jpnn.com, JAKARTA - Lembaga tinggi negara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus menjadi bagian penguatan sistem presidensial pada periode 2014-2019.
Anggota MPR Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan saat ini masih ada berbagai masalah dalam sistem tata negara terkait kebijakan dan kekuasaan kepala negara.
BACA JUGA: Para Bos Partai Politik, Simak nih Penjelasan Fahri Hamzah
Menurut Saleh, kekuasaan besar masih ada pada presiden dibanding lembaga lainnya. "Presiden kalau dari sisi legislasi memiliki kewenangan 50 persen dalam pembuatan Undang-Undang di negeri kita," kata Saleh dalam diskusi Empat Pilar MPR bertajuk "Peran MPR dalam Memperkuat Sistem Presidensial" di gedung parlemen, Jakarta, Jumat (5/7).
Selain itu, kekuasaan presiden juga mencakup sejumlah hal genting misalnya menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
BACA JUGA: MPR Gelar Sosialisasi Empat Pilar bagi WNI di Negeri Superpower
Wakil ketua Komisi IX DPR itu menuturkan, evaluasi ketatanegaraan harus dilakukan termasuk yang terkait hubungan antarlembaga yang berkenaan dengan sistem presidensial saat ini.
Menurut dia, dalam beberapa pembahasan UU kerap menemui permasalahan antara DPR dan pemerintah. Terlebih lagi jika UU itu dianggap memiliki konflik kepentingan dengan pemerintah.
BACA JUGA: Pimpinan MPR RI: Pembelahan di Masyarakat Harus Segera Dituntaskan
Saleh mencontohkan, periode lalu pembahasan UU PMI yang tidak selesai hanya karena persoalan lambang. Menurut dia, tidak ada kesepakatan DPR dengan pemerintah apakah lambangnya menggunakan tanda plus atau tambah, atau bulan sabit merah. "Kalau DPR sudah ingin segera selesai, tetapi di pemerintah tidak selesai-selesai karena ada konflik kepentingan," kata Saleh.
Pemerintah kata dia, juga memilki kekuasaan yang besar dalam bidang anggaran. Saleh mengatakan DPR di Indonesia tidak sekuat parlemen di Amerika. Ketika pembahasan mengenai APBN, DPR tidak bisa mengkritisi ataupun mengubah anggaran yang diajukan oleh pemerintah.
Menurut dia, DPR hanya bisa menguliti hal yang bersifat umum saja, tetapi dari sisi alokasinya jarangan sekali diubah. "Ini karena pemerintah memiliki hak kewenangan yang cukup besar," jelasnya.
Lebih lanjut, Saleh menuturkan bahwa untuk memperkuat peran MPR dalam sistem presidensial, maka UUD NRI 1945 harus segera di Amendemen.
Hanya saja, lanjut dia, sebelum amandemen UUD, MPR harus memperbaiki aspek ketetapannya terkait hubungan antarlembaga yang ada di Indonesia.
Anggota MPR Fraksi PKB Abdul Kadir Karding mengatakan hasil amandemen UUD beberapa waktu lalu, telah banyak memberikan perubahan terhadap kontruksi ketatanegaraan. Dia menyatakan pada zaman Soeharto, kekuasaan eksekutif sangat dominan, tetapi sudah tidak lagi demikian. Karding berpendapat sekarang kekuasaan presiden dan lembaga lainnya berimbang.
"Jadi, saya kira UU sekarang ini lebih berimbang, tidak seperti dulu. Dari sisi kekuatan dalam pembagian kewenangan antara legislatif dan eksekutif pun jauh lebih baik," kata Karding di kesempatan itu.
Menurutnya, dalam sistem presidensial, presiden memiiki posisi yang relatif kuat dan tidak mudah dijatuhkan. Mantan sekjen PKB itu menyatakan, meski posisinya kuat, masih ada mekanisme untuk mengontrol jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara dan terlibat kriminal.
"Siapa yang menentukan itu semua diatur oleh UUD. Itulah manivestasi yang disebut negara hukum, negara yang berdasarkan pada UUD," ungkap Karding. Menurut Karding, sekarang ini yang perlu diperbaiki adalah sistem check and balance.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Ujang Komarudin mengatakan ketika di dalam sistem presidensial, presiden sangat powerfull maka ini yang membuat parlemen dalam konteks tertentu sulit bekerja sama dengan eksekutif.
Salah satunya, kata Ujang, dapat dilihat dari keluhan dalam persoalan penyelesaian UU. "Banyak yang tidak terealisasi atau tidak terselesaikan karena mohon maaf dalam konteks tertentu pemerintahnya juga agak sulit dan agak malas-malasan," paparnya.
Menurut dia, ketika kekuasaan presiden besar, legislatif dalam konteks tertentu memang agak kesulitan mengontrol dan mengawasi.
Dia berharap dalam sistem presidensial, kekuasaan besar tidak digunakan sebagai alat untuk menguatkan kelompok tertentu dan melemahkan yang lain. "Yang penting bagaimana adanya check and balance dalam pemerintahan sehingga negara menjadi stabil," katanya.
Lebih lanjut, Ujang mengatakan MPR tidak akan bisa berbuat apa-apa, kalau UUD tidak diamandemen. Dalam konteks ketatanegaraan hari ini, MPR sama levelnya dengan DPR, presiden, MA, MK, BPK. Kondisi ini berbeda sebelum amandeman UUD, MPR merupakan lembaga tertinggi negara.
"Karena itu ketika MPR ingin memiliki kewenangan yang besar atau ingin mengembalikan kepada UUD asli, tentu harus ada amendemen," jelasnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pancasila: Ideologi Jalan Tengah
Redaktur : Tim Redaksi