Santri Terpaksa Mengaji Diiringi Dangdut Koplo

Rabu, 08 Oktober 2014 – 22:13 WIB

jpnn.com - DUA tahun lalu, Kaltim Post (JPNN Grup) menurunkan laporan tentang pesantren yang berdampingan dengan lokalisasi pelacuran. Nyaris tiada perubahan hingga sekarang.

ARIF BILLAH-FELANANS M, Tenggarong

BACA JUGA: Dan Penjual Hewan Kurban yang Satu Ini Pun Bersedih

Jalur ganda berpermukaan tanah keras terbentang di depan Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan. Jalan itu mengambil nama seorang tokoh pemerintahan yang sudah dipampang di pelang besi berwarna hijau. Memiliki lebar delapan meter, Jalan Abdullah Sani di Desa Bangun Rejo, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, itu punya dua fungsi.

Dari poros Samarinda-Sebulu, jalur sebelah kiri khusus buat kendaraan tambang batu bara. Sementara jalan umum berdiri di sebelahnya. Sekitar 500 meter dari jalan poros, pondok pesantren dengan pekarangan luas ini berdiri.

BACA JUGA: Tulang Punggung Keluarga, Operasi Payudara di Thailand

Pesantren Nahdlatul Wathan yang memiliki madrasah sanawiah dan aliah, pindah ke lokasi ini pada 1996. Lahan mereka sebelumnya, sekira 2 kilometer dari sini, ditambang oleh PT Kitadin. Lewat proses tukar guling, pesantren akhirnya berdiri di lokasi sekarang. Pesantren berdiri di atas lahan dua hektare. Dilengkapi pondokan asrama putra dan putri. Sebagian besar bangunan berbahan kayu.

Masih pada 1996, bermunculan rumah bordil tak jauh dari pesantren. Hanya perlu setahun untuk menjadi kompleks pelacuran “beranggotakan” puluhan rumah. Celakanya, jalan masuk ke pesantren kala itu harus melewati kompleks.

BACA JUGA: Sudah Lama Berkawan dengan Orang Utan

Empat tahun lamanya, para pengajar dan santri mesti melintasi rumah penjaja kenikmatan. Ketua Yayasan Pendidikan Ponpes Nahdlatul Wathan, Habib Yakub pernah bercerita, para santri sangat risi melintasi lokalisasi.

Kerisian itu berakhir tatkala akses di sisi lain pesantren dibuka pada 2000. Namun, kehadiran lokalisasi yang hanya 20 meter dari pesantren masih menyisakan banyak cerita.

Kaltim Post telah menurunkan laporan tentang kerisihan pesantren, 30 Juli 2012 silam. Sepanjang dua tahun terakhir, tidak ada upaya menyelesaikan persoalan. Baru kemarin (7/10), tim gabungan bernama Gugus Tugas menginspeksi lokalisasi yang sering disebut Simpang Tiga Kitadin.

Tim terdiri atas instansi Pemkab Kukar seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan Dinas Perhubungan. Ada pula Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Polres Kukar dan jajaran Polda Kaltim.

Sidak dipicu kerawanan di beberapa lokalisasi yang diduga menjadi tempat perdagangan manusia (trafficking). Termasuk anak di bawah umur.

Ketua Tim Gugus Tugas Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak Kaltim, Hardiana Muriani, mengatakan sidak ini sudah yang kesekian. “Kami kaget karena kami baru tahu ada lokalisasi yang dekat dengan pesantren,” ungkapnya.

Temuan tersebut membuat Hardiana sangat prihatin. Kegiatan di lokalisasi pasti sangat mengganggu aktivitas belajar-mengajar. “Malam hari, pihak pesantren mengaku sering mendengar suara dari lokalisasi. Ini menjadi masukan kami untuk disampaikan kepada pimpinan,” tutur perempuan berkerudung ini.

Sayyidul Ahkam, kiai yang memimpin Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan, telah menceritakan kehidupan pesantren. Ahkam yang mengajar di sini sepulang dari Makkah pada 2008, mengaku terusik dengan ingar-bingar lokalisasi.

Paling mengganggu adalah suara musik tiada henti. Sedari pukul delapan pagi hingga lewat tengah malam. Hampir setiap rumah di lokalisasi dilengkapi peralatan sistem suara jumbo. Pengeras suara ditumpuk setinggi kulkas dua pintu. Mengirim dentuman bas yang pongah untuk membuyarkan konsentrasi belajar para siswa.

Padahal, aktivitas di pesantren dimulai sejak subuh. Kesunyian betul-betul hanya bisa dinikmati ketika tadarus, selepas salat dini hari. Setelah itu, irama berhaluan “Iwak Peyek” dengan hebat menerjang-nerjang sudut-sudut kelas. Tak ada yang terlewatkan.

Suara itu, kata Ahkam, tak kunjung reda ketika kumandang azan. Bahkan ketika mereka mengaji setelah magrib. Guru dan santri setengah mati mengabaikannya. “Sampai akhirnya terbiasa,” kata pemimpin pondok pesantren dengan sekitar 200 santri ini.

Sementara itu, dari hasil sidak tim gabungan, akan dibuat kajian yang dibantu Universitas Mulawarman, Samarinda. Hardiana, ketua tim, membeberkan bahwa pernah ditemukan tiga perempuan di bawah umur yang diperdagangkan lokalisasi ini. Semua berasal dari Pulau Jawa dan sudah dipulangkan.

Kasubbid Perlindungan Anak, Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (BKBP3A) Kukar, Lilis Mardiana, mengatakan bahwa pesantren merupakan milik yayasan.

Bangunan permanen pun mendapat bantuan dari Pemprov Kaltim. Di Simpang Tiga Kitadin, tim turut menemukan anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan di lokalisasi. Kepada orangtua mereka, diminta sang anak tidak tumbuh di lingkungan seperti itu.

“Kalau bisa, lokalisasi yang dipindahkan. Meski jauh, lokalisasi didatangi orang. Sementara pesantren pasti kesulitan dengan lahan,” tegasnya.
Dia melanjutkan, di penjuru Kukar ada beberapa lokalisasi. Selain di Simpang Tiga Kitadin di Tenggarong Seberang, ada rumah bordil di Kecamatan Muara Badak; Muara Kembang di Kecamatan Muara Jawa, serta Kilometer 10 Loa Janan.

Melihat lokalisasi yang tumbuh subur di Kukar, Lilis mengaku miris. “Di Balikpapan sudah tutup, di Bontang juga. Mereka (pekerja seks komersial, Red) banyak yang lari ke Kukar,” ucapnya. (fel/zal/k8)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Dirut Pertamina Kini Bisa Tersenyum Ramah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler