Saksi Sebut BLT Migor dari Anggaran Lama, Dikucurkan Imbas Lonjakan Harga CPO

Rabu, 19 Oktober 2022 – 13:12 WIB
Sidang perkara dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta merembet ke persoalan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 6 triliun. ILUSTRASI. FOTO: Pixabay.com

jpnn.com, JAKARTA - Sidang perkara dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta merembet ke persoalan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 6 triliun.

Kebijakan itu, disebut-sebut ikut dihitung menjadi kerugian negara yang disebabkan oleh para eksportir CPO dan minyak goreng, lebih memilih melakukan ekspor, ketimbang menyalurkannya di dalam negeri.

BACA JUGA: Hmm, Utusan Airlangga Disebut Bertemu Anthony Salim Cs di Singapura saat Migor Langka

Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kemensos Mira Riyanti Kurniasih mengatakan harga migor di pasar domestik yang tinggi kala itu, tak terlepas dari melonjaknya harga minyak sawit dunia di pasar internasional.

Untuk meringankan beban masyarakat, sesuai arahan presiden pada 1 April 2022, pemerintah memutuskan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) yang akan diberikan kepada 20,5 juta KPM, penerima bantuan pangan nontunai, dan penerima program keluarga harapan.

BACA JUGA: Eks Pejabat Kemendag Sebut Produsen Migor Turut Membantu Atasi Kelangkaan

“Seperti itu. Sudah dimulai dari April (2022) kami realisasikan BLT untuk migor,” kata dia dalam persidangan pada Selasa (18/10).

Dia menjelaskan anggaran untuk BLT diambil dari pos bansos secara umum yang sudah dialokasikan dalam APBN sejak November 2021. Menurut dia, anggaran ini ada jauh sebelum ada kenaikan harga dan kelangkaan migor.

BACA JUGA: Sidang Kasus Migor, Togar Keberatan Disebut Ikut Patungan Beri Uang Lembur

“Sebenarnya itu diambil dari anggaran kami. Kami, kan, punya angggaran bansos, sejak November 2021. Dianggarkan untuk program reguler. Kami ini, sebelum ada BLT migor, sesuai tugas dan fungsi Kemensos memang punya program BPNT dan program keluarga Harapan. Seperti itu,” jelas Mira.

Ia memastikan tidak anggaran khusus yang secara dadakan diadakan untuk BLT migor. “Jadi, saat itu kami gunakan anggaran yang ada dulu untuk menindaklanjuti arahan presiden,” kata dia.

Terkait dengan nilai BLT yang diberikan sebesar Rp 300 ribu dalam tiga bulan atau Rp 100 ribu per bulan per penerima manfaat, Mira menjelaskan bantuan tersebut tidak khusus ditujukan hanya untuk membeli migor. Namun, juga kebutuhan pokok yang lain karena terimbas inflasi pangan dari migor.

“Sebelumnya mereka sudah mendapatkan program BPNT (bantuan pangan nontunai), tetapi dirasakan kurang, maka itu ditambahkan. Terkait program tadi, istilahnya BLT Migor,” tuturnya.

Seperti diketahui, Kementerian Keuangan memutuskan menambah jumlah penerima BLT minyak goreng menjadi 20,65 juta dari sebelumnya 20,5 juta penerima. Adapun penerima 20,65 juta ini berasal dari data termutakhir penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan bansos pangan yang tercatat di Kementerian Sosial (Kemensos).

Selain dari yang terdaftar di Kemensos, BLT minyak goreng juga diberikan kepada Pedagang Kaki Lima Warung (PKLW) yang berjumlah 2,5 juta penerima. Total penerima BLT minyak goreng menjadi 23,25 juta orang.

Adapun anggaran yang disiapkan sebesar Rp 6,2 triliun untuk yang ada di bawah Kementerian Sosial dan Rp 750 miliar untuk penerima PKLW. Dengan demikian total anggarannya menjadi 6,95 triliun. Untuk penyaluran BLT minyak goreng kepada PKLW, pemerintah menugaskan TNI/Polri untuk melakukannya kepada seluruh daerah di Indonesia.

Penasehat Hukum Komisaris Wilmar Nabati Master Parulian Tumanggor, Juniver Girsang mengatakan kesaksian dari Mira ini menegaskan tak ada kerugian negara dalam perkara yang membelit kliennya. Dia menegaskan, sebaliknya kesaksian ini menegasikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Kesaksian ini jelas menegaskan, negara hadir bagi warganya yang membutuhkan bantuan, bagi fakir miskin juga tentunya. Yang juga kami cermati bahwa kesaksian ini menegaskan tidak ada kerugian negara dalam perkara klien kami. Dan, tidak ada juga uang negara masuk ke pundi-pundi klien kami. Jelas ini menegasikan dakwaan JPU terhadap klien kami," ujar Juniver Girsang.

Juniver menambahkan dalam kasus justru kliennya merugi akibat kebijakan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sekaligus pemenuhan DMO. Nilai kerugian Wilmar Nabati diklaimnya sekitar Rp 1,5 triliun. Kerugian ini didapat lantaran perusahaan dipaksa untuk menjual harga migor di bawah harga keekonomian, bahkan di bawah harga produksi.

"Jadi, malahan terbalik, dalam hitungan kami sudah sampaikan dalam eksepsi, hitungannya detail secara ekonomi dan kemudian aktual. Bukan direka-reka," imbuhnya. (tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sidang Lanjutan Kasus Migor, Saksi Ungkap Usul DMO 20 Persen dari Dirjen Daglu


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler