jpnn.com - BUNG Karno menjadi Presiden Indonesia pada 18 Agustus 1945--sehari setelah proklamasi. Di samping hiruk-pikuk revolusi yang tak kunjung selesai, selama menduduki jabatan itu, apa yang dirasakannya?
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Coba Berpikir Jernih, Apa Mungkin PDIP Itu PKI?
Menjabat Presiden Indonesia pertama, ternyata membuat Bung Karno merasa jadi seorang tawanan.
"Tawanan dari tata cara serba resmi. Tawanan dari tata cara kesopanan. Tawanan dari perilaku yang baik," kata Soekarno kepada Cindy Adams, jurnalis perempuan asal Amerika, dalam sebuah wawancara untuk penulisan otobiografinya.
BACA JUGA: Bu Mega Pernah Mau Menggaplok Tentara, Begini Ceritanya
Buku otobigrafi itu terbit pertama pada 1965. Judulnya Sukarno, An Autobiography As Told To Cindy Adams. Kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Abdul Bar Salim di bawah judul Bung Karno--Penyambung Lidah Rakyat Indonesia pada 1966.
Menurut Bung Karno, ditinjau secara keseluruhan maka jabatan Presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil.
BACA JUGA: Satu Lagi, Patung Putra Sang Fajar Hadir di Blitar
"Banyak kesenangan-kesenangan yang sederhana telah dirampas dariku," kenangnya.
Dalam tempo-tempo tertentu, di negara yang kemerdekaanya dia proklamasikan, rupanya acapkali Bung Karno merasa tak bisa menikmati kesenangan yang paling memuaskan hati.
Misal, "menggeledahi toko-toko kesenian, melihat-lihat benda yang akan dikumpulkan, lalu menawarnya. Ke mana pun aku pergi, rakyat berkumpul berbondong-bondong," ungkapnya.
Kemudian, "di masa kecilku aku telah mengelilingi Pulau Jawa dengan sepeda. Sekarang perjalanan semacam ini tidak dapat kulakukan lagi, karena tentu tidak sedikit orang yang akan mengikutiku."
Lain waktu, muncul perasaan ingin terlepas dari berbagai persoalan. Sesaat ingin merasakan irama denyut jantung tanah air.
Maka, Bung Karno pun duduk seorang diri di beranda Istana Merdeka.
Beranda itu, Bung Karno menggambarkan, setengah tertutup dengan layar untuk menghambat panas dan cahaya matahari.
Perabotnya terdiri dari kursi rotan yang tidak dilapis dan tidak dicat. Ada meja beralas kain batik halus.
"Suatu keistimewaan yang kuperoleh karena jabatan tinggi adalah sebuah kursi yang menyendiri pakai bantal. Itulah yang dinamakan "kursi presiden". Dan aku duduk di sana. Merenung."
Ada tanda petik untuk kata kursi presiden. Entah apa maksudnya. Sarkas barangkali.
Dari "kursi presiden" itu, dia memandang keluar, ke taman indah. Ini untuk menghilangkan kelelahan pikiran. Taman itu, "taman yang kutanami dengan tanganku sendiri."
Bung Karno juga punya hobi berkebun rupanya.
Kadang-kadang Bung Karno menyamar. Keliling kota. Hanya dengan seorang ajudan berpakaian preman.
Biasanya itu dilakukan malam hari. Hanya berkemeja. Pantolan. Pakai sandal.
"Dan dengan kacamata berbingkai tanduk, rupaku lain sama sekali. Aku dapat berkeliaran tanpa dikenal orang dan memang kulakukan," ujarnya.
Dalam penyamaran itu, Si Bung membeli sate di pinggir jalan. "Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang. Sungguh saat-saat yang menyenangkan."
Dengan begitu, menurut dia, tak seorang pun menaruh perhatian. Jadilah Bung Karno leluasa berputar-putar di tengah-tengah rakyat.
"Kudengarkan percakapan mereka. Kudengarkan mereka berdebat. Kudengarkan mereka berkelakar dan bercumbu kasih. Dan aku merasakan kekuatan hidup mengalir ke seluruh batang tubuhku," katanya.
Bagi Bung Karno, perasaannya terasa amat tenteram kalau berada di antara rakyat.
"Ini kulakukan karena ingin melihat kehidupan ini. Aku adalah kepunyaan rakyat. Aku harus melihat rakyat. Aku harus mendengarkan rakyat. Dan bersentuhan dengan mereka…mereka adalah roti kehidupan bagiku," cerita Bung Karno seperti ditulis Cindy Adams dalam bukunya.
Suatu waktu, penyamarannya ketahuan.
Ceritanya, suatu malam Si Bung pergi ke kawasan Senen. Jalan-jalan di sekitar gudang kereta api.
Karena sedang ada pembangunan, Si Bung bertanya kepada seorang laki-laki, "dari mana diambil batu bata ini dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?"
Belum lagi lelaki itu sempat menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan perempuan. "Heee…" perempuan itu histeris. "Itu suara Bapak…ya…suara bapak…he…orang-orang, ini bapak….bapak…"
Ketahuan. Suaranya dikenali rakyat. Sejurus kemudian, rakyat langsung saja berkerumun.
Dengan cepat, komisaris polisi berpakaian preman itu, "membawaku keluar dari situ, masuk mobil kecil kami dan menghilang," kenang Bung Karno. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Hutang Budi Bung Karno pada Pelacur
Redaktur & Reporter : Wenri