Santoso, Dengarlah Harapan Keluarga di Lereng Sumbing Ini

Kamis, 14 April 2016 – 10:40 WIB
Ahmad Basri (kiri) warga di Desa Adipuro, Kaliangkrik, Kabupaten Magelang yang masih saudara sepupu Santoso (kanan). Foto: Radar Kedu/JPG

jpnn.com - MAGELANG - Nama Santoso alias Abu Wardah yang kini menjadi komandan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) berada di puncak teratas buronan yang dicari aparat keamanan. Di tengah upaya aparat memburu Santoso, pihak keluarga pun berharap agar pria yang memimpin kelompok militan itu segera  menyerahkan diri.

Keluarga Santoso di lereng Gunung Sumbing, Jawa Tengah memiliki harapan besar agar ia bisa kembali ke keluarga. Ada tiga hal yang selalu diharapkan keluarga terhadap terduga pimpinan teroris itu. Yakni agar Santoso segera sadar, menyerahkan diri dan bertobat.

BACA JUGA: Nah Lho, Gubernur Kalbar Didatangi Komnas HAM

Ahmad Basri (43), sepupu Santoso mengatakan, pihak keluarga sangat berharap bisa kembali berkumpul bersama-sama dengan tenang. “Setiap setelah salat, saya selalu berdoa agar Santoso bisa segera sadar, lalu meneyerahkan diri.  Baru kemudian Santoso bisa bertobat. Tapi doa saya yang pertama itu sadar terlebih dahulu,” katanya saat ditemui di Desa Adipuro, Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Selasa (12/4).   

Basri menuturkan, orang tua Santoso, Irsan dan Rumiyah merupakan warga asli Kaliangkrik. Namun, mereka memutuskan transmigrsi ke Palu, Sulawesi Tengah, pada 1970 silam. “Saat itu orang tuanya tengah mengandung kakak perempuan Santoso,” ujar Basri.

BACA JUGA: Kisah Heroik Veteran Perang tentang Bela Negara

Saat orang tua Santoso bertransmigrasi ke Sulawesi pada 1970 itu, Basri memang belum lahir. Dengan demikian, ia tidak mengetahui secara pasti kehidupan Santoso sejak kecil.

Menurutnya, sepupunya itu lahir di Sulawesi. Ia pernah bertemu saat Santoso pulang ke keluar-anya di Kaliangkrik. “Waktu itu, ia pulang ke sini setelah lulus SMA,  sekitar tahun 1998 silam,” tuturnya.

BACA JUGA: Penerbitan Paspor Buruh Migran Indonesia Minim

Santoso datang ke Desa Adipuro bersama ayahnya untuk bersilaturahmi dengan keluarganya.  Selain itu, ia juga menjual warisan dari  ayahnya. Lahan dengan ukuran 9 × 6 meter laku dijual dengan harga Rp 1,5 juta.  Uang itu digunakan untuk biaya transportasi Santoso Rp 500 ribu.

“Kemudian Rp 1 juta sisanya dikirim selang beberapa waktu.  Saya sendiri yang kirim waktu itu. Santoso pulang ke Sulawesi, sementara ayahnya pulang ke Sumatera di tempat anaknya yang perempuan,” ungkapnya.

Basri mengenang saat bertemu dengan Santoso sebenarnya tidak ada hal yang aneh. Waktu itu Santoso juga sempat men-galami masa-masa nakal seperti umumnya anak muda. Namun, kenakalan itu masih dalam batas kewajaran.

Selang beberapa tahun setelah Santoso kembali ke Sulawesi, Basri sudah tidak lagi menghubunginya. Ia justru kaget ketika beberapa bulan belakangan ada aparat kepolisian menemui keluarganya di Desa Adipuro yang berada di ketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu.

Beberapa kali aparat mengunjungi desanya. Petugas juga menanyakan perihal kehidupan Santoso sejak kecil. “Kelurga di sini baru tahu sekitar dua bulan lalu ketika ada polisi yang mencari tahu informasi tentang Santoso. Saya tidak menduga sebelumnya,” urai Basri.

Karenanya ia  mengaku pusing setelah beberapa kali dikunjungi aparat. Meski hanya sebatas dimintai keterangan, hal itu tetap menjadi ganjalan tersendiri di pikirannya.

“Sekitar tiga kali mereka ke sini menanyakan Santoso. Saya pusing,” ucapnya.

Kepala Desa  Adipuro, Waluyo menjelaskan, pemerintah desanya tidak begitu paham soal kehidupan Santoso.  Pihaknya baru tahu bahwa Santoso merupakan terduga teroris setelah ada anggota polisi yang datang ke desanya. Tujuannya mencari tahu informasi terkait kegiatan Santoso.

“Orang tuanya memang asli Kaliangkrik. Tapi Santoso tidak lahir di sini. Mereka transmigrasi pada 1970 silam,” katanya.

Orang tua Santoso sebenarnya biasa saja. Artinya sama seperti warga umum lainya.

Sepengetahuan Waluyo, pada 1998 lalu Santoso memang pernah berkunjung ke desanya. Tapi setelah itu tidak ada kabarnya lagi.

Waluyo  menjelaskan, desanya merupakan wilayah yang tergolong religius. Dari total penduduk 3.325 jiwa, 100 persen beragama Islam.

Di Desa Adipuro terdapat dua pondok pesantren. Bahkan, Waluyo mengatakan, ada sekitar 30 warganya yang sudah hafal Alquran.

“Desa Adipuro hanya terdiri atas dua dusun. Yaitu Prampelan I dan II. Warga mayoritas bekerja sebagai petani,” urainya. 

Santoso dan kelompoknya kini tengah dikepung aparat di salah satu hutan di Pegunungan Biru, di wilayah Poso, Sulawesi Tengah. Satuan Tugas Operasi Tinombala terus mengejar kelompok Santoso. (laz/ty/JPG/ara/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenapa jadi Begini Nasibku, Sayang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler