Sastia Pramana Putri, si Cantik Ilmuwan Dispora, Dosen Tetap di Osaka University

Kamis, 22 Agustus 2019 – 16:01 WIB
Sastia Pramana Putri. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com - Sastia Pramana Putri, perempuan berusia 37 tahun, merupakan ilmuwan diaspora yang bekerja di perguruan tinggi ternama di Jepang, Osaka University. Sosoknya bisa dibilang langka. Apalagi di Jepang sangat jarang menemukan ilmuwan perempuan.

Mesya M - Jakarta

BACA JUGA: Penghargaan dari Para Ilmuwan Diaspora untuk Ali Ghufron Mukti

Menurut Sastia, di Jepang hanya 15 persen perempuan yang berkarir dan 10 persennya memiliki keahlian spesifik. Berbeda dengan di Indonesia, 30 persen perempuan berkarir di segala bidang ilmu.

Bagi dosen luar biasa di Institut Teknologi Bandung (ITB,) ini, menjadi tantangan sendiri saat berkarir di Jepang. Dia harus menunjukkan kemampuannya lebih dua kali lipat dari laki-laki. Jika tidak, perempuan tidak dianggap.

BACA JUGA: Rugi Kalau Semua Diaspora Disuruh Pulang Kampung

"Di Jepang itu, laki-lakinya yang sangat menonjol. Sedangkan perempuannya sangat jarang berkarir. Mereka pilih di rumah karena enggak mau belajar bahasa lain selain Jepang. Makanya saya mencari celah bagaimana bisa masuk di area yang tidak bisa dilakukan orang Jepang. Dan akhirnya saya bisa menjembatani hubungan internasional Indonesia-Jepang, maupun Jepang dengan negara lain," beber Sastia yang ditemui JPNN.com dalam kegiatan Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) yang berlangsung dari 18 Agustus hingga 24 Agustus 2019, di Jakarta.

Kepiawaian berkomunikasi perempuan bergelar doktor di bidang bioteknologi ini membuatnya digelari "Dubes" ITB.

BACA JUGA: Menteri Nasir Ingin Diaspora jadi Dosen Tetap di Indonesia

Sejatinya, menjadi ilmuwan bukan cita-cita Sastia. Lulus dari Fakultas Biologi ITB pada Juli 2004, perempuan kelahiran Jakarta itu pergi ke Osaka di Bulan September tahun yang sama. Ke Jepang itu hanya kebetulan karena awalnya begitu lulus dia ingin kerja di bank.

Namun, saat mengerjakan tugas akhirnya sebagai mahasiswa, ada pengumuman dari Unesco PBB tentang program fellowship setahun. Program kerja sama dengan Jepang non-degree (tanpa ijazah) untuk riset bioteknologi.

Sastia memberanikan diri mendaftar dan ikut yang basic course. Tujuannya ingin mendapatkan pengalaman menjadi peneliti. Kebetulan Sastia mendapatkan pembimbing seorang profesor dari Osaka University.

BACA JUGA: Lebih Baik Honorer K2 yang Lulus Rekrutmen PPPK Tahap I Dijadikan PNS

"Dari situ saya kok senang dengan riset. Saya dulu enggak kepikiran S2 dan S3 ke situ (Osaka University). Mikirnya malah kerja di bank atau ambil S2 ekonomi atau apa. Begitu ikut program fellowship setahun, cita-cita saya berubah 180 derajat. Ternyata dunia riset sangat menyenangkan dan Jepang sangat support," kisah ibu satu putri ini.

Beruntung Sastia memiliki profesor yang baik hati. Karena senang dan tertarik dengan potensi Sastia, sang profesor pun menawarkan Sastia beasiswa full S2 dan S3 dari Jepang untuk meneliti tanpa ikatan kerja. Sastia langsung menangkap peluang tersebut dan menetap di Jepang sejak 2006 hingga sekarang.

Sastia yang ahli bioteknologi ini menceritakan, sejak lulus program doktoral di Osaka Jepang 2010, belum langsung mendapatkan pekerjaan. Untuk menjadi dosen, penuh perjuangan dan jalan berliku. Padahal Sastia sangat membutuhkan pekerjaan untuk menopang ekonomi keluarganya.

"Untungnya profesor saya ini baik banget, dia ngerti saya butuh kerjaan. Awalnya dia kayak menampung saja, pas saya tanya tugas saya apa, katanya tugas saya 'urus anakmu'. Saya terharu ini kok baik banget, makanya saya gak mau mengecewakannya. Saya dipekerjakan paruh waktu, makanya saya kerjakan paper, ngecek bahasa Inggris, macem-macemlah," tutur peraih award saintis satu-satunya perempuan di Jepang.

BACA JUGA: Ada Honorer K2 Digaji Rp3,9 Juta, Daerah Lain Rp150 Ribu

Dalam waktu satu tahun itu, Sastia ditawari profesornya mengerjakan proyek kerja sama dengan Amerika. Pekerjaannya full time dan harus sering ke Amerika selama tiga tahun. Namun, Sastia mengalami kendala karena anaknya saat itu baru satu tahun.

Tanpa pikir panjang, Sastia lagi-lagi menerima tawaran tersebut. Dia berpikir kesempatan tidak akan datang dua kali. Di samping bagus juga untuk ekonomi keluarga dan masa depan.

"Saat itu saya sering ke Amerika , akhirnya anak banyak diasuh sama orang tua dan suami saya. Di UCLA Amerika, saya kerja sama dengan seorang profesor Amerika. Itu proyek Jepang dan Amerika, saya jadi project leader. Satu-satunya perempuan yang memimpin laki-laki. Bisa dibayangkan bagaimana memimpin proyek pengembangan biofuel energi terbarukan dengan bugdet gede-gedean," paparnya.

Sastia menghadapi banyak tantangan. Awalnya kemampuannya diragukan. Apalagi Sastia bukan orang Jepang dan perempuan lagi. Mahasiswanya juga kadang memandang Sastia dengan tatapan aneh yang membuatnya keder.

"Tapi begitu saya tunjukkan performance bagus, akhirnya mereka hormat. Memang gak bisa instan. Dari situ akhirnya perjuangan saya membawa hasil," ucapnya.

Sastia menyadari tidak bisa hanya murni performance riset sebab pasti kalah dengan mereka yang laki-laki. Mereka punya waktu lebih banyak di lab, lembur hingga minggu. Beda dengan Sastia yang harus mengurus anak dan lainnya.

Dari situ Sastia terpikir bagaimana memberikan kontribusi yang tidak bisa dikerjakan orang Jepang. Akhirnya dia pilih untuk lebih banyak meng-handle kerja sama internasional. Misalnya kerja sama Indonesia dengan Jepang, mengurus doble degree.

Kerja keras Sastia membawa hasil. Pada 2016, dia mendapatkan posisi dosen permanen di Osaka University. Namun, di lubuk hati terdalamnya, Sastia ingin kembali ke Indonesia. Kumpul bersama suaminya yang juga dosen di Universitas Tadulako.

Namun, di sisi lain, Sastia melihat anaknya yang enjoy sekolah di Jepang. Sastia waswas bila hijrah ke Indonesia, putrinya akan kesulitan beradaptasi.

"Jadi ya sementara sabar dulu sih. Apalagi ada mahasiswa Indonesia di laboratorium saya. Mereka kuliah S2 dan S3 di Osaka University karena ingin dibimbing orang Indonesia. Jadi tanggung jawab saya juga besar. Dari situ membuat saya bertahan. Mudah-mudahan kalau putri saya sudah lulus SD bisa lanjut di Indonesia. Mudah-mudahan juga, karir saya tidak putus ketika saya kembali ke Indonesia," pungkasnya. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ilmuwan Diaspora Minta Eksekusi Pemindahan Ibu Kota Harus Cermat


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler