jpnn.com - JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan jumlah dokter spesialis di Indonesia masih sangat sedikit, bahkan di bawah standar WHO 1/1.000 penduduk.
Dia menyebutkan jumlah dokter yang dibutuhkan di Indonesia sekitar 270 ribu, tetapi saat ini baru ada 140 ribu.
BACA JUGA: Tolak RUU Kesehatan, Akademisi: Akan Buat Penyimpangan Berbagai Kebijakan
Artinya, kata Budi, masih ada kekurangan dokter sebanyak 130 ribu.
Secara umum, jumlah lulusan dokter di Indonesia per tahun hanya 12 ribu.
BACA JUGA: Jangan Minum Air Dingin Berlebihan, Ini 5 Efek Sampingnya untuk Kesehatan Anda
Diyakini bahwa lulusan dokter spesialis jauh lebih sedikit dari angka tersebut.
Oleh karena itu, lanjutnya, Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) sebagai upaya terbaru pemerintah dalam percepatan jumlah dokter spesialis.
BACA JUGA: Benarkah Produk Tembakau Alternatif Lebih Rendah Risiko? Begini Kata Dokter Spesialis Paru
Kemudian, menempatkan aspek pendidikan dokter spesialis menjadi satu di antara materi muatan pengaturannya.
Rektor Universitas Yarsi Prof. dr. Fasli Jalal, Sp.GK., Ph.D., mengatakan semangat untuk melakukan transformasi percepatan dokter spesialis melalui RUU Kesehatan ini tentunya dapat dipandang baik.
Namun, proses penyusunan kebijakan untuk melakukan transformasi ini perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati.
Oleh karena itu, Universitas Yarsi menyediakan forum diskusi untuk menjawab percepatan pendidikan dokter spesialis dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan nasional.
"Tujuannya menyediakan forum berbagi dari berbagai pemangku kepentingan dalam upaya percepatan pemenuhan dokter spesialis, mendiskusikan berbegai perspektif keilmuan dalam percepatan pendidikan dokter spesialis," terang Prof. Fasli dalam lokakarya bertajuk Mengurai Tantangan dan Peluang pada RUU Kesehatan di Universitas Yarsi, Selasa (30/5).
Nantinya, lanjut Prof. Fasli, hasil kajian pada lokakarya ini akan direkomendasikan kepada Kementerian Kesehatan RI dan DPR RI.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam memberikan sejumlah solusi untuk memenuhi percepatan dokter spesialis.
Pertama, memberikan NIDK kepada Kemenkes, Kemendikbudristek dan staf RS untuk menjadi dosen.
Kedua, perhitungan standar biaya yang jelas baik cost component, dan sumber pendanaan.
Ketiga, penyelerasan standar mutu baik intake, matrikulasi.
"Saya menitipkan kepada Komis X DPR RI untuk skema AHS dapat masuk dalam RUU Kesehatan," ucapnya.
Anggota Komisi IX DPR RI dr. Suir Syam.,M.Kes.MMR, menjelaskan bagaimana RUU Kesehatan menjadi penting untuk percepatan dokter spesialis.
Dia memberikan perbandingan dengan Jepang, bagaimana jarak 10-15 tahun saja di negara Matahari Terbit itu sudah bisa mampu menciptakan dokter sub-spesialis.
Syam juga mengatakan bahwa pasal yang dikhawatirkan menyebabkan hilangnya proteksi kepada dokter saat menangani pasien sudah dikeluarkan dari RUU Kesehatan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Yarsi Dr. M. Ryan Bakry., SH.,MH., menyampaikan pandangan hukumnya, yang berfokus pada dua pasal.
Pertama, Pasal 212 RUU Kesehatan, memiliki implikasi hukum sebagai dasar untuk mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan aturan baru terkait penyelenggaran pendidikan tinggi bidang kesehatan, selain yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (insitusi penyelenggara pendidikan selain perguruan tinggi).
Sehingga, lanjut Ryan, pengkajian konektivitas antara RUU Kesehatan dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Pendidikan Tinggi menjadi sangat penting.
Ryan memaparkan pengaturan khusus mengenai insitusi penyelenggara pendidikan dokter spesialis selain perguruan tinggi, terdapat di Pasal 183 RUU Kesehatan.
Pasal ini telah memberikan ruang kepada rumah sakit untuk secara mandiri menyelenggarakan pendidikan profesi dokter/dokter gigi spesialis, dan dokter/dokter gigi subspesialis.
"Transformasi ini tentu membutuhkan pemahaman yang lebih substantif dengan memperhitungkan aspek kepentingan masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis agar memenuhi azas efektivitas pada RUU Kesehatan," pungkasnya. (esy/jpnn)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Mesyia Muhammad