menurut UUASN seseorang dapat saja menjadi pegawai kontrak untuk pekerjaan yang sebenarnya bersifat tetap. Karena sama-sama dapat diterapkan untuk pekerjaan yang sifatnya tetap (tidak sementara), maka yang menentukan apakah seseorang akan menjadi pegawai PNS atau PPPK tergantung adalah peruntungan mereka.
“Jika bernasib baik, ia dapat menjadi PNS, sedangkan jika bernasib buruk akan menjadi PPPK,” demikian kalimat di Naskah Akademik.
Ketidakjelasan dasar pembagian manajemen kepegawaian ke dalam manajeman PNS dan PPPK, selanjutnya membawa implikasi pada munculnya perbedaan perlakuan atas pegawai yang berada di dalam sistem PPPK, yaitu:
1) Sistem PPPK tidak mengenal batasan waktu kontrak. UUASN hanya menyatakan bahwa “Masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja.
Kententuan ini menunjukkan bahwa seseorang dapat dijadikan pegawai kontrak pemerintah untuk seumur hidup! Hal ini secara jelas menunjukan bahwa UUASN justru memfasilitasi adanya ketidakpastian kerja untuk pegawai pemerintah.
2) Sistem PPPK tidak mengenal kenaikan pangkat, pengembangan karier, atau promosi. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat seumur hidupnya dikontrak untuk pangkat dan pekerjaan yang sama. Karena pangkat dan pekerjaan ini pada akhirnya akan terkait dengan tunjangan dan gaji, maka orang tersebut dapat memperoleh tunjangan dan gaji yang sama (tanpa peningkatan) seumur hidupnya!
Lebih dari itu, sebaik apa pun seorang pegawai PPPK bekerja, hal itu tidak akan mempengaruhi karier dan kenaikan pangkatnya, karena memang PPPK tidak berhak atas kenaikan pangkat, pengembangan karier, dan promosi.
“Dengan demikian, sistem merit yang merupakan tulang punggung pengelolaan ASN, tidak berlaku bagi pegawai PPPK.”
Pada Bab Kesimpulan Naskah Akademik, ada 4 poin, di mana 3 di antaranya terkait PPK, yakni.
1. Perbedaan PNS dan PPPK yang tidak didasarkan pada sifat dan jenis pekerjaan telah melanggar asas keterpaduan yang mengamanatkan dibuatnya pengelolaan pegawai ASN yang terpadu secara nasional.
Perbedaan PNS dan PPPK telah melahirkan perbedaan hak yang melanggar asas keadilan dan kesetaraan. Hak yang akan diperoleh oleh seorang pegawai PNS tidak bisa diperoleh oleh sejawatnya yang berstatus PPPK.
Kesempatan dan hak tersebut adalah kesempatan dan hak untuk berkompetisi menjadi pejabat pimpinan tinggi, pengembangan karier, kenaikan pangkat, promosi, dan pensiun.
Perbedaan status kepegawaian tersebut bukan karena sifat pekerjaannya tetapi semata-mata karena negara menginginkannya berbeda.
2. UU ASN melanggar asas kepastian hukum, terutama dalam kaitannya dengan kejelasan hubungan kerja antara pemerintah dengan pegawai PPPK. UU ASN telah membuka celah bagi pemerintah untuk mengangkat seseorang sebagai PPPK secara terus menerus, tanpa batas, tanpa ada kepastian hubungan kerja yang lebih pasti, yaitu menjadi pegawai tetap.
3. Ketiadaan kepastian dan perlindungan menjadi pegawai tetap negara, termasuk bagi tenaga Tenaga Honorer, Pegawai Tidak Tetap, Pegawai Tetap Non-PNS, dan Tenaga Kontrak yang telah ada selama ini, serta tidak adanya kenaikan pangkat, pengembangan karier, promosi, dan pensiun bagi seorang pegawai PPPK merupakan pelanggaran terhadap asas kesejahteraan.
Saran-Saran di Naskah Akademik
Dalam upaya memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi PPPK dan tenaga honorer, pegawai tidak tetap, Pegawai Tetap Non-PNS, dan Tenaga Kontrak yang selama ini telah mengabdi kepada Pemerintah, diharapkan penyusunan dan pembahasan RUU tentang Perubahan UU ASN sebagaimana yang telah dikaji dalam naskah akademik ini dapat segera dilaksanakan antara Pemerintah dan DPR, selain karena alasan telah menjadi Prolegnas Prioritas juga telah memiliki Naskah Akademik dan RUU Perubahannya.
Nah, yang menjadi pertanyaan ialah apakah Naskah Akademik 2020 akan dipakai pada pembahasan revisi UU ASN tahun ini? Kita tunggu saja. (sam/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu