Satpol

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Senin, 19 Juli 2021 – 12:41 WIB
Satuan polisi pamong praja (Satpol PP). Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - Kalau Anda bertanya kepada orang Madura, siapa gubernur Jawa Timur? Dia akan jawab, "Pak Noer".

Kalau Imam Utomo?

BACA JUGA: Darurat

"Itu penggantinya."

Pak Noer adalah Mohammad Noer (1918-2010), gubernur Jawa Timur periode 1967-1976, putra asli Madura. Imam Utomo adalah gubernur Jawa Timur era (1990-2000).

BACA JUGA: Sampah

Cerita itu hanya joke atau guyonan, tetapi menjadi guyonan parikeno yang evergreen. Guyonan tetapi serius yang berlaku sepanjang masa.

Pak Noer akan tetap dikenang sebagai salah satu gubernur paling membanggakan bagi warga Madura dan warga Jawa Timur. Pak Noer juga akan dikenang sebagai gubernur yang dekat dan mengabdi kepada wong cilik.

BACA JUGA: Bendera Putih

Ketika itu ‘wong cilik’ belum menjadi entitas sosial yang dipolitisasi. Istilah itu menggambarkan strata sosial rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk.

Zaman sekarang, wong cilik dieksploitasi menjadi komoditas politik, dan parpol tertentu selalu mengklaim sebagai pembela wong cilik. Dalam kenyataannya klaim itu lebih banyak sebagai sekadar jargon.

Salah satu pernyataan Pak Noer yang paling terkenal dan sampai sekarang masih sering dikutip ialah tujuan birokrasi adalah ‘agawe wong cilik gemuyu’, membuat orang kecil tertawa. Birokrat atau pegawai negeri adalah ‘bature rakyat’, pembantu rakyat.

Batur adalah istilah bahasa Jawa untuk menyebut pembantu rumah tangga. Secara harfiah, batur berarti teman.

Pak Noer lahir di Sampang, Madura. Dia keturunan ningrat Madura dengan gelar Raden Panji. Nama lengkapnya Raden Panji Mohammad Noer.

Dia berjasa meletakkan dasar-dasar filosofi pengabdian birokrasi kepada publi. Oleh karena itu, seharusnya Pak Noer diberi penghargaan sebagai Bapak Birokrasi Indonesia.

Terlahir dari kalangan aristokrat, Pak Noer paham betul bagaimana karakter kalangan priyayi di Indonesia. Mereka menjadi kelas sosial yang eksklusif dan selalu minta dilayani. Kelompok ini menjadi kelas elite yang berkuasa dan menjadikan rakyat sebagai objek kekuasaan.

Kelompok elite priyayi ini yang kemudian oleh penjajah Belanda dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan. Mereka dijadikan sebagai ambtenaar, pegawai pemerintah, untuk menjalankan kebijakan pemerintah penjajah.

Kelas ini bentukan penjajah, maka mereka bertindak dan bersikap sebagaimana penjajah. Tampilan fisik mereka pribumi tapi tingkah lakunya Belanda.

Kelompok ini sering diledek sebagai ‘Londo Belangkon’, Belanda pakai belangkon, atau ’Londo Ireng’, Belanda berkulit hitam.

Ketika Indonesia merdeka, kelompok amtenar ini melanjutkan tradisi menjadi pegawai negeri dan sebagai tumpuan mesin birokrasi. Budaya lama warisan penjajah kolonial masih melekat pada mesin birokrasi baru ini.

Pendekatan elitis dan main kuasa tetap menjadi tradisi. Alih-alih melayani, birokrasi malah minta dilayani.

Salah satu mesin birokrasi ciptaan Belanda untuk menertibkan keamanan ialah polisi pangreh praja. Ketika itu organisasi kepolisian dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu polisi pangreh praja (bestuur politie), polisi umum (algemeene politie), dan polisi bersenjata (gewanpende politie).

Polisi pangreh praja adalah satuan polisi yang diambil dari kalangan pribumi, dari perangkat desa sampai ke perangkat yang lebih tinggi di kawedanan dan kabupaten. Sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah kolonial, polisi pangreh praja lebih banyak mengabdi kepada penjajah daripada melayani rakyat.

Penertiban yang dilakukan polisi pangreh praja adalah penertiban sipil, tetapi sering juga melakukan penertiban politik terhadap orang-orang yang dianggap membangkang terhadap kekuasaan penjajah.

Pada masa kemerdekaan, polisi pangreh praja berubah menjadi polisi pamong praja. Sebagai bagian dari birokrasi, pamong praja menjalankan tugas penertiban sipil.

Akan tetapi, tradisi amtenar sejak zaman Belanda tidak mudah hilang begitu saja. Pendekatan kekuasaan yang berlebihan masih sering terjadi sampai sekarang. Nama boleh berubah, tetapi karakter lama masih tetap lekat

Kasus terbaru yang terjadi di Gowa, Sulawesi Selatan, hanya satu saja di antara rentetan kekerasan yang dilakukan oleh satpol PP terhadap warga. Dalam kasus itu terlihat bagaimana pendekatan kekuasaan lebih dikedepankan daripada pendekatan persuasif.

Beberapa kasus penertiban oleh satpol PP di beberapa daerah menimbulkan duka bagi pedagang kecil yang menjadi korban. Seorang ibu pedagang kaki lima yang peralatan dagangnya disita menjadi sangat sedih sampai akhirnya tergolek sakit tidak berdaya. Banyak pedagang yang menangis karena peralatannya disita dengan alasan penertiban.

Penerapan PPKM Darurat membuat ruang gerak rakyat semakin sempit. Pemberlakuan jam malam dan pelarangan penjualan makanan secara langsung membuat banyak pedagang kecil menjerit.

Pengamanan yang ketat ini menimbulkan beberapa insiden di beberapa tempat. Di Surabaya dan Pasuruan terjadi insiden kekerasan antara Satpol PP dengan warga. Di beberapa daerah mahasiswa berdemo menolak penerapan PPKM Darurat.

Luhut Pandjaitan sebagai komandan PPKM Darurat mengakui bahwa hasil kerjanya belum optimal. Evaluasi yang dilakukan lebih banyak berfokus pada angka-angka penularan dan kesembuhan. Evaluasi terhadap dampak sosial yang dirasakan rakyat, terutama pedagang kaki lima, tampaknya masih terabaikan.

Pemerintah terlihat maju mundur memutuskan perpanjangan PPKM Darurat. Di satu sisi penularan virus masih tetap tinggi, tetapi di sisi lain resistensi masyarakat semakin kuat terhadap pelaksanaan PPKM Darurat.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia (PMK) Muhadjir Effendy menyebut kondisi sekarang sebagai darurat militer. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan militer, bukan pendekatan sipil. Tertib yang diciptakan adalah tertib militer, bukan tertib sipil.

Meski secara formal kondisi darurat militer tidak dideklarasikan, yang terjadi sekarang adalah praktik darurat militer. Kondisi ini memengaruhi aparat dalam menjalankan tugasnya. Kasus di Gowa hanya satu saja dari insiden yang muncul karena aparat melakukan pendekatan darurat militer.

Birokrasi seharusnya menjadi mesin pelayan rakyat. Seperti yang diwasiatkan Pak Noer, birokrasi harus menjadi 'batur rakyat'. Kebijakan birokrasi harus ‘agawe wong cilik gemuyu’ membuat rakyat kecil tertawa, bukan malah membuat rakyat kecil menangis.(*)

 

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mundur


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler