jpnn.com - BUKAN hanya DPP PKS di bawah kepemimpinan Muhammad Sohibul Iman saja yang merasa tidak nyaman dengan gaya bicara Fahri Hamzah.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat masih jadi Presiden RI, sering menelepon Ketua Majelis Syuro PKS saat itu dijabat oleh Ustaz Hilmi Aminuddin.
SBY secara khusus menelepon Ustaz Hilmi untuk mempertanyakan komitmen PKS sebagai anggota koalisi pendukung pemerintahah SBY-Boediono. Ya, gara-gara Fahri sebagai anggota Fraksi PKS di DPR selalu melancarkan kritik terhadap kebijakan Presiden SBY.
Tapi telepon dari SBY tidak bermuara kepada pemecatan Fahri sebagai kader PKS. Bahkan hingga berakhirnya masa jabatan Presiden SBY pada tahun 2014, Fahri tetap saja melontarkan kritik kepada pemerintah.
BACA JUGA: Tersulit Melawan Rasa Kangen
Berikut kutipan wawancara wartawan JPNN Zulfasli dengan Fahri Hamzah yang bercerita tentang telepon SBY itu, pekan lalu.
Pada era pemerintahan SBY, apa benar Ustaz Hilmi sering ditelepon SBY untuk mempertanyakan loyalitas PKS terhadap Presiden, gara-gara Anda kritik Pemerintah?
BACA JUGA: Sonya Depari Korban Kekerasan via Medsos
Sekarang sudah saatnya saya ungkap bahwa Ustaz Hilmi itu dulu beberapa kali ditelepon Pak SBY. Kebiasaan Pak SBY kalau menelepon Ustaz Hilmi biasanya setelah saya melontarkan kritikan terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Hebatnya Ustaz Hilmi, beliau selalu ikhlas menerima komplain Pak SBY dan memberikan jaminan bahwa PKS tetap bersama pemerintah sampai berakhirnya masa jabatan presiden.
Lantas, sikap Ustaz Hilmi kepada Anda?
Biasalah, secara arif dan bijak layaknya seorang Ustaz, beliau selalu menyampaikan komplain SBY itu secara santai kepada saya. Tapi dengan caranya, Ustaz Hilmi selalu mengatakan kepada Pak SBY kira-kira intinya mengingatkan Pak SBY bahwa saya adalah wakil rakyat dan harus mengkritisi pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi dan nantinya harus dipertanggung-jawabkan kepada konstituen. Jadi dialog antara SBY dengan Ustaz Hilmi lebih kepada tugas masing-masing cabang kekuasaan.
Ada yang menyebut mayoritas rakyat tidak suka dengan gaya Anda?
Soal isu bahwa saya tidak disukai oleh saudara-saudara saya dari Jawa, ini juga mengada-ada. Buktinya, setiap saya berkeliling ke pelosok Pulau Jawa, saya selalu dielu-elukan dan tidak ada yang memasang wajah tidak suka kok. Mestinya, saudara-saudara saya yang elit di PKS ini jangan habiskan waktu dan energinya untuk menilai gaya saya. Substansi pernyataan saya yang semestinya dinilai, jangan melihat gaya.
Mengenai soal gaya ini, saya juga melihat aneh juga teman-teman di PKS ini. Ketika Presiden PKS saat itu Luthfi Hasan Ishaaq di tangkap saya sedang di Manila menghadiri Konferensi Gopac (Global Organization for Parliamentarians Against Corruption, red). Saya segera kembali ke Jakarta dan menghadapi siapa pun saat itu yang mengepung Kantor PKS. Gagah benar saya saat itu dan saya dielu-elukan mereka.
Sekarang bagaimana?
Seperti yang Anda lihat, masih dengan gaya yang sama, ya, akibatnya berbeda. Saya secara sepihak dipecat tanpa sebab yang sulit diterima akal sehat. Saya mau ingatkan, suatu saat saya yakin PKS ini akan jadi partai berkuasa di negeri ini. Tapi kalau PKS ini mulai mengurusi gaya orang, atau memaksa menghilangan jatidiri seseorang untuk bergaya etnis tertentu, ini sudah tidak rasional lagi.
Yang Anda pahami, DPP PKS saat ini meminta Anda untuk jadi seperti siapa?
Karena ente tanya itu, saya menjawabnya seperti ini. Saya disuruh untuk bergaya seperti Pak Agus Hermanto (Wakil Ketua DPR dari Fraksi Demokrat,red) dan Pak SBY. Pasti ngga bisa saya. Saya terus terang tidak mengerti jalan pikiran pimpinan PKS ini. Saya sejak Partai Keadilan dulu sebagai deklarator, tidak pernah menolak untuk berdialog. Makanya saya berulang-kali mengatakan peristiwa ini adalah ujian buat bangsa ini. Dan dalam bingkai NKRI ini harus berproses. Siapa pun di negeri ini tidak boleh jadi Santoso ketika tidak setuju dengan gaya orang. Sekarang saya balik tanya, punya kasus apa para oknum elit PKS ini sehingga harus menyingkirkan kader yang tak punya masalah, saya tak tahu.
Karena ketidaktahuan itu Anda membawa masalah ini ke ranah hukum. Anda paham gugatan kader terhadap partai politiknya selalu kalah?
Saya penganut paham optimisme dan tidak pernah meragukan sistem hukum di Indonesia. Makanya saya optimis saja dan tidak menebak hasilnya sebab para hakim di Indonesia masih sangat banyak yang punya integritas. Saya optimis dengan proses hukum ketimbang konspirasi.
Lantaran sangat menghargai hukum itu pula saya mempermasalahkan bagaimana bisa anggota Majelis Tahkim merangkap jabatan di DPP PKS dan apa pula dasar hukumnya Majelis Tahkim bisa bersidang berkali-kali dan mengeluarkan keputusan sementara institusi ini tidak pernah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Pengesahan itu penting, bagaimana dia membuat keputusan tanpa ada dasar legalitas dari Negara. Ini tindakan semena-mena namanya.
Kalau Anda sebut itu tindakan semena-mena, berarti Anda tidak taat kepada partai?
Saya takut dengan falsafah untuk harus taat kepada partai politik. Sebagai penganut agama Islam, ketaatan saya hanya kepada Allah dan seluruh ajaranNya. Jadi kalau saat ini disoal mengenai ketaatan, ini sangat elementer. PKS mestinya menjawab masalah-masalah besar. ***
BACA JUGA: Saya Senang, Aremania Senang
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lapas Makin Panas
Redaktur : Tim Redaksi