Samin Tan Divonis Bebas, Jaksa KPK Langsung Menyatakan Kasasi

Senin, 30 Agustus 2021 – 17:20 WIB
Pengusaha pertambangan Samin Tan keluar dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, 6 April 2021. KPK menahan Samin yang menjadi tersangka suap pengurusan terminasi kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Foto: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Tim Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) tidak terima atas vonis bebas yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk Samin Tan.

Jaksa KPK menyatakan kasasi atas vonis bebas terdakwa Samin Tan tersebut.

BACA JUGA: Samin Tan Jadi Pesakitan, Nama Mekeng dan Jonan Muncul di Surat Dakwaan

“Kami menyatakan kasasi," kata Jaksa KPK Ronald Ferdinand Worotikan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/8). 

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membebaskan Samin Tan dari dakwaan pemberian gratifikasi Rp 5 miliar kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019.

BACA JUGA: KPK Tahan Bos Borneo Lumbung Energy and Metal Samin Tan

Menurut Ronald, JPU KPK menghormati putusan hakim tersebut. 

Namun demikian, pihaknya akan mengajukan kasasi setelah mendapat salinan putusan majelis hakim nanti. 

BACA JUGA: Jaksa KPK Setorkan Denda Eni Maulani dan Leonardo Jusminarta

"Setelah JPU mendengar putusan majelis hakim, tentunya kami tetap menghormati putusan majelis hakim yang telah membebaskan terdakwa, namun perlu dicermati dan tentunya nanti akan kami tuangkan dalam memori kasasi setelah mendapat putusan majelis hakim," kata Ronald seusai sidang. 

Majelis hakim yang terdiri dari Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono, dalam pertimbangannya menyatakan perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Padahal, Eni Maulani Saragih dijerat Pasal 12 B yang mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan penerimaan gratifikasi ke KPK.

"Yang kami tangkap tadi, kan, sudah dinyatakan ada pemberian uang dari Samin Tan, hanya saja menurut majelis hakim pemberian itu tidak bisa dipidana,” kata Ronald. 

Tentunya, kata dia, sebelum menjerat yang bersangkutan, jaksa telah mencermati perkara-perkara pemberian yang sudah pernah diputus. 

“Seperti dalam perkara tipikor Gayus Tambunan, pemberian kepada anggota DPRD Tanggamus, sudah terbukti. Ini akan kami muat dalam memori kasasi," kata Ronald.

Yadi Noviadi Yusuf, penasihat hukum Samin Tan, mengatakan sependapat dengan hakim bahwa pemberi gratifikasi tidak bisa dipidana. 

"Alhamdulillah, dari awal argumentasi hukum kami kuat terutama terkait gratifikasi. Sebenarnya simple, apakah pemberi gratifikasi bisa dipidana atau tidak, kan ,hukum pidana ada aspek legalitas, kalau belum ada hukum pidana berarti belum boleh dipidana, itu kami perkuat," kata Yadi Noviadi Yusuf.

Dia juga mengaku awalnya terkejut dengan putusan hakim yang membebaskan kliennya.

"Terima kasih majelis hakim mendengar itu membaca putusan bebas. Jujur kami terkejut, ya, tetapi karena hakim berani menerima argumentasi kami, kami pakai akademisi, tidak praktisi, kami lebih menerangkan bagaimana sifat melawan hukum. Kita tunggu saja nanti upaya hukum dari jaksa," ungkap Yadi.

Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan Pasal 12 B bukan merupakan delik suap tetapi delik gratifikasi, maka sangat tidak mungkin dalam gratifikasi itu mengancam pidana bagi yang memberikan.

"Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," kata Hakim Anggota Teguh Santoso.

Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Eni Maulani karena tidak melaporkan gratifikasi yang dia terima.

"Sifat melawan hukum penerimaan gratifikasi ini ada dalam diri si penerima bukan dalam diri si pemberi. Sikap melawan hukum ini ditunjukkan kepada penerimanya hal inilah yang membedakan antara gratifikasi dan suap," ungkap Hakim Teguh.

Delik gratifikasi, kata hakim, menjadi sempurna ketika penyelenggara negara tersebut yaitu Eni Maulani Saragih tidak melaporkan menerima sesuatu dalam waktu 30 hari sejak pemberian sesuatu diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B.

"Menimbang, karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka dikaitkan dengan Pasal 1 Ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," jelas hakim.

Sementara, dalam putusan  PN Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor: 100/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Jkt Pst tanggal 1 Maret 2019,  Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun penjara, denda Rp 200 juta, subsider dua bulan kurungan ditambah kewajiban  membayar uang pengganti Rp 5,87 miliar dan SGD 40 ribu, karena terbukti menerima Rp 10,35 miliar, SGD 40 ribu, salah satunya menerima gratifikasi dari Samin Tan sejumlah Rp 5 miliar. (antara/jpnn) 

 

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler