jpnn.com - SUDAH beberapa kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diwarnai gegap gempita keterlibatan artis.
Juga perempuan-perempuan muda, ayu, yang tak begitu terkenal tapi rekeningnya dialiri dana dari sang koruptor. Ada juga yang mendapat mobil mewah.
BACA JUGA: 400 Ribu Honorer K2 Kecewa
Cukup banyak dan yang masih hangat di seputar penanganan kasus adik Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana (TCW) alias Wawan.
Penyidik KPK menerima daftar mentah dari Pusat Pelaporan dan Transaksi Analisis Keuangan (PPATK). Apa hubungan si artis atau cewek-cewek cantik itu dengan si koruptor, itu tugas KPK untuk mengusutnya.
BACA JUGA: Jangan Lembagakan Valentines Day di Indonesia
Bagaimana mekanisme kerja PPATK? Dan apa harapannya terkait penanganan terhadap penerima aliran pencucian uang dikaitkan dengan pasal Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010 dan Pasal 4 UU RI No. 8/2010?
Berikut wawancara Berikut petikan wawancara wartawan JPNN.com Natalia Laurens dengan Wakil Ketua PPATK Agus Santoso di ruang kerjanya lantai 4 Gedung PPATK, Jalan Djuanda No 35, Jakarta Pusat, pada Kamis (20/2).
BACA JUGA: Pusat tak Berani Hapus DOB yang Gagal
Saat ini semakin ramai kasus pencucian uang dari koruptor ke artis, bagaimana menurut PPATK?
Kalau PPATK sebenarnya tidak tahu ya apakah orang yang menerima aliran dana itu artis atau bukan, kita enggak tahu karena nama panggung dan nama KTP kan beda. Mereka sering punya nama panggung sendiri. Jadi kita juga kadang kaget kalau pas disebut oleh penegak hukum, oh ternyata nama yang kita berikan, itu orangnya. Kita kan kerjanya menelusuri rekening dan aset. Kalau asetnya pasti pakai identitas dari KTP dan kartu keluarga. Pasti pakai nama resmi. Kita enggak terlalu tahu persis itu artis atau bukan. Cuma memang tipologi pencucian uang di Indonesia umumnya gunakan kerabat, keluarganya.
Hampir semua koruptor itu dalam melakukan pencucian uang itu pasti melibatkan istrinya, suaminya, anak-anaknya. Itu Ring satu. Nah nanti ring ke duanya melibatkan orang-orang yang kerja bersamanya sehari-hari. Supir, ajudan, pembantu. Begitu. Ring ke tiga orang-orang yang bekerja dengannya di lingkungan kantor. Seperti sekretaris, stafnya, supirnya, tukang kebun. Karena itu adalah orang-orang yang bisa dikendalikan. Jadi bukan kerabat juga bisa.
Bisa juga pada orang yang di-hire. Misalnya fenomena kepada wanita-wanita lain. Saya enggak nyebut profesilah karena saya juga enggak tahu itu artis atau bukan. Wanita lain, semacam teman-teman dia lah. Kan bisa aja teman laki-laki. Kami tidak melihat gendernya, bahwa yang terima itu perempuan semua. Tapi bagi kami itu adalah orang-orang yang bisa dikendalikan.
Kenapa mereka lakukan itu, karena pencucian uang itu punya motif ekonomi. Pencucian uang itu, suatu kali harus balik ke dia. Balik ke dia itu, ada yang bisa balik ke pribadi, ada yang balik ke keluarga. Kalau yang punya istri pertama, kedua, ketiga ya untuk membentuk keluarganya. Sehingga mereka melakukan proses penyamaran harta legal menjadi ilegal.
Di sini pasti ada satu yang pelaku aktif. Misalnya mereka yang jadi tersangka di KPK itu kan pelaku aktif. Itu bisa menyeret orang lain semacam ikut serta ya, membantu. Suami kasih ke istri, lalu istri sebar-sebarkan untuk lakukan penempatan maka istri menjadi pelaku aktif juga.
Bagaimana dengan orang-orang yang mengaku hanya menerima saja?
Nah ada juga orang-orang yang tugasnya dalam tanda kutip itu sepertinya menerima saja. Selanjutnya orang itu seperti menerima saja, tetap digolongkan sebagai pelaku pasif. Jadi memang ada perbedaan prinsip antara undang-undang korupsi dengan uang-undang tindak pidana pencucian uang.
Kalau UU Korupsi, yang dijeratkan pelakunya. Sedangkan UU TPPU, pelakunya dibagi tiga. Ada pelaku aktif, ada yang ikut serta membantunya, ada pelaku pasif. Kalau ada badan hukum yang membantunya, maka ada kejahatan koorporasi. Jadi kalau pencucian uang, semuanya kena.
Kalau uang dialirkan untuk artis, bagaimana membedakan itu uang untuk honor pekerjaan profesional atau bukan?
Kalau itu nanti dibedakan dalam proses penyidikan di penegak hukum. Akan bisa dilihat apakah seseorang itu memang ada transaksi wajar atau tidak. Kami di PPATK tidak menelusuri dugaan kejahatan. Kami hanya mengklasifikasikan, apakah masuk dalam kriteria mencurigakan. Mencurigakan itu, belum tentu ke semua orangnya. Tapi nanti dalam proses penyidikan, akan kita print seluruh transaksi yang dilakukan pejabat atau orang yang diduga. Baru penyidik yang pilah-pilah. Kami buat laporan analisis, tapi yang membangun kasus, proses penyelidikan dan penyidikan ya penegak hukum seperti jaksa, polisi, KPK.
Dalam kasus TCW (Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan) kita sudah mengendus adanya transaksi mencurigakan itu sebelum dia tertangkap tangan KPK. Itu kita tahu kira-kira tahun 2013 awal. Kalau Akil Mochtar (AM) kami sudah tahu pada tahun 2012.
Kejahatan itu sebenarnya modus yang berulang. Contoh, kriminal kecil copet yang pakai silet. Dia akan melakukan terus seperti itu. Gurunya copet pasti beda jadi masing-masing ada tipologinya. Selalu berulang. Kejahatan juga sama. Addicted. Modus berulang dia lakukan lagi. Oleh karena itu penyadapan oleh KPK itu penting. Kita juga perlu kadang-kadang rekomendasikan agar orang ini disadap karena kejahatan kerah putih itu kejahatan orang-orang pintar. Jadi dia bisa sembunyikan transaksinya. Tapi selalu ada saja celah untuk ketahuan karena ada keteledoran mereka. Ada yang sudah 10 tahun, tapi nantinya akan ketahuan juga, karena pikir enggak ada yang bakal tahu.
Modus-modus yang berulang itu juga berlaku di kasus Wawan sehingga dia juga terendus PPATK dan KPK? Seperti membeli mobil dalam jumlah banyak?
Iya, artinya rekeningnya aneh. Postur rekeningnya aneh. Soal nilai rekening, kalau mencurigakan tidak perlu kita bicara jumlah miliaran atau berapa ya, tapi postur rekening yang aneh. Misalnya membeli mobil dalam jumlah banyak, itu kan aneh. Artinya kalau orang mau investasi masa iya belinya mobil dalam jumlah banyak. Kalau dibilang kolektor, enggak pernah ikut menggelar koleksi seperti yang dilakukan kolektor. Kalau kejahatan kan cenderung disamarkan, jadi pakai misalnya leasing tapi namanya nama orang yang bayar kita. Itu kan aneh. Ada juga kan sering begitu. Orang itu sering menyangka bahwa PPATK pelapornya hanya bank. Masyarakat mengiranya begitu. Padahal bukan hanya itu. PPATK itu pelapornya 17 penyedia keuangan dan lima penyedia barang dan jasa. Jadi banyak pelapornya bank, perusahaan asuransi pegadaian, valuta asing, dealer mobil, dealer motor, broker rumah, toko emas, toko barang antik dan balai lelang itu jadi pelapor kami. Kalau tidak melapor dia bisa kena sanksi. Sanksi administrasi terberatnya bisa ditutup, dicabut izin usahanya. Misalnya orang bawa uang Rp 500 juta ke bank, nanti diterima sama banknya. Begitu anda keluar dari pintu bank, petugas melapor ke PPATK bahwa ada orang yang membawa uang 500 juta. Sebaliknya kalau tarik tunai sebesar itu juga dilaporkan. Itu kejahatan maupun bukan kejahatan tetap dilaporkan pada PPATK. Demikian juga kalau beli mobil. Kalau dia beli kas atau kas keras, bayar tiga kali dalam waktu dekat, beli rumah seperti itu, akan dilaporkan pada PPATK. Kita tentu dengan database, sistem IT, kita cocokkan datanya. Ada juga yang bisa saja sudah diadukan masyarakat. Kita cocokkan datanya. Kami ini selain didukung sistem pelaporan juga didukung sistem online. Saya bisa online dengan administrasi kependudukan, jadi kita ketik, nama, alamat, tanggal lahir, bisa terlacak KTPnya. Dari situ juga dilacak kartu keluarga, siapa nama istrinya, anaknya. Saya bisa lacak semua rekening mereka.
Berarti bisa diketahui juga jika ada pejabat yang mengirimkan uang rutin pada orang yang bukan istri sahnya?
Kalau itu sih bisa ketahuan kalau dia transfer-transfer aneh. Misalnya ada seseorang selalu mengirimkan uang dalam jumlah yang sama besarannya tiap bulan. Pasti ketahuan, kok dikirim uang yang sama dalam jumlah sama tiap bulan. Pasti timbul tanda tanya, pasti ada suatu hubungan, meski mungkin hanya 50 ribu, atau 5 juta. Mungkin saja itu uang untuk beli obat herbal atau apa, tapi tetap saja itu dianggap pasti ada hubungan karena tiap bulan selalu ada transaksi. Kalau kita laporkan ke KPK tinggal dipanggil saja orang yang terima uang itu, ditanya kenapa dapat kiriman tiap bulan. Jadi dari hal kecil seperti itu. Seperti kasus STA (Susi Tur) ke AM (Akil Mochtar), ada pengiriman uang beberapa ratus juta dari pengacara ke seorang hakim konstitusi, itu saja sudah tanda tanya besar. Nanti semua itu ketahuan di penegak hukum tujuannya, karena kami bukan penyelidik dan penyidik. Kami ini basenya intelijen keuangan. Saya sebagai intelijen tidak bisa juga tanya ke orang-orang yang memiliki transaksi keuangan. Kami miliki keterbatasan, hanya menyediakan pintu masuk untuk para penegak hukum. Tapi lagi-lagi itu bisa terbukti istrinya atau bukan kan nanti di penegak hukum bukan kami yang akan menanyakannya.
Kalau untuk kasus Wawan, dia kan memberikan mobil untuk artis, apakah PPATK juga mendapat adanya laporan mengenai hal itu dari dealer mobil?
Kalau hal semacam itu bisa beragam. Kalau kita lihat ada pembayaran mobil yang dilakukan secara berlebihan kita bisa telusuri. Kalau dealernya tidak lapor, kita harus pastikan kepatutan. Dealer kan belum tentu tahu persis itu siapa yang membeli mobil atau dibelikan untuk siapa. Bisa saja yang datang ambil mobilnya supirnya atau orang terdekatnya. Jadi kita telusuri dari dokumennya, yang bersangkutan bayar mobil apa dari dealer kita bisa tahu siapa nama pemiliknya. Apakah nama pemiliknya adalah nama yang bersangkutan, atau keluarganya atau bisa juga orang lain di luar keluarganya. Kita tahu itu. Cuma tugas kita sampai situ saja, setelah itu kita serahkan pada KPK.
Terkait dugaan ada belasan artis yang menikmati uang dan barang dari Wawan, apakah informasi ini juga berasal dari PPATK?
Kalau kami tidak pernah tahu apakah orang ini berprofesi sebagai artis atau tidak karena kami bekerja atas dasar nama KTP. Kalau nama panggung kita tidak tahu. Kita hanya kasih data-data yang diminta KPK.
Selama ini sudah cukup banyak diterapkan pasal TPPU di KPK, tapi sejauh ini penerima pencucian uang tidak ditindak KPK sehingga hanya dianggap sebagai mencari sensasi saja, karena ada banyak nama perempuan cantik maupun artis tapi tidak ada yang, apa tanggapan PPATK?
Pertama saya mesti apresiasi dulu KPK yang sekarang telah menerapkan undang-undang pencucian uang, kalau PPATK yang lalu ini tidak diterapkan. Saya kira udah bagus dulu. Nah tapi kita tetap mendorong sebetulnya agar pelaku-pelaku pasif dikenakan pasal juga. Undang-undang ini kan sudah berlaku tiga tahun, masyarakat juga tahu. Saya kira sudah waktunya menerapkan pasal TPPU pada para pelaku aktif yang menerima dana dan barang dari hasil korupsi, tidak hanya sekedar disuruh mengembalikan. Diterapkan jika diektahui ada unsur kesengajaan dia menerimanya dan dia tahu bahwa itu uang kejahatan dan dia terima semacam menikmati. Itu seperti penadahan. Pelaku pasif dalam pencucian uang itu sama dengan penadah.
Apabila si pelaku pasif mengaku tidak tahu sumber uang yang diterimanya, bagaimana membuktikannya?
Sebetulnya tidak ada dasar transaksi yang jelas. Misalnya saya tiba-tiba kasih seseorang uang Rp 2 miliar. Dia tanya ini untuk apa, saya jawab udah pakai aja dulu nanti saya ambil itung-itungan gampang lah. Kalau sampai kayak gitu seharusnya orang yang menerima itu menganggap hal itu aneh. Uang dalam jumlah besar seperti itu atau tiba-tiba dikasih mobil harga Rp 750 juta, kan aneh. Apalagi kalau perempuan yang diberikan uang itu mengaku “saya enggak kenal, dia datang seperti malaikat” wah itu tidak bisa. Itu bukan malaikat kalau zaman sekarang. Bisa –bisa anda terkena persoalan. Banyak contoh ada seorang guru yang dikirimi ponakannya uang Rp 2 miliar di suruh pakai dulu sama ponakannya. Enggak usah bayar bunga, sekarang pakai aja dulu. Kalau guru itu menikmati menyamarkan bisa langsung kena pasal.
Kalau artis kan bisa mengaku itu honor atas pekerjaannya, apa itu bisa dilakukan pembuktian terbalik?
Kalau pembuktian terbalik kan kalau dia sudah jadi terdakwa. Kalau dia kembalikan ya sudah. Kecuali kalau KPK melihatnya secara sistemik. Mungkin dia dapat uang terus-terusan, nah itu bisa dijadikan tersangka. Nanti pembuktian terbalik di persidangan. Nanti hakim yang akan bertanya.
Pesan untuk penegak hukum terutama KPK terkait kasus-kasus tindak pidana pencucian uang ini?
Sejauh ini KPK memang belum terapkan hukum untuk para pelaku pasif seperti ini. Saya kira imbauan untuk KPK, sudah waktunya sekarang untuk menerapkan hukum yang sama pada penerima atau pelaku pasif pencucian uang. Tapi jangan pandang bulu. Kami tiap hari mengirimkan banyak laporan transaksi ke penegak hukum, bukan hanya kasus korupsi jadi silakan ditelusuri.
Terakhir, apa pesan PPATK untuk artis, perempuan cantik maupun publik terkait pencucian uang ini?
Sekarang memang mesti ada imbauan. Masyarakat, apapun profesinya harus tegas. Jangan mau, misalnya KTPnya dipinjam, atau rekeningnya. Harus berpikir janggal kalau menerima hadiah atau uang dalam jumlah tidak wajar. Bahaya itu. Ini pesan untuk semua, tokoh agama, guru, artis, apapun profesinya jangan mau dimanfaatkan. Sekarang itu sudah jadi tren pencucian uang mereka gunakan orang-orang terdekat, asisten, staf pribadi, supir sampai ajudan. Itu modusnya. PPATK tidak peduli apakah itu perempuan cantik, laki-laki tampan, artis atau pembantu rumahtangga, kalau ada transaksi ya kita laporkan pada penegak hukum. Makin hari kami akan terus persempit ruang gerak koruptor. Mereka tinggal menunggu waktu saja. Sedikit demi sedikit jaring mereka akan dipersempit. Tadinya ikan yang sedang bisa lolos, sekarang ikan-ikan kecil juga bisa kami sasar. Kami juga sarankan penegak hukum terapkan pasal TPPU ini bagi semua yang terlibat.***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Awalnya Sepakat Bacakan Vonis April 2013
Redaktur : Tim Redaksi