RUU Baru Ancam Kebebasan Warga dan Media Rusia

Sabtu, 09 Maret 2019 – 08:57 WIB
Vladimir Putin. Foto: sputnik international

jpnn.com, MOSCOW - "Dalam waktu dekat, kita akan bercanda tentang pemerintah dengan cara berbisik-bisik di dapur." Gerutu itu meluncur dari Sergey Shvakin. Dia adalah pengacara di Rusia. Shvakin sedang khawatir memandang kelahiran rancangan undang-undang (RUU) baru yang bisa membungkam publik.

RUU ditujukan untuk menjerat kritik publik. Jika dianggap keterlaluan oleh pemerintah, kritik itu akan berbuah denda dan penjara.

BACA JUGA: OSO: Rusia Tertarik Bangun Infrastruktur Kereta Api di Kalimantan

RUU yang kontroversial itu sudah disetujui Majelis Rendah Rusia alias Duma pada Rabu (6/3). Selanjutnya, RUU akan diserahkan ke Majelis Tinggi dan ditandatangani Presiden Rusia Vladimir Putin. Sangat mungkin RUU itu akan lolos dengan mudah dan segera diterapkan beberapa pekan ke depan.

Berdasar RUU tersebut, unggahan di dunia maya yang dinilai tidak menghormati masyarakat, negara, simbol resmi negara, konstitusi, dan pemerintah bisa didenda RUB 100 ribu atau setara Rp 21,4 juta. Tindakan berulang akan dikenai denda dua kali lipat atau mendekam 15 hari di balik jeruji besi.

BACA JUGA: Jokowi: Pemerintah Menjamin Kemerdekaan Pers

BACA JUGA: Propaganda Rusia dan Masa Depan Demokrasi

Jika berlaku, otomatis RUU itu akan melindungi Presiden Rusia Vladimir Putin, para legislator, dan semua pejabat pemerintah. "Penduduk bisa dituntut jika membuat gu­rauan tentang parlemen atau menyebut Putin bajingan di dunia maya," ujar Kepala Sova Centre Alexander Verkhovsky seperti dikutip The Guardian. Sova Centre adalah lembaga yang memonitor penyalahgunaan undang-undang.

BACA JUGA: Pasal Karet di UU ITE Kerap Memakan Korban, Segera Cabut!

RUU tersebut rawan disalahgunakan karena kata-kata di dalamnya cukup bias. Seperti pasal karet. Bisa jadi, kartun satire yang menyindir pemerintah bakal dianggap sebagai penghinaan dan bisa diproses hukum.

Para kritikus menilai RUU tersebut mengingatkan mereka akan undang-undang di era Uni Soviet yang didesain untuk membungkam oposisi.

Legislator United Russia Party Andrei Klishas adalah aktor di balik pembuatan RUU yang kontroversial itu. Dia satu partai dengan Putin.

Klishas menegaskan bahwa tujuan RUU itu bukan untuk menyensor kritikan. Tapi, lebih pada mendorong rakyat menghormati pemerintah karena mereka layak dihormati.

Tidak semua pejabat pemerintah dan anggota parlemen setuju. Wakil Menteri Komunikasi Rusia Alexei Volin menegaskan bahwa salah satu tugas lembaga pemerintah adalah mendengar kritik atas pekerjaan yang telah mereka lakukan.

Setali tiga uang, anggota parlemen dari Liberal Democratic Party of Russia (LDPR) Sergei Ivanov berpendapat hampir sama.

"Jika kita berhenti memanggil orang bodoh sebagai orang bodoh, dia tidak akan berhenti menjadi orang bodoh," kritik Ivanov. Padahal, biasanya LDPR mendukung Putin.

Kremlin, tampaknya, tak hanya ingin membungkam penduduk, tapi juga media. Sehari sebelumnya Duma juga menyetujui RUU yang memberikan kewenangan bagi otoritas yang ditunjuk untuk memblokir website yang memublikasikan fake news dan hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan.

Akan ada pengawas media yang memonitor fake news. Mereka akan meminta berita yang dianggap melanggar untuk dihapus. Jika tidak menurut, baru diblokir. Denda untuk pelanggaran tersebut cukup besar. Yaitu, mencapai RUB 1,5 juta atau setara Rp 321,9 juta. Itu dilakukan jika berita bohong yang menyebar bisa memicu kerusuhan maupun kematian.

Putin memang dikenal sangat sensitif terhadap hal-hal yang dianggap menghinanya. Awal dia menjabat presiden pada 2000, acara televisi berjudul Kukly yang disiarkan stasiun televisi NTV menjadi sasaran. Di salah satu episodenya, Putin digambarkan sebagai iblis. Dalam hitungan bulan, NTV diakuisisi pemerintah. (sha/c10/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Trump Dukung Oposisi Venezuela, Rusia Bereaksi Keras


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler