Sonya Depari Korban Kekerasan via Medsos

Jumat, 08 April 2016 – 17:21 WIB
A. Kasandra Putranto. Foto: Ist for JPNN

jpnn.com - SONYA Ekarina Boru Sembiring alias Sonya Depari bikin heboh lantaran sikapnya yang membentak seorang Polwan, Ipda Perida Panjaitan, yang hendak menilangnya, Rabu (6/4)..  

Siswi cantik itu mengaku putri Irjen Arman Depari. Sonya pun dibully di sosial media hingga membuat anak baru gede (ABG) ini depresi. Sang ayah, Makmur Depari Sembiring (60) mendadak sakit hingga akhirnya meninggal, Kamis (7/4).

BACA JUGA: Saya Senang, Aremania Senang

Bagaimana psikolog klinis dan forensik, A. Kasandra Putranto melihat kasus ini? Berikut analisanya yang diutarakan kepada wartawan JPNN Mesya Mohammad, Jumat (8/4).

Bagaimana tanggapan Anda tentang kasus Sonya Depari?

BACA JUGA: Lapas Makin Panas

Sudah terlalu banyak orang menulis soal Sonya Depari. Saya tidak bisa memberikan analisa kepribadian yang bersangkutan karena tidak melakukan pemeriksaan langsung sementara situasi saat Ini keluarga yang bersangkutan sedang berduka atas berpulangnya ayahandanya. 

Apa yang mestinya dilakukan media?

BACA JUGA: Bisnis Angkutan Berbasis Online Menggiurkan, Asal...

Menurut hemat saya lebih baik apabila semua tulisan tentang hal ini, baik melalui media formal maupun informal dihentikan karena telah menjurus kepada kekerasan melalui media sosial. 

Kita ambil hikmahnya, agar kasus serupa tidak terulang..

Sebaiknya kejadian ini dipergunakan untuk menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak, terutama tentang pentingnya menanamkan pekerti dan prestasi kepada anak sejak dini. Kejadian ini telah menambah bukti  semakin pudarnya nilai-nilai budi pekerti dalam masyarakat Indonesia. Kita semua perlu melakukan analisa lebih dalam tentang proses tumbuh kembang anak dalam kehidupannya. Ada yang salah dalam struktur sosial masyarakat kita. 

Tidak boleh serta merta menyalahkan Sonya?

Siapapun yang hanya menyalahkan Sonya dan melakukan kekerasan melalui media sosial terhadapnya, sebenarnya hanya merefleksikan sikap negatif yang sama dan sebangun, yang justru tidak memberikan kesempatan belajar positif kepadanya serta semakin memberikan alasan untuk melawan dengan cara keras yang sama. Apa bedanya perilaku mereka dengan perilaku tokoh yang mereka bully ? Ketika merasa memiliki kekuatan sedikit lalu melakukan kekerasan melalui media sosial tanpa mempertimbangkan dampaknya. With great power comes greater responsibility, bahwa di dalam setiap kekuatan dan kekuasaan yang kita miliki seharusnya ada tanggung jawab, bukannya justru melakukan penyalahgunaan kekuatan (abuse of power).

Nilai-nilai luhur bangsa kita telah banyak ditinggalkan. Hal Ini tidak akan terjadi jika kita mengatur ilmu padi, semakin berisi justru semakin merunduk. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti budi pekerti, sopan santun, welas asih, ramah, hormat kepada yang tua, harus ditanamkan kembali.

Apakah ini ada kaitannya dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, sehingga bully dengan gampang dilakukan?

Setiap anak adalah produk dari 'pabrik' keluarga, namun tetap mengandung peran yang sangat besar dari sekolah, komunitas masyarakat, media, industri yang memberikan dampak kepada lingkungan dan negara. Ketika struktur sosial masyarakat memberikan inkonsistensi, anak menjadi belajar inkonsisten. Bisa jadi nilai moral agama dan sosial diajarkan di rumah dan di sekolah, namun faktanya apa yang diajarkan tidak sesuai dengan apa yang ditemukan di masyarakat atau media atau sebaliknya.

Bagaimana seorang anak mampu tumbuh dan dibesarkan dengan nilai-nilai positif dan memiliki figur yang patut dicontoh dengan perilaku rendah hati apabila lingkungan tidak menyediakan kesempatan tersebut atau malah memberikan kondisi yang bertindak belakang ?

Sonya hanyalah satu dari sekian banyak anak Indonesia yang gagal menyerap nilai-nilai pekerti dan prestasi dalam usianya yang masih belia. Kita semua bertanggung jawab atas hasil pendidikan dan pola tumbuh kembang mereka.

Apakah tontotan seperti sinetron yang lebih banyak membentuk sikap remaja alias ABG‎?

Sinetron adalah produk dari industri kreatif yang memadati ruang publik 'on air' kita. Umumnya sinetron Indonesia menampilkan gaya hidup, kemewahan, perbedaan kaya miskin dan kesombongan‎. ‎Sinetron hanya salah satu faktor yang menjadi sumber belajar masyarakat. Konten negatif yang ditampilkan semakin memperkuat nilai inkonsistensi yang dipelajari anak.

Sementara industri tidak peduli terus saja menjual konsep seperti itu karena ingin meraup untung tanpa memikirkan bagaimana moral anak bangsa nanti. Akibatnya fatal,‎ anak-anak Indonesia belajar menjadi tidak konsisten karena lingkungan memberikan inkonsistensi itu.‎ Termasuk di dalamnya perilaku para pejabat publik yang menampilkan inkonsistensi sikap antara janji stop korupsi tetapi justru terbukti melakukan korupsi. Di mata ABG, kalau pejabat bisa begitu, kenapa mereka tidak bisa.

Namun demikian, bukan hanya sinetron yang harus disalahkan karena hal ini terkait dengan nilai-nilai dalam keluarga. Coba perhatikan bagaimana anak-anak ini mencoret-coret seragam sekolah mereka. Tidak hanya terjadi di Medan tetapi juga di berbagai kota di Indonesia. Padahal baju itu bisa dipakai anak yang tidak mampu. ‎Naik mobil keliling kota juga tujuannya apa? Perilaku ini bukan semata-mata sinetron tapi nilai dalam keluarga. Kalau hal ini dilakukan saat pengumuman kelulusan mungkin masih bisa diterima, karena bajunya akan digantung menjadi kenangan, tetapi ini dilakukan hanya karena selesai UN. 

Anda melihat terjadi degradasi nilai?

Mari kita bandingkan remaja Indonesia di tahun 1920-an yang mampu membentuk organisasi pemuda, menciptakan lagu kebangsaan, menyusun dasar negara, dan memperjuangkan Indonesia merdeka. Bagaimana dengan remaja di tahun 2020?.

Sebagai penutup, apa yang ingin Anda sampaikan?

‎‎Berbagai kasus pelanggaran norma hukum, sosial dan agama terkait dengan kualitas personal individu. Pelanggaran lalu lintas mencerminkan perilaku tidak tertib dan kualitas mental tertentu. Pengalaman saya sebagai psikolog Klinis selama 25 tahun dan psikolog Forensik selama 15 tahun terakhir mendorong untuk memperjuangkan program Attitude Achievement Generation. Mari menanamkan kembali nilai-nilai budi Pekerti dan semangat berprestasi. Tegakkan konsistensi dalam setiap struktur sosial masyarakat. Mari berkaca pada negara-negara Asia lain yang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional. Misalnya Jepang atau Korea, Mereka berupaya memuat konten-konten filsafat yang sarat makna dalam setiap bahan pendidikan mereka di rumah, sekolah, masyarakat, media, industri dan pemerintah.

‎Pastikan bahwa setiap struktur sosial kita mengajarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa tidak sebatas hafalan (kognitif), melainkan sampai ke hati (afektif) dan pelaksanaan aplikatif (perilaku).

Berikan ruang gerak dan pengakuan kepada remaja yang punya pekerti dan prestasi.***

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Arogan, Pacar Kita Kabur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler