jpnn.com, JAKARTA - Munculnya kasus desa fiktif atau desa siluman dengan adanya transfer yang tidak wajar dari APBN ke desa-desa baru yang tidak berpenghuni terus mengelinding. Kendati belum diungkap secara terperinci jumlah, nama ataupun lokasi desa-desa siluman tersebut, namun setidaknya sebagian berada di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Menurut politikus PDIP sekaligus Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, desa fiktif ini merupakan puncak gunung es dari permasalahan Dana Desa yang makin meningkat.
BACA JUGA: Ssttt...Benarkah Ada Dana Siluman di RAPBN 2016?
Dia berharap temuan tersebut harus menjadi momentum yang tepat untuk memperbaiki pengelolaan Dana Desa pada awal periode pemerintahan baru.
Hal ini penting agar uang pajak rakyat yang disetor ke APBN benar-benar dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di pedesaan.
BACA JUGA: Kasus Desa Fiktif, Ini Langkah yang Dilakukan Kemendagri
“Saya kira, munculnya desa siluman ini menjadi momentum memperbaiki manajemen pengelolaan dana desa agar tepat sasaran,” ujar Said di Jakarta, Senin (11/11).
Isu desa siluman ini pertama kali disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Berdasarkan laporan yang diterimanya, banyak desa baru tak berpenduduk yang dibentuk agar bisa mendapat kucuran dana desa secara rutin tiap tahun.
“Kami mendengar beberapa masukan karena adanya transfer ajeg dari APBN sehingga sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya, hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa),” ujar Sri Mulyani di depan anggota Komisi XI DPR, Jakarta.
BACA JUGA: Wagub Jatim Dorong Kades Alokasikan Dana Desa untuk Turunkan Angka Stunting
Kementerian Dalam Negeri mengaku desa-desa fiktif di Konawe sudah teridentifikasi sejak pertengahan tahun ini. Komisi Pemberantasan Korupsi yang membantu Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara menemukan 56 desa yang diduga fiktif.
Alokasi dana desa yang terus meningkat hingga mencapai Rp900 juta per desa tahun ini memang sangat menggiurkan.
Program Dana Desa yang dilakukan sejak tahun 2015, sudah menjangkau 74.954 Desa di seluruh Indonesia, terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2015 alokasi Dana Desa dianggarkan sebesar Rp 20,8 triliun, kemudian pada tahun 2016 meningkat menjadi Rp46,9 triliun, pada tahun 2017 dan 2018 meningkat menjadi Rp 60 triliun, pada tahun 2019 untuk 74.597 desa. Tahun depan, alokasi naik menjadi Rp72 triliun.
Praktis, dalam lima tahun terakhir, alokasi Dana Desa sudah dialokasikan sebesar Rp257 triliun.
Said mengatakan, munculnya desa fiktif ini tidak boleh dianggap sebelah mata. Karena itu, persoalan ini harus dituntaskan lantaran dana desa itu berasal uang pajak rakyat yang disetor ke APBN.
“Saya mengapresiasi langkah Kementerian Keuangan yang segera melakukan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) serta Kepolisian, untuk menelusuri Desa Siluman dan jumlah Dana Desa yang sudah mengalir ke desa-desa. Memang, perlu segera mengambil langkah-langkah preventif dan penindakan,” jelasnya.
Politikus senior PDIP ini menjelaskan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, tidak bisa dilepaskan dari keinginan Negara untuk memperkuat peran dan fungsi Desa dalam mata rantai pembangunan.
Tujuannya antara lain meningkatkan pelayanan publik di desa, mengentaskan kemiskinan, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar-desa serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Hal ini menggambarkan adanya keinginan kuat untuk mempercepat pembangunan ekonomi, tidak hanya pembangunan fisik tetapi juga pemberdayaan masyarakat desa guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.
“Dana Desa ini dianggarkan setiap tahun dalam APBN yang diberikan kepada setiap desa sebagai salah satu sumber pendapatan desa,” urainya.
Kebijakan ini, menurut Said sekaligus mengintegrasikan dan mengoptimalkan seluruh skema pengalokasian anggaran dari Pemerintah kepada desa yang selama ini sudah ada.
“Oleh sebab itu, perlu ada regulasi yang memperjelas fungsi dan kewenangan Desa yang pada ujungnya melahirkan kebijakan penataan dan pengaturan mengenai Desa,” terangnya.
Lebih lanjut, Ketua DPP PDI P Bidang Perekonomian ini mengatakan terdapat beberapa langkah yang bisa digunakan untuk meminimalisasi penyelewengan Dana Desa.
Pertama, memperkuat pengawasan yang dilakukan aparat Pemerintahan diatasnya, mulai dari Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat. Kedua, memperkuat database mengenai pengelolaan Dana Desa yang bisa digunakan untuk monitoring keberadaan Dana Desa. Ketiga, meningkatkan partisipasi publik dalam mengawasi pengelolaan Dana Desa.
“Dan Keempat, memberikan reward dan punishment dari Pemerintah terhadap pengelolaan dana desa dalam bentuk Dana Insentif Desa,” ucapnya.
Selain itu, peran dan fungsi DPR dalam mengawasi pelaksanaan Dana Desa perlu lebih dioptimalkan. Pengawasan yang dilakukan DPR bisa lebih efektif, mengingat tugas dan kewenangan DPR yang bisa menelusuri penggunaan dana APBN dalam seluruh sektor.
“Ke depan DPR harus lebih proaktif dalam mengawasi penggunaan Dana Desa, sehingga bisa mengantisipasi penyelewengan Dana Desa lebih dini, mengingat persetujun alokasi Dana Desa dilakukan oleh DPR bersama Pemerintah dalam Transfer Daerah dan Dana Desa (TKDD),” pungkasnya.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich