BACA JUGA: Kalau Langit Masih Kurang Tinggi
Setelah mulai tua, ketika ayah-ibu sudah tidak ada, agak gamang, tapi kemudian memutuskan untuk di Surabaya sajaTapi karena semua orang harus mudik, saya merasa jadi aneh kalau tidak pergi dari Surabaya
BACA JUGA: Jangan Kaget karena Toilet
Maka kami memutuskan setiap Lebaran berada di MakkahBACA JUGA: Mengikis Kasta dengan Momentum Ekonomi
Kebiasaan itu berhenti karena saya sakit dulu ituTinggal isteri saya yang masih meneruskan kebiasaan tersebut tiga tahun terakhir iniDua tahun berturut-turut saya lantas berlebaran di TiongkokTahun pertama di Kota Harbin, nun di pojok utara Tiongkok, dekat RusiaSaya jadi tahu bagaimana berlebaran di kalangan umat Islam penganut madzhab HambaliTahun lalu berlebaran di Tianjin, tepat sebulan setelah operasi ganti hatiIni menarik, karena selama 50 tahun saya selalu berlebaran secara Syafi'i dan selama 6 tahun setelah itu secara Wahabi.
Tahun ini, setahun setelah ganti hati, saya harus ke Tianjin lagi untuk kontrolKarena bertepatan dengan menjelang Lebaran, maka saya sekalian berlebaran di Tiongkok untuk yang ketiga kalinyaKali ini juga dengan seluruh anak, menantu dan cucuIsteri saya sudah membawa serta baju baru khusus untuk LebaranMaunya, saat sembahyang Idul Fitri nanti semua pakai baju baru ituMudah-mudahan tahun ini tidak salah paham lagi.
Tahun lalu, pagi-pagi kami sudah kumpul di kamar saya di rumah sakit Yi Zhong Xin TianjinSemua sudah pakai baju baru, termasuk cucu yang masih berumur dua tahun dan menantu saya yang sedang hamil (cucu saya yang kemudian lahir, lantas disebut 'made in China').
Kami siap berangkat ke masjidBanyak sekali masjid di sekitar TianjinLalu kami mengatakan kepada sopir untuk mengantar ke masjid paling hebatSopir, yang komunis, tidak tahu apa ukuran masjid paling hebat"Pokoknya tempat yang didatangai banyak sekali orang Hui," kata sayaKata 'Islam' lebih sering disebut 'Hui' di Tiongkok, karena yang beragama Islam praktis hanyalah suku Hui.
"Oh, saya tahu!," katanya penuh keyakinan"Ramai sekali," tambahnya.
Kami pun dengan penuh keyakinan mengikuti saja apa kata sopir kamiKetika tempatnya ternyata jauh sekali, kami mulai khawatirJangan-jangan ketika tiba nanti, sembahyangnya sudah selesaiKian mendekati tempat yang dimaksud, memang terasa kian banyak orang bertopi putih menuju ke sanaOh, berarti belum terlambatSiapa tahu madzhad Hambali memang sembahyangnya agak siang
Begitu tiba di lokasi, kami kagetIni bukan masjidIni kuburan! Oh, orang Hambali ternyata mementingkan ke kuburanBegitu sembahyang Idul Fitri selesai, semua mereka ke kuburanMasjidnya banyak, tapi kuburannya satuJadi ramainya bukan mainBazar makanan juga digelar di kuburan ituBahkan ada panggung promosi produk makanan baru dengan pengeras suara yang meriahInilah kuburan paling meriah yang pernah saya kunjungi.
Hanya orang Islam yang boleh dikubur di TiongkokYang bukan Islam harus dibakarAbunya lantas ditempatkan di satu kuburan yang lebih simple: satu gedung besar, dengan laci-laci tempat abuKalau lagi Cing Bing, gedung ini juga ramai sekali didatangi para peziarahLokasi 'kuburan' abu ini, dengan kuburan orang Islam berdekatan.
Hari itu kami tidak sembahyangMakan sate, roti pratta, melihat orang nangis-nangis di batu nisan dan lalu kembali ke rumah sakitUpacara sungkem dari anak dan cucu dilakukan di kamar saya di rumah sakit.
Tahun ini, saya dapat hadiah Lebaran yang istimewa: pemeriksaan kesehatan saya (test darah, USG, CT Scan dan seterusnya) menunjukkan hasil yang sangat baikKarena itu obat yang harus saya minum dikurangi lagi, tinggal dua macam: tacrolimus dan lamivudinTacrolimus untuk mensinkronkan hati baru dengan organ lainLamivudin untuk menstabilkan hati.
Hadiah istimewa yang lain: saya diundang menghadiri HUT rumah sakit iniBukan HUT-nya yang menarikTapi acaranya: sekitar 700 'alumni' ganti hati bereuniRamai sekaliHanya saya yang dari luar negeriSemuanya memiliki hati baru. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rapuh di Modal Sosial, Kuat di Tanaman Keras
Redaktur : Tim Redaksi