Salut..Pak Polisi Gendong Siswa Seberangi Sungai

Selasa, 14 Februari 2017 – 20:31 WIB
Banjir

jpnn.com - jpnn.com - Sebanyak 140 kepala keluarga di Dusun Curahrejo, Desa Curahtakir, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jatim terisolasi.

Parahnya, hal itu sudah terjadi puluhan tahun.

BACA JUGA: Pasuruan Kebanjiran, Bu Mensos Datang Bawa Bantuan

Warga desa berkali-kali melapor ke aparat desa, tetapi belum mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah.

Warga pun pasrah. Selama ini, mereka membuat jembatan darurat dari bambu dan kayu. Namun, umurnya tidak lama karena terseret saluran air.

BACA JUGA: Tahun Ini Fokus 3 Titik Banjir

Berdasar penelusuran Jawa Pos Radar Jember, ratusan KK tersebut berada di RT 03 dan 04, RW 024, Dusun Curahrejo.

Mereka berada di timur sungai. Untuk menuju ke barat (arah Kota Tempurejo), mereka harus menyeberangi sungai.

BACA JUGA: Korban Banjir Mengapung di Bengawan Solo

Nasib nahas tersebut berimbas kepada siswa sekolah. Mulai siswa TK hingga SMA yang rumahnya di timur sungai.

Setiap hari mereka harus rela menyeberangi sungai yang lebarnya sekitar 20 meter itu.

Setiap hari pula para orang tua harus mengantar anaknya ke seberang sungai.

Bahkan, anak usia TK dan kelas II SD harus diseberangkan orang tuanya agar tidak terseret arus sungai.

"Memang, sungai yang memisahkan RT 01, 02, dan 03 itu cukup lebar dan dalam. Apalagi, kalau musim hujan, bisa dipastikan banyak siswa yang memilih libur," terang Sarimanto, kepala Dusun Curahrejo.

Berkali-kali pihaknya bersama warga membuat jembatan lewat dana swadaya, tapi tidak lama sudah terseret banjir.

"Kalau hujan deras, sungai Takir banjir. Empat kali kami membuat jembatan dari bambu dan kayu," ujarnya.

Menurut Sarimanto, 140 KK dari dua RT di timur sungai Takir tersebut benar-benar terisolasi.

"Karena kalau mau ke Tempurejo atau Jember, harus menyeberangi sungai lebih dulu. Dusun Curahrejo dikelilingi gunung, posisi kami berada di tengah gunung," jelasnya.

Dia meminta pemerintah daerah segera membantu warga yang sudah puluhan tahun terisolasi.

"Apalagi, kalau hujan cukup deras, sungai akan banjir dan batu besar menutupi jalan yang setiap hari dilewati," ujarnya.

Sarimanto melihat banyak siswa yang setiap hari harus membuka sepatu untuk menyeberangi sungai.

Kemudian, mereka memasang sepatu kembali setelah sampai di seberang.

"Hal itu terlihat setiap berangkat dan pulang sekolah. Kalau sungai sudah meluap, siswa TK, SD, SMP, dan SMA memilih libur karena takut menyeberang," jelasnya.

Menurut Sarimanto, pernah ada warga yang terseret arus sungai saat pulang kerja di hutan.

Untung, ada warga sekitar yang mengetahui kejadian tersebut.

Korban pun berhasil diselamatkan. Bukan hanya warga dan siswa yang mau sekolah, pedagang sayur keliling (wlijo) yang ingin menjual dagangan ke timur juga harus melewati sungai.

Syamsi, 38, warga RT 03, setiap hari harus mengantar Ahmad Dhani, putranya, yang masih duduk di kelas II SDN Curahtakir 06 dengan digendong.

"Karena kalau dibiarkan berangkat sendiri, takut terseret arus sungai. Sebelum kerja di hutan, saya harus mengantarkan anak," ujarnya.

Pekerjaan mengantar dan menjemput anak ke sekolah tersebut tidak hanya dilakukan Syamsi.

Para orang tua siswa lainnya pun melakukan hal yang sama.

Sementara itu, Brigpol Agus Sugiarto, 31, anggota Polsek Tempurejo yang rumahnya berada di pinggir sungai Takir, menjelaskan hampir setiap pagi dia membantu menyeberangkan siswa SD.

Dia juga kerap turun ke sungai untuk menggendong anak-anak yang perlu diseberangkan.

Agus yang juga Babinkamtibmas Desa Curahtakir harus naik turun sungai sebelum berangkat dinas.

Sementara itu, Bonari Untung, kepala SDN Curahtakir 06 Desa Curahtakir, Kecamatan tempurejo, menyatakan, jika sungai meluap setelah hujan deras, dia mengizinkan siswa mulai kelas I sampai kelas VI untuk tidak masuk sekolah.

"Saya tidak mau anak didik saya menjadi korban karena terseret arus saat menyeberangi sungai," ujarnya.

Bahkan, jika cuaca mendung, para siswa yang rumahnya di timur sungai boleh pulang lebih awal.

"Kalau sudah hujan, biasanya air sungai besar. Apalagi, banyak orang tua yang bekerja di hutan. Takutnya, air datang secara tiba-tiba,"

Saat banjir, banyak siswa yang rumahnya di RT 03 dan 04 yang tidak masuk sekolah.

Sebab, akses menuju sekolah hanya bisa dilakukan dengan menyeberangi sungai tersebut.

Dia berharap pemkab segera membuatkan jembatan alternatif agar pendidikan bisa berjalan normal.

Jembatan tersebut sangat penting untuk anak-anak yang bersekolah agar tidak banyak yang absen.

Selama ini, tidak ada siswa yang hanyut karena diantar orang tua.

Namun, jika orang tua sudah pergi ke hutan, anggota polsek yang rumahnya di pinggir sungai selalu siap menyeberangkan siswa mulai pagi.

"Terkadang, ada siswa TK yang digendong karena ibunya hanya mengantar ke sungai," kata Untung yang sudah puluhan tahun menjadi kepala sekolah di SDN Curahtakir 06. (jum/hdi/c21/ano/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Daftar Daerah Ini Wajib Waspada Banjir Bengawan Solo


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
banjir  

Terpopuler