Kehidupan peternak sapi di Australia tidaklah semudah yang dibayangkan orang. Mengelola peternakan sapi memiliki tantangannya sendiri, mulai dari keterbatasan tenaga kerja hingga ketidakpastian pasar. Inilah kisah Markus Rathsmann, pemilik peternakan di Mount Ringwood, sekitar 2 jam dari Kota Darwin.

"Peternakan sapi di Northern Territory memang rata-rata luas," demikian jelas Arinta, dari Konjen RI di Darwin yang menemani sejumlah jurnalis Indonesia, September lalu, mengunjungi peternakan Mount Ringwood Station, di luar Kota Darwin.

BACA JUGA: Diusulkan Melbourne CBD Tanpa Mobil Satu Hari

Tampak sebuah rumah induk sederhana yang terbuat dari kayu. Warnanya putih. Di garasi depan rumah, tampak mobil yang penuh lumpur. 

"Halo apa kabar? Mari masuk. Markus sudah menunggu Anda di peternakan," tutur perempuan yang mengenalkan diri bernama Maree Mounaro (46). Markus adalah suami Maree. 

BACA JUGA: Polisi Tambahan Dikirim ke Christmas Island Untuk Menghentikan Kerusuhan


Markus Rathsmann

 

BACA JUGA: Salurkan Hasrat Terpendam, Pria di Sydney Berdandan Ala Perempuan

Peternakan milik Markus Rathsmann (55) ini memliki luas 40.000 hektar. Sebagai pembanding, peternakan berbasis padang rumput terbesar di Indonesia saat ini berada di Padang Mengatas, Sumatera Barat, luasnya hanya 280 hektar.

"Luas peternakan milik saya 400 kilometer persegi," kata Markus.

Ia mengenakan baju ala cowboy, memakai topi anyaman yang bundar, kemeja biru gelap lengan pendeknya tak dikancingkan penuh hingga terlihat bulu dadanya yang lebat, celana jeans biru pudar dengan sabuk cokelat dan sepatu booth cokelat muda.

"Memasuki musim kering. Hujan sama sekali tak datang beberapa pekan ini," celetuk Markus.

Saat itu dia tengah melakukan sterilisasi pada sapi-sapi betina yang dianggapnya tak produktif lagi. Tujuannya, memastikan sapi tidak hamil kala sudah dijadikan sapi potong.

Seorang pekerja bernama Ray menjepret telinga sapi bagian kanan dengan penanda bahwa sapi telah disteril.

Hanya tampak 2 orang yang membantu Markus, Ray dan seorang perempuan yang mengenalkan diri bernama Margareth.

"Kami bertiga yang setiap hari bekerja mengelola peternakan ini. Menurutu standar NT, peternakan saya termasuk kecil," tuturnya.

Meski bekerja di peternakan sendiri, Markus dibantu Ray dan Margareth bekerja cukup keras. Keluar mulai kerja sekitar pukul 06.30, istirahat siang sekitar pukul 12.00 dan kembali ke peternakan hingga pukul 17.00.

Markus menggaji Ray dan Margareth masing-masing AUS$ 650 per pekan (kurs 1 AUS$ sekitar Rp 10 ribu). Itu bersih. Ray dan Margareth tak perlu memikirkan biaya tempat tinggal karena Markus menyediakan rumah bagi mereka, terletak di samping rumah utama Markus. Tak perlu mengeluarkan biaya makan juga, karena istri Markus, Maree Mounaro (46) selalu memasakkan mereka setiap hari.

Bila Markus bekerja di peternakan seharian, maka Maree adalah seorang ibu rumah tangga yang mengurus rumah, mengantar-jemput anaknya Luke (10) ke sekolah yang jaraknya sekitar belasan kilometer, hingga memasak makanan hari itu.

"Di peternakan saya kini, ada 1.800 ekor sapi indukan," tutur Markus.

Menurut Markus, mayoritas sapi indukannya berdarah campuran Boran-Brahman. Boran adalah jenis sapi keturunan Afrika yang terkenal subur dan lebih cepat dewasa. Jenis sapi Boran ini memiliki banyak kesamaan dengan jenis sapi Brahman, sapi yang diekspor ke Indonesia.


Sapi di peternakan milik Markus Rathsmann di pinggiran kota Darwin.

 

Setelah melahirkan anak sapi pertama, induk sapi biasanya sangat sulit untuk memiliki anak kedua. Sapi yang hamil dibiarkan merumput di padang savana, mencari makan dengan bebas.

Namun karena saat itu rumput-rumput mengering, Markus harus menyediakan ekstra protein untuk dimakan sapi-sapi yang subur berupa cotton seeds, biji-bijian lain, garam, potassium dan lain-lain. Dan upaya menyediakan protein itu merupakan biaya tersendiri yang bisa mencapai AUS$ 100 per ekor per tahun.

"Yang paling penting kami menyediakan protein lebih banyak dari campuran biji kapas, fosfor, potassium, garam. Ini musim kering dan tantangannya adalah menjaga tubuh mereka tetap bagus," jelas dia.

Selain mengembangbiakkan 1.800 sapi indukan, Markus juga membeli sekitar 2.000 sapi jantan muda dan betina untuk digemukkan dan dijual kembali.

"Kami menggemukkannya selama 3 bulan agar bobotnya bertambah hingga 60 kg," tutur Markus. 

"Saya biasanya menggembalakan ternak (mustering) untuk digemukkan ke rawa-rawa berumput hijau selama 3 bulan," tutur Markus.

Proses mustering itu, imbuh Markus, biasa dilakukan pada bulan Mei. Sapi-sapi akan digemukkan selama 3 bulan hingga Juli. Sapi yang di-mustering untuk digemukkan itu adalah sapi yang telah disteril dan 2.000 sapi muda yang khusus dibeli Markus untuk dijual kembali.

Kadang memakai kuda, anjing, motor ATV hingga helikopter. Hal ini tentunya belum pernah ditemukan di Indonesia. "Biasanya memakai 2 sampai 3 helikopter," tutur Markus.

"Satu helikopter per jam biayanya AUS$ 350 (sekitar Rp3,5 juta),"  ungkapnya.

Menurut Markus, naik-turunnya hubungan Canberra-Jakarta dalam masalah ekspor-impor sapi memang sedikit banyak mempengaruhi bisnis ternaknya.

Seperti tahun 2011 lalu, kala Australia menutup keran ekspor sapi ke Indonesia karena isu perlakukan sapi potong di rumah potong hewan yang dinilai tidak mengindahkan animal welfare atau kesejahteraan hewan.

"Ya ada efeknya sedikit banyak. Sapi sudah siap di peternakan, makin banyak sapi, makin banyak butuh rumput hijau atau pakan yang harus Anda sediakan. Jadi kami hanya mengkhawatirkan kesejahteraan mereka (ternak) di peternakan itu," tutur Markus. 

Kala ditanya bagaimana Markus menjaga arus modalnya, dia sempat meminjam ke bank. Namun, tidak banyak karena khawatir akan pendapatannya yang mampet.

"Untungnya pinjaman ke bank tidak banyak, jadi meski bukan masa tersulit dan kami tidak happy, kami pinjam untuk 2 bulan, jadi kami tak terlalu punya banyak utang," jelas dia.

Pada kuartal III ini, Indonesia kembali memangkas angka impor dari 200.000 ekor di kuartal II menjadi hanya 50 ribu ekor saja. Lantas bagaimana lagi dampaknya pada peternak seperti Markus?

"Melihat musim kering ini sangat berat. Orang butuh uang. Kami harus membeli suplemen, berefek banyak. Kami harus menghabiskan uang supaya sapi-sapi itu bisa bertahan, namun pada akhirnya sapi itu tak bisa ke mana-mana," tuturnya.

Namun, Markus yang mengatakan hanya seorang peternak yang sederhana, tak mau menyalahkan siapa-siapa. Baik pemerintah Australia maupun Indonesia, yang hubungannya kerap naik-turun itu.

"Ya sedikit, naik-turun, kami harus menyeimbangkan supply-demand, hadapi efeknya dan bersiap. Hewan siap pergi, tapi kami tak bisa menjualnya, kami pindahkan ke tanah peternakan lainnya, ada biaya lain, tapi itu memang hak konsumen melakukan itu, Anda tak bisa menunjuk atau menyalahkan, Anda hanya harus bisa bersiap-siap," tuturnya bijak.

"Saya rasa kami telah melewati itu semua, dan kami tetap punya hubungan terdekat dengan tetangga kami, Indonesia. Yang penting kami memiliki hubungan dekat dengan tetangga terdekat kami, dan terus bekerja, itu saja. Perdagangan tetap berjalan, pengertian di antara kedua negara juga berjalan," tutur Markus dengan senyum.

Di tempat terpisah, Konsul Jenderal RI di Darwin, Andre Omer Siregar, mengatakan naik-turunnya hubungan Jakarta-Canberra memang dampaknya paling terasa di kawasan NT Australia. 

Australia, diakui Andre, kewalahan memenuhi kebutuhan sapi Indonesia, yang penduduknya 10 kali lipat dari Australia, apalagi memenuhi permintaan dari China. Namun, bila Indonesia hendak swasembada mengembangkan peternakan breeding sapi, Australia dan para peternaknya siap membantu.

Ditambahkan Wakil Konsul Jenderal RI Darwin, Arinta Puspitasari, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 2015 ini bekerja sama dengan Pemerintah Northern Territory (NT) Australia untuk mengimpor sapi indukan dari jenis Brahman.

Bahkan, Asosiasi Peternak NT sejak 2012 sudah mengundang mahasiswa peternakan belajar di NT, dari belajar, melihat dan bekerja di peternakan NT.

"Sudah sejak 2012, hingga 2015 ini sudah ada sekitar 54 alumni. Kadang host peternaknya juga pergi ke Indonesia untuk lihat peternakan sapi, meningkatkan pemahaman," tutur Arinta.

Peternak Australia dan pemerintah Australia sendiri sangat tidak berkeberatan agar Indonesia bisa berswasembada sapi sendiri, mengembangkan peternakan sapi indukan (breeding) dengan cara transfer ilmu.    


Markus Rathsmann dan istrinya Maree Mounaro, menyambut jurnalis Indonesia dengan kari rendang dan ikna bakar yang dibungkus daun pisang!

 

Markus akhirnya mengajak kami ke rumahnya untuk makan siang. Memandu kami duduk di meja makan outdoor belakang rumah panggungnya yang cukup sederhana. Banyak barang-barang jadul seperti kulkas, TV, hingga lemari di rumah Markus.

Tak disangka, Maree sang istri menyajikan semangkuk nasi putih. Maree juga menyajikan semangkuk daging kari yang bumbunya mirip kuah rendang. Belum cukup, Maree mengeluarkan dua ekor ikan kakap merah bakar yang dibungkus daun pisang. Harum!

"Saya belajar membuatnya dari resep di internet. Ini kari daging, dagingnya dari peternakan kami, bumbunya, saya tanam sendiri rempah-rempahnya. Ada kunyit, laos dan sebagainya," tutur Maree sambil tersenyum ramah.

Pun dengan daun pisang yang membungkus ikan kakap merah itu. Maree juga menanamnya sendiri. Halaman belakang rumah Markus dan Maree, penuh dengan tanaman-tanaman tropis. Pemandangannya seperti halaman depan rumah pedesaan di Indonesia. Ada tanaman famili jahe seperti kunyit dan laos, daun pandan, pohon palem dan tanaman pisang. Ada pula jemuran baju dengan jepit-jepit penjemur, juga seekor ayam yang berkeliaran berpetok-petok ria.

"Silakan makan," demikian ajak Maree dan Markus.

Maree juga menyajikan kecap dengan merek Indonesia, juga sambel ulek kemasan, irisan cabai merah, juga cabai kering. Maree seakan membaca pikiran kami semua, yang tak bisa makan kalau tak ada sambal.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Coba Perkosa Gadis 3 Dekade Lalu, Kakek 81 Tahun Ini Dipenjarakan 26 Bulan

Berita Terkait