jpnn.com, JAKARTA - Ketua Indonesia Multimoda Transport Association (IMTA) Siti Ariyani merespons saran Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) terkait RUU Revisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) dengan Komisi V DPR RI.
Menurut Siti Ariyani, saran dari APTRINDO yang mengatakan bahwa UU 22 tahun 2009, khususnya Pasal 165 perlu dihapus sangatlah tidak tepat dan keliru.
BACA JUGA: Ciptakan Transportasi Yang Aman, DPD RI Bahas Perubahan UU LLAJ
“Angkutan multimoda merupakan komponen penting dari sistem logistik, karena angkutan barang dalam aktivitas logistik pada umumnya menggunakan lebih dari satu moda transportasi,” jelas Siti Ariyanti, dalam keterangan tertulis, Jumat (10/7).
“Penghapusan ketentuan multimoda karena ketakutan dan keterbatasan pemahaman merupakan setback atau langkah mundur industri logistik nasional dalam menghadapi persaingan global, di mana kekuatan modal, kompetensi, jejaring dan teknologi menjadi kuncinya,” sambungnya.
BACA JUGA: Angkutan Online Desak Revisi UU LLAJ, Ini Kata Pakar
Wakil Ketua IMTA David Rahadian menambahkan, angkutan multimoda telah diatur dalam United Nations Convention On International Multimodal Transport of Goods (1980), dan dalam ASEAN Framework Agreement On Multimodal Transport (AFAMT) (November 2005).
Ilustrasi kegiatan multimoda dari Jakarta ke Habema, Papua. Foto: dok. IMTA
BACA JUGA: DPR Minta Pemerintah Segera Revisi UU LLAJ
Di Indonesia, ketentuan angkutan multimoda diatur dalam PP 8/2011, dan dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 8 tahun 2012.
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 4 dan Pasal 5 dari PP 8/2011, IMTA bertugas untuk menggali dan mempertajam dokumen angkutan multimoda sesuai dengan Standard Trading Condition (STC). IMTA juga berperan aktif untuk memberikan masukan untuk pengembangan Logistik nasional,” ujarnya.
David mengatakan, IMTA juga bergerak di dalam pengembangan organisasi, sumber daya manusia, dan jejaring bisnis dalam ekosistem logistik untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
“Karena itu, menurut saya sangat tidak tepat masukan atau usulan UU 22 Tahun 2009 tentang LLAJ khususnya Pasal 165 tentang pengaturan angkutan multimoda yang mengatakan perlu dihapus,” tuturnya.
Sebab, lanjut David, ini berkaitan dengan pelayanan Angkutan Multimoda, dengan konsep single document, satu dokumen multimoda dari point ke point (door to door) justru memberikan efisiensi, kemudahan, dan kepastian bagi pengguna jasa logistik.
“Keberadaan badan usaha angkutan multimoda sebagai integrator logistik nasional dan ASEAN, tidak mengancam keberadaan usaha angkutan lainnya, dan justru dapat mendorong peningkatan daya saing logistik nasional di kancah internasional, untuk keluar dari bayang-bayang badan usaha angkutan multimoda internasional,” tegas David.
Mengenai birokrasi yang dipermasalahkan, tentunya tidak berpengaruh terhadap usaha lainnya, seperti angkutan darat atau angkutan laut.
Birokrasi tentunya disesuaikan dengan kompleksitas usaha logistik, yang tentunya membutuhkan kompetensi yang lebih kompleks pula.
“IMTA justru hadir untuk mendorong peningkatakan kompetensi dan profesionalisme logistik nasional,” pungkasnya. (mg7/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh